Kebiri dan Persoalan Kejahatan Seksual

Eko Bambang Subiantoro – www.konde.co

Pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/ Perppu soal Hukum kebiri, sebagai respon atas maraknya kekerasan seksual yang terjadi. Harapannya bisa menghentikan pelaku kejahatan seksual.

Saya menghargai langkah pemerintah ini, sekalipun dalam beberapa hal penetapan Perpu Kebiri ini menimbulkan sejumlah persoalan substansial khususnya paradigma berpikir yang melandasi, dengan resiko terburuk pada tahap implementasinya.

Langkah pemerintah ini sekalipun tepat secara waktu, namun tidak tepat secara opsi kebijakan. Sebagai langkah hukum semestinya berdimensi luas dan berorientasi pada perbaikan masa depan serta tidak berpotensi pembentukan pelanggaran baru apalagi berhenti pada setiap tahap peristiwa. Hal terpenting dari kebijakan hukum ini adalah paradigma sebagai landasan berpikir.

Superioritas Seksualitas Laki-Laki

Pemahaman atas satu peristiwa kejahatan tidak bisa disamakan satu sama lainnya apalagi menyangkut kejahatan seksual, karena dalam kasus ini ada persoalan kultur budaya yang menempatkan kedudukan laki-laki dan perempuan yang berbeda sebagai proses konstruksi sosial yang celakanya menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dampak ditempatkannya kedudukan laki-laki lebih tinggi, membuatnya dianggap lebih kuat, lebih mampu, lebih rasional sementara itu perempuan dianggap lebih lemah, emosional dan tergantung pada laki-laki.

Kehidupan sosial masyarakat memberi ruang luas bagi laki-laki. Laki-laki bisa bisa berbuat, bertindak semaunnya, khusunya kepada perempuan karena dianggap posisinya lebih tinggi. Perempuan hanya sebatas melayani, pemuas dan pekerja tanpa upah hanya sekedar untuk membuat laki-laki senang. Kebahagiaan masyarakat pada hakekatnya diukur dari kebahagiaan laki-laki, untuk itulah pembakuan peran laki-laki dan perempuan pada dasarnya untuk keberlangsungan kepuasan laki-laki. Akibatnya dalam segala lini kehidupan sosial, ekonomi, politik, seksualitas lebih laki-laki lebih memperoleh keistimewaan dan lebih superior.

Begitupula dalam hal seksualitas. Kedudukan laki-laki yang dianggap lebih tinggi, menempatkan perempuan sebagai objek seksualitas semata. Superioritas seksualitas laki-laki pada perempuan adalah salah satu pertunjukan eksistensi dirinya sebagai laki-laki. Situasi ini membuat laki-laki berasumsi bahwa perkosaan bukanlah kejahatan. Perkosaan adalah ruang eksistensi baginya untuk menundukan perempuan. Itulah mengapa, banyak laki-laki menganggap perkosaan adalah salahnya perempuan yang tidak bisa menjaga diri maka ia diperkosa.

Penjelasan di atas memberi pemahaman kejahatan seksual tidak bisa dilihat semata hanya persoalan kejahatan sebatas kriminalitas dan hukumannya merujuk pada bentuk hukum material dengan variasi yang berbeda. Dalam konteks kejahatan seksual, pemahaman persoalannya lebih kompleks, karena melibatkan struktur budaya masyarakat yang justru memberi “legitimasi” kultural dalam memaknai sebuah relasi laki-laki dan perempuan yang tidak setara.

Atas dasar itu, kebiri dalam konteks memerangi kejahatan seksual, pada akhirnya tidak menjangkau pada wilayah yang substansial dari langkah penghapusan kekerasan seksual secara utuh. Kebiri hanya mencabut rumput liar dari lahan, tanpa mengolah lahan untuk steril dari rumput liar. Kebiri lebih bersifat jangka pendek. Selain tidak bisa menjadi solusi penanganan kejahatan seksual, kebiri bagi sejumlah kalangan berpotensi melanggar hak asasi manusia yang perlu menjadi salah satu pertimbangan sekalipun pada pelaku kejahatan.

Hukuman pada  Pelaku

Saya mendukung hukuman setinggi-tingginya kepada pelaku kejahatan seksual namun tanpa kebiri. Kebiri bukanlah hukuman dalam negara hukum yang adil. Kebiri hanya bisa berlaku dalam wilayah tanpa nilai hukum, ketika nyawa dibalas nyawa atau pencurian di potong tangan. Sebuah hukum yang artifisial tanpa menengok konteks persolan mengapa kejahatan seksual terjadi hanya akan menimbulkan luka dan dendam serta keberlanjutan kejahatan berikutnya. Hukum yang adil adalah memberikan pelajaran atas perbuatan yang sudah dilakukan, untuk akhirnya disadari sepenuhnya kesalahannya dan bisa mengubah cara pandang dari sadistis ke pandangan kemanusiaan.

Selain itu, tanggungjawab negara tidak hanya sekedar memikirkan tentang hukuman, tetapi juga memikirkan bagaimana mengubah struktur sosial masyarakat yang saat ini tumbuh dengan struktur sosial baru yang lebih berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Kesadaran ini perlu dimiliki oleh negara, karena fakta menunjukan, struktur sosial yang sudah terbangun terlalu efektif untuk membuat perempuan tersubordinasi, termarjinalisasi, terstereotype, menjalani beban ganda dan menjadi objek kekerasan. Untuk itu, kebutuhan saat ini bukanlah sekedar Perpu, namun kebijakan hukum setingkat undang-undang yang bisa menjadi payung dari segalan kebijakan yang berkaitan dengan kekerasan seksual, karena didalamnya tidak hanya bicara hukuman, tetapi juga langkah edukasi kepada masyarakat.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!