Komnas Perempuan, Menolak Hukuman Mati dan Mintakan Grasi untuk MU

Estu – www.konde.co  Selasa 6 Juli 2016 kemarin, Komnas Perempuan mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk memintakan grasi bagi MU yang sedang menghadapi eksekusi mati tahap III yang rencananya dilaksanakan akhir Juli 2016.

Komisioner Komnas Perempuan dari kanan ke kiri Sri Nurherwati, Azriana (Ketua), Yuni Chuzaifah, Adrianna Veny (Foto: Estu, 26 Juli 216)

Komnas Perempuan dan Aliansi Tolak Hukuman Mati menaruh perhatian pada kasus MU sebagaiamana pada kasus MJ beberapa waktu lalu. Nurherwati, Komisioner Komnas Perempuan dalam konferensi kemarin menyebutkan bahwa MU merupakan perempuan korban perdagangan orang yang diperalat atau dimanipulasi seolah menjadi kurir Narkoba.

Hal ini ditegaskan Yuni Chuzaidah Komisioner Komnas Perempuan yang terlibat dalam penelitian Komnas Perempuan pada tahanan perempuan di beberapa lapas. Dari 5 perempuan tahanan Lapas Tangerang yang di wawancara, 3 diantaranya terlibat dalam kasus Narkoba dengan modus yang sama dengan yang dialami MU, yakni modus tas. Modus tas ini perempuan yang pada umumnya merupakan perempuan yang akan menjadi buruh migran akan dititipi atau disuruh membawa tas untuk diberikan kepada seseorang di tempat tujuan yang juga akan memberikan pekerjaan kepada perempuan ini.

Saat ini MU sudah dipindahkan ke Nusakambangan untuk dipersiapkan dan diisolasi guna menghadapi eksekusi mati yang masih menunggu keputusan dari Kejaksaan Agung untuk waktu pelaksanaannya. MU sudah menjalani hukuman penjara selama 15 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang dan pihak Lapas memberikan catatan positif terhadap MU karena sangat kooperatif, aktif dalam berbagai kegiatan dan tidak pernah membuat masalah di Lapas.

Komnas Perempuan melakukan upaya grasi dan konferensi pers sebagai bentuk tegas penolakannya terhadap hukuman mati. Khususnya pada kasus narkoba yang beririsan dengan kasus Perdagangan Perempuan. Berdasar pemantauan Komnas Perempuan terhadap 12 pekerja migran dan/atau keluarga terpidana mati di luar negeri serta 4 perempuan terpidana mati di Indonesia, ditemukan sejumlah hal serius baik terkait fakta yang melatarbelakangi maupun terkait proses hukum yang dihadapi para pekerja migran terpidana mati ini.

Adriana Venny Komisioner Komnas Perempuan Bidang Advokasi Internasional menyatakan bahwa jaringan perdagangan internasional narkoba menyasar dan memanfaatkan kerentanan perempuan pekerja migran karena mereka mempunyai paspor dan dokumen untuk dapat bergerak dan berpindah lintas negara, dan jauh dari pantauan keluarga mau perlindungan negara. Berbagai modus digunakan jaringan internasional narkoba tersebut, yang umumnya adalah dengan melakukan pendekatan personal, membangun relasi paaran, dan penipuan untuk dijadikan kurir narkoba. Ironisnya, perempuan pekerja migran yang dijebak jadi kurir dan menjadi korban perdagangan orang baik proses, cara dan tujuan eksploitasi, seringkali tidak dikenali oleh aparat negara dan penegak hukum. Kejahatan sindikasi narkoba internasional banyak juga menyasar perempuan muda, perempuan korban kekerasan khususnya KDRT, perempuan miskin dengan pendidikan maupun informasi yang terbatas;

Yuni Chuzaifah Wakil Ketua Komnas Perempuan menegaskan bahwa perempuan terpidana mati dengan tuduhan kejahatan narkoba mengalami kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk dan berlipat ganda karena pelakunya cenderung orang dekat atau dengan menggunakan modus pacaran/hubungan intim bahkan oleh suami atau sahabat sendiri. Perempuan terpidana mati rentan menjadi korban kekerasan seksual, pemukulan, dikucilkan atau bahkan dibuang oleh keluarga, mengalami penghukuman dan penghakiman sosial.

