Konsolidasi Publik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Estu Fanani – www.konde.co

Depok, konde.co – Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Rabu 31 Agustus 2016 pukul
12.00 – 16.00 menggelar konsolidasi publik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Konsolidasi
ini bekerjasama dengan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dan dilaksanakan
di Auditorium Juwono Sudarsono Universitas Indonesia, Depok.

Dari twitlive Komnas Perempuan tanggal 31 Agustus 2016, Ketua Komnas Perempuan
Azriana dalam pengantar diskusi menyebutkan bahwa pertemuan ini merupakan forum konsultasi publik dengan
lingkungan akademisi di UI setelah draf usulan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual ini selesai dirumuskan.

Draf usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang
ada saat ini merupakan hasil perumusan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan
Forum Pengada Layanan yang kemudian mendapatkan dukungan dari DPD RI. Dalam
proses perumusannya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga telah
melibatkan beberapa pihak di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk para
pendamping. Inisisasi ini berdasarkan pada tingginya angka kekerasan seksual
dan masih adanya kendala korban dalam mengakses keadilan. Sebagaimana data yang
dihimpun Komnas Perempuan dari tahun 1998 – 2010 terdapat sekitar 400.939 kasus
kekerasan yang mana 93.960 nya merupakan kekerasan seksual. Dari data tersebut,
dapat dikatakan bahwa rata-rata setiap hari ada 35 perempuan Indonesia yang
menjadi korban kekerasan seksual.

Konsolidasi publik ini menghadirkan 4 (empat) narasumber
yakni dari Komnas Perempuan yang diwakili oleh komisioner Irawati Harsono, wartawan
senior Kompas Maria Hartiningsih, anggota DPR RI dari fraksi PAN Ammy Amalia, Wakil
Ketua DPD RI dari DIY GKR Hemas, dan Kriminolog UI Mamik Sri Supatmi.

Maria Hartiningsih menyoroti bahwa media dan
jurnalis perlu memahami kekerasan seksual dan lebih banyak lagi memberikan
ruang bagi pemberitaan terkait kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan
seksual, Maria Hartiningsih menegaskan bahwa jurnalis tidak boleh netral, namun
seorang jurnalis harus mempunyai keberpihakan kepada korban. Oleh karenanya,
jurnalis harus ikut berperan dalam pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), jurnalis perempuan banyak mengalami pelecehan seksual hingga perkosaan
ketika melakukan peliputan. Namun belum banyak media yang memberikan
perlindungan yang maksimal kepada jurnalis perempuan. Sehingga tidak banyak
kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan yang diadukan ke polisi.

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan komisioner
Komnas Perempuan Irawati Harsono bahwa tujuan dari RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual adalah mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual serta melindungi
dan memulihkan korban
kekerasan seksual secara komprehensif. Perlu
banyak cara dan usaha ekstra agar media massa tertarik mengampanyekan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut. Sehingga Komnas Perempuan terus
berupaya menjalin relasi dan komunikasi dengan media dan jurnalisnya.

Sedangkan GKR Hemas selaku wakil ketua DPD RI
menyampaikan bahwa DPD RI mendukung inisiasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
dan berkomitmen akan mengawal RUU ini hingga dibahas dan disahkan oleh DPR RI
dan Pemerintah. DPD RI mendukung RUU ini karena kedepannya RUU ini akan menjadi
aturan yang berguna bagi masyarakat secara luas, sehingga penting ada dukungan
dari banyak pihak.

Ammy Amalia, anggota DPR RI Komisi II dari
fraksi Amanat Nasional mengatakan bahwa DPR sangat mendukung RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual
. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga lebih lengkap
dibandingkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2016 karena RUU ini mengatur juga hak
korban dalam berbagai tahap penanganan kasus. Dalam paparannya, Ammy Amalia
menegaskan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan dibahas di Pansus
lintas Komisi, karena terkait dengan kepentingan lintas bidang.

Sedangkan menurut Ketua Program Kriminologi UI
Mamik Sri Supatmi,
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat relevan dan kontekstual unutk diperjuangkan bersama. Sebagai
akademisi, Mamik juga mengajak rekan-rekan akademisi untuk ikut berperan dan
menyuarakan pentingnya  RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual dengan disertai bukti-bukti yang relevan dan kuat yang nantinya dapat
mematahkan mitos-mitos terkait kekerasan seksual yang masih kental di
masyarakat. Mamik juga menegaskan bahwa
perjuangan menghapus kekerasan seksual tidak ada kaitannya dengan sekularisme, liberalisme dan ketahanan keluarga.

Sebagaimana dikatakan oleh Irawati Harsono bahwa kekerasan
seksual itu
merupakan pidana khusus
dan berbeda dengan
tindak pidana lain, sehingga
memerlukan aturan dan mekanisme penanganan yang khusus, termasuk pemberian
sanksi kepada pelaku dengan penjeraan yang khusus. Guna semakin memperluas
informasi tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan akan
melakukan konsultasi publik lagi kedepannya dengan berbagai pihak / kelompok***

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!