Sahat Farida: Perempuan Di Putaran Arus (Parlemen)

Edisi Kartini: khusus untuk edisi minggu ini (18-23 April 2016), kami akan menuliskan ide-ide perjuangan Kartini dan perjuangan yang dilakukan para perempuan di masa sekarang. Kami melakukan wawancara terhadap sejumlah perempuan yang selama ini jauh dari hingar-bingar, tidak terendus media dan memilih dekat dengan masyarakat marjinal. Kami juga menuliskan soal ide-ide dan perjuangan Kartini di masa sekarang, diskriminasi,kekerasan, stereotype yang dialami perempuan dan  perjuangan mereka di masa kini. (Redaksi)

Luviana – www.konde.co

Tak banyak orang yang melirik parlemen sebagai ruang untuk berpolitik. Karena parlemen identik dengan tempat yang semrawut, banyak melakukan pengingkaran dan tak ramah pada perempuan. Namun Sahat Farida Berlian melihat parlemen sebagai ruang untuk berjuang bagi rakyat, terutama perempuan.

Perempuan muda kelahiran Jakarta 33 tahun yang lalu ini, sekarang menjabat sebagai anggota DPRD kota Depok dan Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan dan Anak DPC PDI Perjuangan Depok. Ia dikenal sebagai perempuan dengan berbagai macam aktivitas, pernah aktif di Pers Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), di Repdem hingga bergelut di sejumlah isu perempuan.  Sahat juga banyak menciptakan lagu serta puisi tentang perjuangan para buruh, petani, nelayan dan perempuan. Lagu-lagunya ini dulu banyak ia nyanyikan ketika ada aksi-aksi gerakan sosial yang diikutinya. Tak hanya piawai dalam berorasi, ia juga pandai menyemarakkan aksi.

Kala itu Sahat mengaku sering merasa ‘lelah’ dalam berjuang, namun ia tak pantang surut, ia kini justru masuk ke parlemen dan memperjuangkan banyak isu perempuan dan kemiskinan. Ini tentu tak mudah, dan tak banyak orang yang memilih untuk serius mengangkat isu ini. Namun ia sudah memutuskan untuk masuk ke putaran arus. Apa saja yang ia alami di dalam parlemen? Dan apa saja yang ia sumbangkan untuk perempuan disana? Berikut hasil wawancara kami  dengan Sahat Farida Berlian:

1. Apa yang mendorong Sahat masuk ke organisasi mahasiswa seperti  Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan aktif di di sejumlah organisasi lain sejak mahasiswa ?

Organisasi pertama yang saya ikuti sebenarnya adalah Pramuka, itu saya lakukan semasa SD dan SMP. Dari situ saya merasakan “enaknya” berorganisasi. Banyak dapat pelajaran, dapat banyak teman, dan memiliki “kewenangan” untuk membuat atau melakukan kegiatan-kegiatan. Di SMA, saya kemudian mengelola majalah dinding karena saya memang suka sekali menulis. Kemudian saya juga aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Ketika kuliah saya kemudian langsung bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Sebelumnya saya ingin kuliah jurnalistik, tapi keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Di Didaktika ini kemudian saya banyak mendapat pelajaran dan hal baru, diantaranya adalah soal penguatan organisasi-organisasi kemahasiswaan atau kepemudaan. Sempat diajak untuk bergabung di HMI, PMII, KAMI, tetapi pilihannya waktu itu malah bergabung di FPPI.

Di FPPI merasa lebih menyenangkan, karena tradisinya tidak ada batasan soal senioritas dan bisa lebih banyak berekspresi.

 2. Mengapa kemudian melirik parlemen sebagai ruang untuk perjuangan?

Pilihan ke parlemen bukan tanpa proses. Sewaktu tahun 2008,  ada senior di FPPI yang lebih dulu bergabung di partai menawarkan untuk ikut menjadi Caleg dalam Pemilu 2009 untuk pemenuhan kuota perempuan. Saat itu saya masih melakukan perjuangan di non-parlemen, terlebih sikap politik FPPI yang ketika itu memilih untuk berada di jalur ekstra parlemen dan Golput sebagai sikap dalam Pemilu. 

Paska Pemilu 2009, saya juga  sempat menjadi manajer kampanye dan advokasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara, kemudian bekerja juga di Komnas Perempuan sebagai asisten koordinator divisi pemantauan. Hingga datang suatu masa, pemikiran untuk  ke dalam parlemen. Waktu saya berpikir dan berharap memiliki sedikit kewenangan dalam hal-hal yang banyak diperjuangkan kawan-kawan ketika saya masuk ke parlemen.

Maka kemudian pada Pemilu 2014 lalu, saya mencalonkan diri melalui partai PDIP dan akhirnya terpilih menjadi anggota Parlemen hingga sekarang.


