Tak Ada Lagi Ibu Kecibung

Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co –
Siang kemarin, beberapa warga korban penggusuran Bukit Duri, Jakarta mengais
besi bekas diantara reruntuhan rumah gusuran. Beberapa perempuan mencari besi
bekas ini bersama anak-anaknya. Matahari sangat terik, namun beberapa perempuan
melakukannya. Besi bekas bangunan ini bisa mereka jual dengan harga 4 hingga 5
ribu perkilonya.

Tak banyak yang bisa
mereka lakukan saat ini. Biasanya para perempuan ini berjualan, namun sejak
rumah mereka digusur, mereka tak bisa melakukan apa-apa lagi. Ada yang kemudian
memutuskan tidur menumpang di tempat saudaranya, ada yang menyewa di daerah Poncol,
tak jauh dari penggusuran. Ada yang tidur di sekretariat Ciliwung Merdeka, ada pula yang langsung masuk Rusun Rawa Bebek,
karena tak tahu lagi mesti tinggal dimana.

Santi Napitupulu
adalah satu perempuan yang kemudian menjadi korban penggusuran ini. Dulu
neneknya tinggal disini, hingga ibu dan dirinya. Kini rumahnya sudah habis
terkena buldozer. Santi adalah satu dari 80 rumah yang sudah tergusur. Dari 384
rumah, sebanyak 80 rumah sudah digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Rabu 28 September 2016 kemarin. 

Para perempuan di Bukit
Duri ini rata-rata bekerja sebagai pedagang. Mereka hidup dari berjualan. Para perempuan disini rata-rata
berdagang sate, soto, urap, lontong sayur, baju dan bakso di sepanjang
Ciliwung. Ada yang berjualan di depan rumah, beberapa perempuan menjual sate dan
bakso dengan cara keliling.

Sedangkan suami mereka, kebanyakan juga berjualan
makanan atau barang-barang di pasar Mester Jatinegara yang tak jauh dari Bukit
Duri. Perekonomian warga disini terutama perempuan, hidup dari berjulan.

Sanik, adalah
perempuan yang selama ini menggerakkan berbagai kegiatan perempuan di komunitas
Ciliwung di Bukit Duri ini. Walau rumahnya tak termasuk digusur, namun hatinya
perih. Komunitas perempuan yang ia himpun bersama ibu-ibu di Ciliwung, kini porak-poranda,
akibat penggusuran.

Bersama
organisasi Ciliwung Merdeka, organisasi yang berjuang bagi masyarakat pinggiran
Ciliwung dan masyarakat marjinal Jakarta, Sanik kemudian mengajak para
perempuan Bukit Duri untuk menabung dan mengadakan arisan. 

“Awalnya
mau membentuk koperasi, tetapi ini masih proses, maka kemudian kami
berinisiatif untuk mengajak ibu-ibu untuk menabung dan arisan,” kata Sanik ynng
ditemui pada saat pelaksanaan Pasar Rakyat Ciliwung, 2 April 2016 lalu.

Koperasi
dan PKK merupakan organisasi yang dirintis para perempuan di Bukit Duri. Para
perempuan merasa senang karena dengan menabung dan arisan ini, kondisi keuangan
mereka menjadi terbantu. Arisan ini kemudian dilakukan, ada yang menggunakan
sistem harian yaitu setiap hari iuran dan mendapatkan arisan, ada yang sistem
mingguan atau arisan seminggu sekali dan bulanan.Yang harian misalnya bentuknya
tabungan, yang bulanan adalah sistemnya paketan.

Maka
Sanik kemudian menggiatkan ibu-ibu disini dan terbentuklah Kecibung (ibu-ibu
Ciliwung Menabung). Anggotanya 55 orang perempuan. Selama ini arisan hariannya
membayar 5 ribu, arisan perminggunya seratus ribu dan arisan perbulannya 300
ribu. Biasanya hasil arisan ini digunakan para ibu untuk menambah modal
berjualan atau pulang ke kampung saat lebaran. 

Arisan dan  berbagai kegiatan ini sudah berjalan lama,
hingga penggusuran itu terjadi. Kini, ibu-ibu Kecubung sudah terceraiberai
bersama usaha yang mereka rintis selama ini.

Yunianti Chuzaifah
dan Dwi Ayu dari Komnas Perempuan, Kamis 29 September 2016 siang kemarin juga datang
ke korban penggusuran Bukit Duri. Mereka ingin melihat apa saja hak-hak
perempuan yang terlanggar dalam penggusuran ini. Apakah penggusuran ini memang
yang terbaik untuk perempuan, merupakan pilihan perempuan, bisa memberikan rasa
aman untuk perempuan, ataukah sebaliknya, mereka melakukan dengan
keterpaksaaan?

Kasus Masih Berjalan,
Penggusuran Tetap Dilakukan

Dalam konferensi pers
yang dilakukan kemarin antara warga Bukit Duri dan Gema Demokrasi di Bukit Duri
kemarin, salah satu kuasa hukum warga Bukit Duri Kristin Veran mengatakan bahwa
dari 113 penggusuran yang terjadi, 84% penggusuran selalu dilakukan dengan
tanpa dialog dan 50% melibatkan TNI.

Data juga menunjukkan
tidak ada informasi yang cukup komprehensif dari pemerintah dan masyarakat, masyarakat
dibuat bingung dan selalu ada keterlibatan TNI dan Polisi dalam setiap
penggusuran.

“Tidak ada pernah
dialog antara pemerintah dan masyarakat dalam setiap penggusuran. Semua dilakukan
dengan tanpa dialog,” ujar Kristin Veran.

Kristin Veran
menambahkan, dalam kasus Bukit Duri misalnya, pemerintah Provinsi DKI Jakarta
telah melakukan kesewenang-wenangan. Proses hukum gugatan warga Bukit Duri masih
berjalan, yaitu di PTUN dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun penggusuran
tetap dilakukan.    

Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
menyatakan bahwa, seharusnya tugas pemerintah adalah melindungi warganya, namun
dari penggusuran Bukit Duri ini kita bisa melihat bahwa warga dibiarkan
tergusur dan diabaikan hak-haknya.

(Penggerak
perempuan Kecubung, Sanik di Kampung Bukit Duri sebelum terkena penggusuran. Foto:
Luviana)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!