Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi: Pidana Kebiri Bukan Solusi

Estu Fanani – www.konde.co

Konde.co, Jakarta – Aliansi 99 dan  Save Our Sisters yang terdiri dari puluhan lembaga seperti ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI, WALHI, KePPaK Perempuan, Institut Perempuan, HRWG, CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), ASOSIASI LBH APIK, Perempuan Mahardika, Positive Hope Indonesia, KONTRAS, KOMITE AKSI PEREMPUAN dan sejumlah lembaga perempuan dan HAM lainnya Rabu 11 Mei 2016 hari ini, mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Jokowi.

Surat terbuka ini dikirimkan setelah Jokowi akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang isinya tentang hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak. Menurut Jokowi kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka harus dikebiri.

Aliansi 99 dan Save Our Sister melihat bahwa gagasan tentang pidana kebiri merupakan penghukuman yang tidak sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia, selain itu pidana kebiri termasuk dalam kategori penyiksaan.  Padahal sebelumnya Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan segala bentuk penghukuman yang tidak manusiawi. Aliansi melihat bahwa Kebiri berarti menghukum pelaku dengan kekerasan, dan kekerasan diselesaikan dengan kekerasan bukan solusi.

Sebelumnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada YY dan juga anak perempuan dan perempuan yang satu persatu diberitakan media mendapatkan beragam respon dari kelompok masyarakat dan pemerintah. Aksi serentak di berbagai daerah dalam berbagai bentuk semakin menggaungkan kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.

Namun, pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo beserta jajarannya memunculkan keputusan dalam menyelesaikan atau menguhapuskan kekerasan seksual dengan penghukuman kebiri. Keputusan ini didukung oleh beberapa kelompok di masyarakat.

Yang menjadi keprihatinan dari penghukuman kebiri ini adalah bahwa kita semua lupa akan pentingnya pemulihan bagi korban dan keluarganya. Kita masih saja terfokus pada pelaku. Hak-hak korban dan keluarganya dilupakan, padahal merekalah yang menanggung paling besar dari peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.

Berikut adalah surat terbuka Aliansi 99 dan Save Our Sisters yang ditujukan pada Presiden Jokowi:

Bapak Presiden yang terhormat,

Perkenalkan kami Aliansi 99, puluhan organisasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian atas rencana pemerintah untuk pengggunaan pidana kebiri di Indonesia dalam kasus kejahatan seksual.

Kami sangat mendukung pernyataan Bapak pada Selasa 10 Mei 2016 mengenai sikap pemerintah terkait kedaruratan situasi kejahatan seksual di Indonesia. Kami juga memberikan apresiasi atas kecepatan reaksi pemerintah menghadap kasus yang memilukan tersebut. Kami juga akan terus mendukung upaya pemerintah dalam membuat langkah-langkah khusus bagi kasus kejahatan seksual khususnya terhadap anak di Indonesia .

Bapak Presiden, Kami mendukung kebijakan pidana pada pelaku kejahatan seksual yang tetap mengedepankan hak-hak warga negara sebagai manusia.

Kami memandang gagasan tentang pidana kebiri merupakan penghukuman yang tidak sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia, selain itu pidana kebiri termasuk dalam kategori penyiksaan.  Perlu diingat bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan segala bentuk penghukuman yang tidak manusiawi. Kebiri berarti menghukum pelaku dengan kekerasan, dan kekerasan diselesaikan dengan kekerasan bukan solusi.  Kami melihat bahwa dalam Rancangan Perppu yang sedang di susun oleh Tim yang bapak bentuk, hukuman pidana dalam bentuk kebiri dengan sengaja dimasukkan sebagai jenis pidana baru untuk menambah pidana penjara maksimal.

Penggunaan kebiri dengan metode chemical castration ini tidak pernah berhasil menurunkan angka kejahatan seksual di Negara – Negara yang menerapkan hukuman kebiri.  Dengan kata lain ini adalah aturan yang buruk. Rencana yang Bapak  dukung bukan solusi tapi dengan sengaja melompati akar masalah yang justru  dihadapi para korban kejahatan seksual. Kebiri Bukan Solusi namun penghukuman atas dasar balas dendam pada pelaku.