3. Selama ini banyak orang melihat parlemen sebagai tempat yang buruk, banyak ingkar pada rakyat dan tidak berpihak pada perempuan, Apakah banyak omongan dari teman, keluarga tentang hal-hal seperti ini? Adakah orang yang kemudian mencibir dengan pilihan anda, Hat?

Kondisi parlemen di Indonesia saat ini memang banyak disorot masyarakat sebagai tempat yang kurang baik, namun bukan berarti tidak ada anggota parlemen yang sungguh-sungguh menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan amanat yang ia emban. Ada yang berjuang walau tidak banyak, ada tetapi ‘mungkin’ tidak popular.

Sejumlah media juga berperan disini, karena sejumlah media ini kemudian tidak banyak yang mau menginformasikan hal-hal baik tentang parlemen, namun lebih banyak memberikan informasi yang bombastis yang justru semakin membuat masyarakat marah dan apatis pada parlemen.

“Ketidakberpihakan” pada perempuan juga salah satu hal yang terjadi di parlemen, mengingat realitas parlemen yang maskulin dan berwatak patriarki. Perempuan dipasang hanya untuk pemenuhan kuota, perempuan dipasang agar seolah-olah ada keterwakilan perempuan.

Hal yang diabaikan adalah, di sisi lain saya juga melihat bahkan perempuanpun ada yang memiliki watak patriarki karena begitulah corak budaya “sebagian besar” masyarakat kita, yaitu tumbuh dan berkembang di wilayah ini. Dan ini adalah tantangan saya di parlemen. Tantang lain yaitu ketika kita menawarkan hal yang selama ini justru ditabukan oleh mereka.

Sebagian besar teman saya kemudian mendukung saya untuk masuk ke parlemen, karena parlemen adalah sebuah ruang untuk bereksperimen secara politik. Yang tidak mendukung justru kawan dekat, yang meskipun aktif berorganisasi, aktif di pergerakan politik, namun masih kental dengan watak patriarki. Tapi, bukankah sebagian besar masalah kita adalah adalah hal itu bukan?

4. Siapa orang yang selalu mendukung dan di belakang anda ketika anda mengalami persoalan terkait perjuangan anda?

Keluarga adalah pendukung saya, ada ibu, bapak dan adik yang siap membantu. Ada juga beberapa sahabat yang siap menampung keluh kesah ketika saya mengalami persoalan.


5. Bagaimana strategi perjuangan Sahat di DPRD Depok karena kita tahu perjuangan disana sangat berat, fundamentalisme agama yang menguat dan sebagai kota baru yang sedang berbenah?

Ada beberapa hal terkait sikap atau prilaku yang diubah mengingat tidak semua bisa menerima ‘gaya’ saya. Ada beberapa isu yang sampai saat ini belum bisa “dibunyikan”,  misal isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).  Sementara membunyikan isu anti kekerasan terhadap perempuan dan anak saja sudah luar biasa sulit, banyak hal yang harus dihadapi ketika menyuarakan isu ini.

Sementara ini saya masih menggunakan perangkat partai untuk ruang-ruang penyebaran pengetahuan dan pengalaman.

Sebagai sebuah kota baru yang masih berbenah, Depok masih sangat lemah dalam 3 sektor vital yaitu layanan publik, pendidikan dan kesehatan. Berbicara sendiri tentunya berbeda jika berbicara dengan suara banyak. Di parlemen yang dibutuhkan adalah suara mayoritas. Mendekati suara mayoritas adalah tantangan lainnya yang saat  ini sedang saya lakoni. Tapi, melalui perangkat partai (fraksi  dan pengurus partai wilayah) persoalan layanan publik sangat kencang dikumandangkan, karena ini adalah 2 hal mendasar untuk membangun masyarakat yang sehat dan menghargai hak-hak mereka sebagai warga negara.

Strategi lainnya adalah membangun komunikasi dengan masyarakat dan juga aktor-aktor intelektual yang ada di Kota Depok. Saya membutuhkan mereka karena banyak orang lain yang mengeluh tentang Depok, namun hanya selesai dalam keluhan saja. Bukan berarti tidak ada yang mau melakukan sesuatu, hanya memang perlu waktu dan bersabar menunggu.

6. Apa hambatan perjuangan Sahat disana?

Salah satunya adalah karena saya perempuan, salah duanya adalah karena saya belum menikah hahaha…jadi saya sangat sering mendapatkan arahan untuk segera menikah supaya tidak terlalu ‘menggonggong.”

Namun saat ini, sebenarnya saya sedang belajar tentang banyak hal, belajar tentang bentuk perjuangan baru, pengetahuan dan pengalaman baru. Hal lainnya, saya belajar untuk bersabar agar bisa mencapai target-target yang diperjuangkan.

(Foto: Sahat.id dan dprd-depokkota.go.id)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!