Perempuan Marunda: Nasib Kami tak Berhenti Disini (2 Habis)

*Kustiah – www.Konde.co



Bagaimana nasib keluarga nelayan ketika pabrik-pabrik dibangun di sekitar pantai Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara tempat mereka tinggal? Laki-laki disana yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan, kini tak bisa melaut karena bangunan ini. Habibah dan para perempuan yang biasanya berjualan ikan dan membuat udang rebon, kini hanya bisa menjadi penyaksi bangunan pabrik.Anak-anak putus sekolah. Kustiah, seorang jurnalis dan aktivis perempuan menuliskan  situasi perempuan dan kehidupan disana. Tulisan ini merupakan tulisan kedua Kustiah setelah tulisan pertamanya dimuat Kamis (28/04/2016) kemarin:

Apakah Habibah menyerah dengan kondisi ini? Tidak. Meski kondisi ekonominya juga tak lebih baik dari tetangganya Habibah senantiasa menjaga kesadaran dan menularkannya kepada para tetangga. Apa saja yang dilakukan Habibah dan Perempuan nelayan disana?

Mengorganisir para ibu ke pengadilan

Air bersih menjadi persoalan bagi warga kampung Marunda Kepu ini. Habibah tak sekali dua kali mengajak para nelayan perempuan aksi ke pengadilan tinggi Jakarta atau ke sejumlah instansi untuk menuntut penyediaan air besih. Maklum, di Marunda ini air bersih seberti barang langka. Warga harus membeli air bersih Rp. 12 ribu untuk satu drum kecil atau setara 100 liter. Biasanya air sebanyak itu akan habis selama tiga hari.

Tak hanya soal air bersih, Habibah juga sering mengajak warganya berunjuk rasa menuntut supaya pemerintah memperhatikan kehidupan nelayan.

“Kami senantiasa berjuang keras sendiri. Sudah saatnya dan semestinya pemerintah mendengar dan melihat kami,” ujar ibu yang hanya berpendidikan sekolah dasar ini.

Nusrhasanah (67), salah satu warga Kampung Kepu berkisah, dirinya beberapa kali mengikuti aksi yang digalang Habibah. Mulai aksi menuntut air bersih sampai aksi menagih janji pemerintah yang katanya akan memperhatikan nasib nelayan. Selama hidupnya Hasanah mengaku tak pernah ikut demo. Biasanya keluhan, rasa marah ia lampiaskan dengan omelan. Tak dinyana, dirinya yang sekolah dasar saja tak lulus bisa bicara di depan umum menyampaikan tuntutan dan aspirasinya.

“(Protes) Ini virus dari Bu Habibah. Ternyata kalau pemerintah mengingkari janjinya kita selaku warga bisa menagihnya,” ujar perempuan janda beranak dua ini menambahkan.

Tak hanya Hasanah, Siti Laela (52), janda dengan enam anak ini juga berpendapat serupa. Dia tak menyesal beberapa kali berpanas-panas mengikuti ajakan Habibah berdemo. Bahkan menurut Laela, warga kampungnya perlu sesering mungkin menyampaikan tuntutan dan aspiranya kepada pemerintah sampai didengar.

“Kalau bukan ke pemerintah ke siapa lagi kami mengadu? Kami sudah lama menanggung kesulitan hidup seperti ini,” kata Laela.

Hasanah dan Siti Laela bekerja sebagai pedagang. Hasanah jualan jajanan anak-anak sementara Laela jualan makanan dengan berkeliling kampung. Mereka mengatakan, perjuangan warga Kampung Marunda memang tak mudah. Meski beberapa kali berdemo pemerintah dan instansi terkait tetap bergeming. Hingga kini air bersih tetap masih menjadi barang langka dan mahal di Marunda Kepu.

