Kritik Pada KPAI : Apakah Kita Harus Menyetujui Perlindungan Anak yang Bias Gender?

Poedjiati Tan – www.konde.co

Beberapa hari yang lalu Indonesia dihebohkan dengan berita di media-media,
dengan topik prostitusi anak untuk kaum gay, adapula yang menulis prostitusi
anak untuk kaum LGBT. Dalam sebuah tayangan talk show di sebuah TV swasta dengan
judul yang cukup provokatif “waspada LGBT, menyasar anak-anak. Belum lagi
komentar ketua KPAI yang sepertinya berfokus kepada LGBT serta menekankan
kepada penyimpangan seksual. Bahkan Pemandu acara bertanya, Kaget tidak dengan
kejadian ini? Sebetulnya ini bukan masalah kaget atau tidak dengan pelacuran
anak laki-laki dan bukan masalah jenis kelamin mereka.

Pelacuran Anak

Pelacuran anak atau Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) memang ada
dan bisa dalam berbagai bentuk atau manifestasi. Menurut ECPAT (End Child
Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual
Purposes) Indonesia, tidak ada statistik nasional yang menggambarkan penyebaran
dan jumlah ESKA di Indonesia

Istilah anak yang dilacurkan merupakan terjemahan dari prostituted children, yang digunakan sebagai pengganti istilah
pelacur anak atau child prostitutes.
Istilah ini diperkenalkan sejalan dengan berkembangnya kampanye internasional
anti pelacuran anak dalam pariwisata Asia (ECPAT) yang dicanangkan tahun 1990.
Istilah ini merujuk pada subyek—yakni anak-anak yang terlibat dalam
prostitusi—dan sengaja dipilih untuk memberikan tekanan pada bobot yuridis
dimana seorang anak, berbeda dari orang dewasa, harus dianggap tidak punya
kemampuan untuk memilih prostitusi sebagai profesi. Dengan demikian, istilah
ini menegaskan posisi anak sebagai korban, bukan pelaku; sekaligus menegaskan
bahwa tindakan menjerumuskan anak kedalam pelacuran merupakan suatu kejahatan.

Bentuk Eksploitasi Seksual Anak menurut ECPAT Internasional bisa dalam
Perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, ekspolitas seksual anak untuk
tourism dan travel, eksploitasi anak lewat online, eksploitasi seksual anak
untuk prostitusi, dan juga termasuk eksploitasi seksual anak dalam pernikahan
anak.

Pelacuran Anak bisa dilihat dari dua isu yang berbeda, isu jarak-umur
antara korban dan pelaku. Dalam kaitan ini, dan dalam konteks isu hak anak,
perlu diklarifikasikan bahwa paradigma yang digunakan oleh aktivis hak anak
agak berbeda dengan yang biasa dipakai oleh aktivis hak perempuan. Mereka yang
mengadvokasikan isu anti kekerasan (atau eksploitasi) seksual terhadap
perempuan lebih memfokuskan perhatiannya pada isu perbedaan jenis kelamin
antara korban dan pelaku, dengan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai
pelaku. Sedang mereka yang mengadvokasikan isu eksploitasi (atau kekerasan)
seksual terhadap anak lebih memfokuskan perhatian pada isu perbedaan usia
antara korban dan pelaku; sedang jenis kelamin korban, begitu pula apakah anak
menjadi korban kejahatan heteroseksual atau homoseksual, bukanlah merupakan
fokus utama.

Perlindungan Anak

Saya tidak tahu apa fokus Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Asrorun Niam Sholeh dalam isu pelacuran anak. Niam berulangkali mengatakan di
media bahwa anak-anak korban prostitusi harus direhabilitasi dan pemulihan
bertujuan mencegah korban terus mengalami penyimpangan seksual. Banyak orang
yang akhirnya berfokus kepada LGBT padahal tersangka AR tidak hanya
memperjualbelikan laki-laki tapi juga perempuan dan sebelumnya pernah ditangkap
karena memperjualbelikan perempuan.

Anak-anak yang telah mengalami eksploitasi seksual memang wajib
dikembalikan kondisi psikologisnya tidak peduli dia laki-laki atau perempuan.
Dan derajat trauma seorang anak karena eksploitasi seksual juga sama. Tapi
sayangnya orang kadang melihat eksploitasi seksual pada anak cenderung abu-abu
dan tidak fair. Misalnya ketika terjadi perkosaan anak dan bila pelaku masih
lajang maka korban cenderung dinikahkan dengan pelaku. Atau ketika terjadi
pernikahaan anak dengan dalil agama maka orang dewasa cenderung diam. Atau
korban peceraian pernikahan anak lalu dilacurkan, semua diam saja karena
dianggap dia sudah dewasa karena telah menjadi janda meskipun umurnya belum 18
tahun.

Jadi bila benar ingin melindungi anak dari pelacuran atau dari eksploitasi
seksual maka kita harus melihat semua aspek yang bisa menjadikan anak-anak
sebagai korban. Eksploitasi seksual bisa dalam bentuk kekerasan seksual ataupun
dikomersialkan. Keseriusan pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait dalam
menangani eksploitasi seksual perlu ditingkatkan dan memfokuskan pada
perlindungan anak yang sesungguhnya.

Orang Indonesia yang mempunyai kecenderungan bias gender dan patriaki
selalu menganggap bahwa pelacuran hanya terjadi pada perempuan dan kalau
pelacuran anak pasti anak perempuan. Mereka lupa pelacuran anak, bisa anak
perempuan atau anak laki-laki. Dan orang yang pedofilia menyukai anak-anak
tidak peduli anak laki atau anak perempuan. Karena bias gender yang ada ketika
yang menjadi korban eksploitasi anak laki-laki maka masyrakat dan media
langsung menyimpulkan dan mengkaitkan dengan orientasi seksual. Itu pula yang
disampaikan ketua KPAI dalam wawancaranya dengan media. Tidak hanya kasus di
bogor saja, ketika terjadi kasus pelecehan seksual anak di sebuah sekolah
Internasional, KPAI juga menekankan pada orientasi seksual.

Berulang kali ketua KPAI menyampaikan bahwa LGBT adalah penyimpangan dan
harus disembuhkan atau di rehabilitasi. Bila Ketua Komisi Perlindugan Anak
Indonesia yang mewakili sebuah Lembaga Perlindungan Anak, melihat orientasi
seksual sebagai penyimpangan bagaimana lembaga tersebut bisa melindungi anak-anak
Indonesia? Apakah kita harus menyetujui perlindungan anak yang bias gender?

Sumber :

The Global Study Report on Sexual Exploitation of Children in Travel and
Tourism was written by Angela Hawke and Alison Raphael.  

Situasi dan Kondisi Anak yang Dilacurkan di Indonesia Oleh: Mohammad Farid

http://ecpatindonesia.org/berita/konsultasi-nasional-tentang-eksploitasi-seksual-komersial-anak/

Foto :

The Global Study Report on Sexual Exploitation of Children in Travel and
Tourism was written by Angela Hawke and Alison Raphael

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!