Bapak Presiden, kami sebagai aliansi menemukan persoalan yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual diantaranya:

Sistem Peradilan Pidana  Indonesia

Para korban sering menghadapi hambatan, terutama di tahap penyidikan dan penuntutan. Bahkan hanya sedikit kasus-kasus mereka yang berhasil masuk ke ruang persidangan. Data kami menunjukkan bahwa aparat penegak hukum yang bapak pimpin justru gagal melakukan penyidikan dan penuntutan secara memadai terhadap para pelaku kejahatan seksual. Akibatnya, seberapun hukuman maksimal diterapkan, tidak akan pernah membawa efek jera. Karena sistem peradilan pidana Indonesia tidak dirancang secara memadai bagi korban kejahatan seksual untuk dapat mengaksesnya dan utamanya untuk membawa keadilan bagi para korban.

Melupakan Aspek Pemulihan Korban

Rancangan perppu yang disusun oleh Tim Bapak, justru melupakan nasib korban kejahatan seksual. Tidak ada satu pasalpun yang menaruh perhatian akan hak-hak korban kejahatan seksual. Padahal kami tahu saat ini tidak ada satupun regulasi yang secara khusus memberikan hak hak korban kejahatan seksual seperti, kompensasi, restitusi, pemulihan korban, rehabilitasi psikologis bagi pelaku, bantuan medis, psikologis dan psikosial termasuk bantuan hukum bagi korban. Hanya ada satu regulasi yakni dalam UU No 31 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun regulasi ini pun terbatas alias tidak komprehensif untuk korban kejahatan seksual anak.

Minimnya Data Kasus Kekerasan Seksual

Kami mengingatkan pula kepada Bapak Presiden, bahwa data-data soal kasus kejahatan seksual termasuk angka pemulihan korban sangat lemah. Data yang ada saat ini hanya dari data Komnas Perempuan. Namun data terkait kasus yang diselesaikan secara hukum masih sangat sedikit. Pemerintah Indonesia tidak pernah menaruh perhatian pada pentingnya data. Ini yang mengakibatkan kebijakan penanganan kasus kejahatan seksual, utamanya hanya mendasarkan pada keramaian di media. Penggunaan data yang komprehensif tidak pernah menjadi pertimbangan sebagai dasar pembentukan kebijakan yang menyeluruh bagi penanganan kasus kejahatan seksual dan korban kejahatan seksual

Selanjutnya, seluruh organisasi yang menolak Perppu Kebiri ini akan mengirimkan surat pada Rabu, 11 Mei 2016 hari ini kepada Presiden Jokowi. Seluruh organisasi tersebut adalah:ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI, WALHI, KePPaK Perempuan, Institut Perempuan, HRWG, CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), ASOSIASI LBH APIK, Perempuan Mahardika, Positive Hope Indonesia, KONTRAS, KOMITE AKSI PEREMPUAN, Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat (PP3M) – Jakarta, OPSI, Lentera Anak Pelangi, PSHK, LDD, SAMIN, Gugah Nurani Indonesia, Sahabat Anak, Perkumpulan Magenta, Syair.org, Tegak Tegar, Simponi Band, YPHA, Budaya Mandiri, IMPARSIAL, Yayasan Pulih, Kriminologi UI, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, KPKB, Institut KAPAL Perempuan, ANSIPOL, Lembaga Partisipasi Perempuan, Kalyanamitra, Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan, Women Research Institute, PD Politik, Indonesia untuk Kemanusiaan, Institute Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia (IPPAI), Aman Indonesia, Indonesia Beragam, Yayasan Cahaya Guru, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), PEKKA, Migrant Care, Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender seluruh Indonesia (APPHGI), INFID, Rahima, Association for Community Empowerment (ACE), Perkumpulan Rumpun, Sejiwa, LPBHP Sarasvati, Sapa Institut – Bandung, YLBHI, MaPPI FH UI, LeIP, TURC, Masyarakat Akar Rumput (MAKAR), Afy Indonesia, Rifka Annisa – Yogyakarta, IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia), SCN CREST (Semarak Cerlang Nusa), Aliansi Remaja Independen, Fahmina Institute, MITRA IMADEI, Yayasan Bakti Makassar, Yayasan Kesehatan Perempuan, Asosiasi PPSW, Jala PRT, Cahaya Perempuan WCC, Rumah KITAB, SEPERLIMA, PKWG UI, PRG UI, Kajian Gender UI, Flower Aceh, Perkumpulan Harmonia, Yayasan Nanda Dian Nusantara, ILRC, Mitra Perempuan Women’s Crisis Center, PUSKA PA UI, Yayasan Jurnal Perempuan, Solidaritas Perempuan, Yayasan KAKAK Solo, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), PGI, YSSN Pontianak, Yayasan Setara Semarang, dan PKPA Medan, www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!