Tetapi mereka mahfum. Di tengah keputusasaan warga masih ada sosok yang sering menyemangati dan mengingatkan mereka untuk tetap ‘waras’.  Warga, khususnya anggota yang tergabung dalam Kelompok Mekar kerap mendapat suntikan semangat dari Habibah. Beberapa kali Habibah mengajak warga mengikuti seminar, diskusi, pelatihan yang diadakan beberapa LSM. Tak jarang juga, kelompoknya mendapatkan bantuan berupa semabako yang diberikan beberapa bulan sekali. Atau mendapatkan pesanan untuk kerajinan tangan.

“Semua yang diinisiasi Bu Habibah tak ada yang tak memberikan manfaat. Meskipun beberapa usaha mungkin perlu menunggu hasil dalam waktu lama,” ujar Laela

Perjuangan Kelompok Perempuan Mawar

Kondisi yang paling membuatnya merasa miris adalah ketika ia melihat banyak ibu-ibu tetangganya yang tak mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Meski ia sendiri juga bukan orang berada, Habibah tetap berupaya mencari cara supaya bisa membantu para nelayan perempuan.

Kelompok ibu-ibu yang dibentuk pada tahun 2008 tetap ia hidupkan kembali pada 2013 dengan nama Kelompok Mawar. Kegiatan kelompok saat ini lebih fokus ke arisan. Seminggu sekali anggota arisan membayar Rp10 ribu dengan potongan simpanan Rp2 ribu. Dan memberlakukan beras jimpitan seminggu sekali sebanyak satu gelas.

 Khusus  jimpitan digunakan untuk keperluan sosial. Misal memberi sumbangan kepada warga yang sedang sakit atau kesusahan. Sementara simpanan Rp2 ribu yang terkumpul  biasanya dipinjamkan ke anggotanya lagi untuk modal usah. Rata-rata pinjaman berkisar Rp200-300.

Perjuangan Habibah menggerakkan kelompok itu tak mudah. Untuk menanamkan kesadaran warga kampungnya Habibah kerap mendapat cibiran. Mulai dianggap hanya bisa mengumpulkan dan menggerakkan warga, hingga cibiran dianggap mengambil keuntungan dari kelompok yang ia bentuk.

“Saya menaruh muka badak menanggapi cibiran seperti itu. Saya anggap sebagai risiko perjuangan,” katanya.

Meski belum terlihat besar, Habibah bisa melihat hasil sedikit demi sedikit. Misal bagaimana masyarakat memiliki kesadaran bersama untuk menanam sayuran di pinggiran lahan kosong milik sebuah perusahaan. Di sana ada banyak sayuran seperti bayam, cabai, kangkung, timun, terong dan beberapa jenis sayuran lainnya yang dikelola dan bisa dinikmati bersama.

Habibah menyatakan, dari hal kecil inilah para perempuan bisa menunjukkan, bahwa nasib tak berada di tangan orang lain. Nasib kampung ini berada di tangan mereka yang berusaha dan berjuang.

(Foto: langitperempuan.com)


*Kustiah.
Sejak lulus SMA, perempuan kelahiran Blora 10 Mei ini bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Mengawali karier sebagai reporter di media lokal di Semarang, Suara Rakyat saat masih kuliah. Semasa kuliah aktif di pers mahasiswa dan organisasi eksternal kampus, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Semarang sebagai Ketua Pemberdayaan Perempuan. Lulus kuliah tahun 2005 memilih menjadi editor buku di Yogyakarta. Setahun kemudian bergabung dengan Harian Jurnal Nasional.  Setelah tiga tahun, pindah ke majalah ekonomi perbankan Stabilitas milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Awal Februari 2010 bekerja di media online www.jurnalparlemen.com dengan fokus liputan politik di parlemen.Dan, terakhir bekerja untuk www.detik.com. Sehari-hari meliput isu politik, sosial, pendidikan, dan budaya. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta sejak 2009. Kustiah bisa dihubungi lewat email:kustiah.tanjung@gmail.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!