Belajar Kesetaraan dalam Kehidupan Terkecil Kita

Poedjiati Tan – www.konde.co

Ketika sedang menunggu obat di sebuah apotik sembari menonton berita di TV,
saya mendengar pembicaraan dua orang perempuan yang berkomentar atas berita
pembunuhan yang sedang tayang di TV.

“Kata siapa cewek itu sensi? Buktinya itu cowok sensi banget, tersinggung
dan sakit hati dengan ucapan ceweknya saja langsung deh ceweknya dibunuh!”
ujar perempuan A kepada temannya.

“Iya kalo cewek sensi paling diem aja!” jawab perempuan B kepada perempuan
A.

Kita sering mendengar stereotype atau label negatif terhadap laki-laki dan
perempuan yang masih sering dilakukan oleh masyarakat dimanapun. Misalnya
perempuan itu cengeng, tidak rasional, tergantung, lemah-lembut, pemalu, 
perempuan itu berpikirnya menggunakan perasaan dan tidak logis. Sedangkan
laki-laki itu pemberani, kuat, rasional, mandiri, tidak boleh cengeng, selalu
menggunakan logika dan tidak pakai perasaan.

Label negatif (stereotype) ini tidak hanya terhadap perilaku atau cara berpikir
saja yang dibedakan gendernya oleh masyarakat, namun juga cara berpakaian,
jenis pakaian, warna, motif, pekerjaan, peran, dll.

Dampak Pelebelan Negatif
(Stereotype) pada Perempuan dan Laki-Laki

Pembedaan stereotype ini tidak hanya merugikan perempuan saja, tetapi juga
laki-laki. Seringkali laki-laki yang tidak sesuai dengan stereotype akan
menjadi bahan bullying teman-temanya dan mendapat label bermacam-macam. Misal
anak laki-laki yang pendiam dan tidak suka aktivitas fisik dianggap kurang
maskulin atau macho. Sering mendapat olok-olok banci atau tidak jarang menjadi
sasaran kekerasan teman-temannya. Begitu juga dengan perempuan yang gagah
perkasa, tinggi dan keras dianggap tidak feminim, bahkan jadi korban bullying.

Ada yang beranggap bahwa perempuan yang sering memakai pakaian celana jeans
dan kemeja atau tidak memakai rok dianggap tidak feminim atau tidak anggun.
Atau laki-laki yang menggunakan pakaian berwarna pink atau bercorak bunga
sering dianggap feminim bahkan disangka gay atau banci.  

Kita bisa lihat bagaimana anak-anak diajarkan membully pengamen waria,
tidak di perkotaan atau di perkampungan. Bahkan sering kali mahasiswa di
Indonesia ketika sedang melakukan demo protes kepada aparat, entah itu KPK,
DPR, DPRD, atau ke Pemerintah, selalu menggunakan simbol pakaian dalam
perempuan sebagai hadiah kepada institusi-ibstitusi tersebut. Mereka menjadikan
pakaian dalam perempuan sebagai simbol ketidak-beranian atau simbol
kepengecutan atau suatu sikap yang merendahkan. Kadang ketika sedang demo di
jalan, ada yang menggunakan beha dengan topeng pejabat tertentu. Atau kadang
pakaian dalam perempuan dijadikan bahan candaan oleh laki-laki yang bisa
dikatakan menyudutkan perempuan. Entah mereka sadar atau tidak, atau mungkin
hal itu dianggap biasa dan lucu. Seperti yang dilakukan Kemal Pelvi komedian
yang menanyakan ukuran beha pada seroang remaja perempuan.   

Stereotype ini sebetulnya tidak saja merugikan perempuan tetapi juga
laki-laki. Ketika anak laki-laki yang dari kecil dididik tidak setara dan
diminta menjalankan peran gendernya, maka ketika apa yang dilakukan tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan maka dia akan merasa tertekan. Misalnya,
karena ayahnya ingin anak laki-lakinya menjadi kuat dan macho, dia mendaftarkan
anaknya ikut beladiri padahal anaknya tidak suka dan lebih tertarik belajar
tari tradisional. Tetapi Ayahnya menganggap itu terlalu feminim dan mengatakan
anaknya banci! Sehingga anaknya menjadi tertekan dan mengalami depresi.

Tidak hanya itu dalam pekerjaan juga seringkali masyarakat melakukan stereotype.
Misalnya ketika melihat laki-laki di rumah merawat anak dan istrinya yang
bekerja mencari nafkah maka hal itu akan dianggap aneh dan tidak pantas. Atau
ketika karir istri lebih tinggi dari suami, seringkali suami merasa tidak
nyaman karena diolok-olok teman atau keluarganya. Karena stereotype ini,
seringkali perempuan akhirnya mempunyai beban ganda  di dalam rumah
tangga. Mereka sama bekerjanya seperti suaminya, namun dia juga harus melakukan
pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, setrika, membersihkan rumah
dan mendidik anak-anak, karena dianggap itu pekerjaan perempuan.

Ini saatnya kita mulai belajar untuk tidak lagi melakukan stereotype
gender. Bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, baik dalam hal perasaan,
perilaku, pekerjaan, peran dan fungsinya dalam rumah tangga dan masyarakat.
Hendaknya kita saling menghargai orang lain dan tidak menghakimi karena setiap
orang itu mempunyai keunikannya masing-masing. Ketika kesempatan dan ruang
belajar serta ruang komunikasi yang setara dibangun, setidaknya kita bisa
memperkecil kesenjangan gender perempuan dan laki-laki.

foto : 

www.theodysseyonline.com

ferdfound.wordpress.com

thechivalrouseconomist.wordpress.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!