Stigma Pada yang Perawan

Poedjiati Tan – www.konde.co

Apa arti
keperawanan bagi seorang perempuan? Selama ini banyak orang bergunjing tentang
perempuan yang harus perawan. Banyak yang mensyaratkan agar perempuan harus
perawan sebelum menikah, dan tak hanya itu sejumlah instansipun juga
mensyaratkan perempuan yang masuk instansi tersebut harus perawan. Begitu
persyaratan masuknya.

Seperti yang pernah dimuat di BBC tahun lalu, 14 mei 2015 dari hasil
penelitian HRW (Human Rights Watch) Organisasi yang bermarkas di New York, ini
melakukan wawancara dengan 11 perempuan yang diharuskan menjalani tes
keperawanan di beberapa rumah sakit militer di Bandung, Jakarta dan Surabaya,
serta sejumlah dokter yang melakukan tes itu. Human Rights Watch lembaga
pemantau HAM , meminta agar TNI menghentikan segala bentuk tes keperawanan
terhadap para calon prajurit perempuan, yang “invasif” dan
“menghinakan.” 

Dalam tanggapannya, jubir TNI Mayjen Fuad Basya mengakui, “Seseorang
yang sudah tidak perawan, mendaftar mau jadi prajurit TNI, ada beberapa
kemungkinan. Mungkin karena kecelakaan, bisa juga karena sakit.” Namun,
lanjut Fuad Basya, bisa juga “karena habit, kebiasaan. Karena memang
kelakuannya sudah seperti itu. TNI tidak bisa menerima calon prajurit seperti
itu.” “Seorang prajurit TNI harus memiliki mental dan kepribadian
yang bagus.” “Bukan soal perawan atau tidaknya. Tapi kan dokter tahu,
dia tidak perawan karena apa.” Ditandaskan Mayjen kelahiran Bukit Tinggi
itu, untuk TNI, tes (keperawanan) ini masih relevan.

Seperti kita
tahu Indonesia sudah meratifikasi the International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) dan The Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (CEDAW), yang jelas mengatakan bahwa tes
keperawanan itu melanggar hak asasi manusia.

Masyarakat kita
masih sering menganggap bahwa keperawanan itu sebagai bagian dari standar moral
yang ditetapkan untuk perempuan. Keperawanan selalu didengungkan sebagai
kesucian seorang perempuan dan kelakuan baik bagi seorang perempuan.

Norma ideal
perempuan terus didengungkan secara turun temurun. Perempuan yang ideal adalah
perempuan yang perawan. Padahal apakah laki-laki diberikan stempel sebagai
laki-laki yang baik adalah laki-laki yang perjaka? Ini merupakan stigma bagi
perempuan karena hanya perempuan yang dilekatkan pada stempel itu.

Apalagi stigma
atau tanda yang dilekatkan pada perempuan selain perawan?

Ketika menikah,
perempuan boleh memutuskan untuk mempunyai anak tetapi tidak boleh memutuskan
berapa anak yang diinginkan.Perempuan seperti tidak punya hak akan tubuhnya,
hidupnya atau seksualitasnya.

Dan Wacana yang
selalu ada pada wacana hetroseksualitas yang berorientasi pada prokerasi.
Seperti kata Gayle Rubin (1993: 14) :…seksualitas yang dianggap “baik”,
“normal”, dan “natural” secara ideal adalah yang heteroseksual, marital,
monogami, reproduktif dan non-komersial. Ditambah lagi, ia juga harus
berpasangan, relasional, dari satu generasi yang sama dan terjadi dalam rumah.

Wacana
keperawanan ini sering menjadikan perempuan menjadi rendah diri.  Sifat baik misalnya selalu dilekatkan pada
laki-laki: tak perjaka, tidak masalah. Toh, tidak pernah ditanyakan tentang hal
ini.  Namun untuk perawan, ini hal-hal
yang selalu dilekatkan: tidak perawan itu bermasalah. Laki-laki pasti tak mau
dengan perempuan yang tak perawan. Hal-hal inilah yang selalu melekat dan
membentuk konstruksi besar dalam masyarakat.

Sifat baik yang
selalu dilekatkan pada laki-laki akhirnya membentuk laki-laki sebagai kelompok
yang unggul, yaitu kelompok yang selalu mempertanyakan keperawanan, karena
mereka merasa superior. Sedangkan kelompok perempuan tak boleh mempertanyakaan
keperjakaan karena kelompok perempuan sudah diidentifikasi sebagai kelompok
inferior, bersalah dan tak boleh bertanya macam-macam.

Feminis Inge
Broverman menyatakan bahwa stereotype seperti ini akhirnya meluas dalam
kehidupan. Setelah stereotype, gambaran lain yaitu terjadinya subordinasi pada
perempuan.  Subordinasi terjadi karena
perempuan selalu diposisikan inferior dan penakut.

Seharusnya orang
mau melihat apa yang terjadi pada perempuan, dan tidak langsung memberikan
stereotype dan mensubordinasinya.  Jika
keperawanan memang dianggap penting, lalu pertanyaannya, hal ini penting buat
siapa? Buat perempuan atau masyarakat atau laki-laki? Bagaimana dengan
perempuan yang selalu dilekatkan dengan stempel yang perawan ini? Apakah ia
nyaman dan jadi terselamatkan hidupnya karena stempel atau stigma ini?

sumber informasi : 

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150514_tes_keperawanan_tni

https://www.hrw.org/news/2015/05/13/indonesia-military-imposing-virginity-tests

https://www.hrw.org/news/2014/11/17/indonesia-virginity-tests-female-police

foto : Poedjiati Tan

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!