Sri Nurherwati Komisioner Komnas Perempuan Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, menyebutkan bahwa terpidana mati dengan tuduhan kejahatan narkoba mengalami berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi selama dalam proses penyelidikan. Mereka juga menghadapi akses keadilan yang terbatas, baik pendampingan hukum yang minim dan putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan posisinya sebagai korban perdagangan orang dan kejahatan narkoba. Pengadilan justru mengabaikannya dengan mempertimbangkan banyaknya kurir yang mengaku sebagai korban, namun tidak dibarengai dengan perbaikan system inestigasi, penyelidikan dan penydikan memadai dalam pemberantasan narkoba. Sri Nurherwati juga menyebutkan bahwa yang sering terlupakan oleh aparat penegak hukum adalah bahwa dalam perdagangan orang khususnya pekerja migran, pemalsuan identitas adalah hal umum yang terjadi dan hingga kini masih banyak dihadapi oleh pekerja migran Indonesia. Dalam kasus yang berhubungan dengan kejahatan narkoba, hal ini tidak tersentuh oleh hakim, tidak ada pengungkapan. Bahkan dalam kasus MU, hakim justru menganggap pemalsuan identitas ini dilakukan oleh MU untuk menyiapkan  pengiriman narkoba ke negara lain lagi dengan identitas yang berbeda.

Azriana Ketua Komnas Perempuan menyebutkan bahwa terpidana mati ada awalnya memilih tidak di ekspose media untuk menghiindari resiko lebih buruk, dan bar memperbolehkan di ekspose ke publik pada detik-detik ketika akses keadilan hampir tertutup maupun haknya sudah dibatasi menjelang eksekusi. Hukuman mati adalah kejahatan yang bukan hanya menyiksa dan menghukum mati terpidana, namun juga menyiksa seluruh anggota keluarga mereka. Kekejaman yang dirasakan terpidana maupun keluarga adalah kematian yang diabut oleh negara, bentuk dan proses penghukumannya, masa traumatic sepanjang hdup dna penantian yang memiu atau berdampak beragam, baik upaya bunuh diri, kematian anggota keluarga, stroke dan sakit yang sulit pulih, gangguan mental dan ingatan, hingga hlang semangat hidup dan trauma maupun kebencian ekstrem pada sesuatu. Oleh karenanya, hukuman mati melanggar martabat kemanusiaan seseorang.

Azriana menambahkan bahwa kasus perdagangan orang terkait kejahatan narkoba, selama ini berdiri masing-masing, sehingga Hakim seringkali tidak menggali fakta dalam persidangan hingga sampai pada unsur-unsur perdagangan orang. Ketika banyak kasus yang beririsan antara kasus perdagangan orang dan kasus kejahatan narkoba atau bahkan disinyalir ada kasus perdagangan orang dalam kasus narkoba ini, seharusnya hakim menggunakan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam perkara kejahatan narkoba. Agar hakim dapat memahami ada keterkaitan antara keterangan atau informasi-informasi yang disampaikan oleh perempuan-perempuan yang didakwa sebagai kurir dalam kasus narkoba ini.

Oleh karena itu, dalam konferensi pers kemarin, Komnas Perempuan menyatakan:

  1. Mendukung upaya serius negara untuk memberantas narkoba hingga ke akar jaringan narkoba, namun menentang solusi hukuman mati, terlebih kepada perempuan korban perdagangan orang yang dijebak dan ditipu untuk menjadi kurir narkoba
  2. Negara perlu mengkaji dan mempertimbangkan penundaan eksekusi, terutama kepada MU yang sedang mengajukan proses grasi akibat keterlambatan pemberitahuan penolakan PK. Apalagi MU merupakan korban perdagangan orang yang dijebak dalam jaringan perdagangan narkoba.
  3. Presiden RI agar mengabulkan upaya grasi yang tengah diajukan, khususnya oleh MU, agar seluruh upaya hukum dapat diberikan pada terpidana mati serta agar negara tidak melakukan kelalaian yang dapat menghilangkan nyawa orang yang seharusnya dilindungi negara;
  4. Negara harus mereformasi akses keadilan terutama perempuan korban melalui:

a.       Memperbaiki system inestigasi dan penanganan perempuan korban perdagangan orang yang dijebak dan ditipu untuk menjadi kurir narkoba;

b.      Menguatkan system bantuan hukum dan memberi kesempatan kepada para terpidana mati, terutama peremuan korban kekerasan dan perdagangan orang untuk mendapatkan akses keadilan dan proses hukum yang adil dan komprehensif;

c.       Menyerukan kepada seluruh aparat penegak hukum (APH) untuk cermat memproses hukum para perempuan yang terjebak menjadi kurir narkoba dan menghindari putusan hukuman mati untuk menghindari penistaan keadilan bagi perempuan korban

  1. Menyerukan kepada semua pihak terutama media untuk tidak membuat pemberitaan yang mereviktimisasi terpidana maupun keluarganya, karena terdakwa dan terpidana sudah cukup lama hidup dalam stigma dan trauma panjang.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!