Aktivis Perempuan Tolak Pengesahan Perppu Kebiri Menjadi UU

Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rabu 12 Oktober 2016 hari ini akhirnya menyetujui Perppu No.1/2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Perppu ini ditolak para aktivis perempuan karena memasukkan konten hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hukuman kebiri dianggap tidak manusiawi.

Persetujuan melalui rapat Paripurna ini dilakukan melalui voting anggota DPR. Sejumlah partai yang menyetujui pengesahan ini antaralain: Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem, Partai Hanura dan PDI Perjuangan.

Puluhan aktivis yang tergabung dalam Aliansi 99 yang antaralain terdiri dari Institute for Criminal Justice (ICJR), LBH Jakarta, LBH Apik, LBH Pers, Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Cedaw Working Group Indonesia, Perempuan Mahardhika, Forum Pengada Layanan, Kalyanamitra, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia dan puluhan organisasi lainnya menolak pengesahan UU ini. Frey Nababan, salah satu aktivis Aliansi 99 menyatakan, DPR seharusnya mengkaji UU ini dulu secara matang.

Sebelumnya Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak ini, presiden menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang luar biasa, karena kejahatan tersebut telah mengancam dan membahayakan jiwa anak-anak Indonesia. Maka dengan disetujuinya Perppu ini menjadi UU, maka hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual akan diberlakukan pada anak. Menurut Jokowi kala itu, kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka harus dikebiri.

Aliansi 99 melihat bahwa gagasan tentang pidana kebiri dalam Perppu ini merupakan penghukuman yang tidak sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia, selain itu pidana kebiri termasuk dalam kategori penyiksaan.

Padahal sebelumnya Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan segala bentuk penghukuman yang tidak manusiawi. Aliansi 99 melihat bahwa Kebiri berarti menghukum pelaku dengan kekerasan, dan kekerasan yang diselesaikan dengan kekerasan, bukanlah solusi.

Aliansi 99 dalam pernyataan sikapnya menyatakan bahwa DPR seharusnya tidak mempermudah pengesahan Perppu  yang terkesan diobral oleh pemerintah.

“DPR juga seharusnya mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang memberikan hak-hak pada korban, yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi yang komprehensif dari negara. DPR juga seharusnya juga mendorong pemerintah untuk menyediakan rehabilitasi bagi korban,” ujar Frey Nababan.

Pemerintah Tak Mau Melibatkan Masyarakat

Aliansi 99 menganggap bahwa pemerintah mengeluarkan aturan soal kebiri ini secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan masukan dari berbagai lapisan masyarakat, yang dimana masyarakatnya masih pro dan kontra terkait dengan rencana pemerintah untuk menerbitkan pelicu kebiri dalam PERPPU ini.

Padahal banyak alasan masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana pemerintah menerbitkan PERPPU ini, diantaranya adalah pemerintah hanya sibuk untuk memberikan penghukuman bagi pelaku kejahatan seksual dengan tujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, namun pemerintah lupa memikirkan untuk memprioritaskan korban untuk memberikan keadilan, perlindungan baik secara fisik maupun psikis bagi anak-anak yang menjadi korban dan melakukan pemenuhan hak-hak korban yang terjadi karena dampak dari kejadian yang telah dihadapi oleh korban.

“Bahwa kami melihat Peraturan pemerintah yang telah diterbitkan tersebut, tidak ada satu pasal pun yang mencantumkan mengenai korban, khususnya pasal yang mengatur untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban,” ujar Frey Nababan dari Aliansi 99.

Pemerintah juga dalam membuat dan mengeluarkan peraturan ini secara tertutup dan terkesan terburu-buru tanpa melibatkan peran serta masyarakat khususnya korban dan pendamping yang senantiasa bekerja untuk melakukan pendampingan terhadap korban. Pemerintah seperti menutup akses bagi masyarakat untuk mengetahui isi dari PERPPU tersebut.

Pemerintah mengeluarkan PERPPU ini atas karena tekanan dan desakan dari sekelompok orang yang menginginkan agar pemerintah melakukan respon atas berbagai kasus kejahatan seksual anak yang terjadi dengan menerbitkan PERPPU tentang Perlindungan Anak. Pemerintah sepertinya tidak mempertimbangkan mengenai situasi dan kondisi di masyarakat, dimana masyarakat masih melakukan diskusi mengenai rencana pemerintah mengelurkan PERPPU tersebut, masih banyak masyarakat yang masih pro dan kontra khususnya mengenai isi PERPPU.

“PERPPU ini tidak dibahas secara terbuka, hal ini kami sampaikan bahwa semenjak adanya pembahasan mengenai PERPPU yang hanya berada di kalangan terbatas saja. Masyarakat hanya mendengar dari media massa terkait dengan wacana pemerintah untuk menerbitkan PERPPU Kebiri yang dirubah namanya menjadi PERPPU Perlindungan Anak. pemerintah tidak mengikut sertakan masyarakat dalam untuk memberi masukan pada PERPPU ini,” ujar Frey Nababan.

Hukuman Mati dan Kebiri Kimia harusnya di tolak

Peraturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah hanya mengatur dan memuat persoalan penghukuman bagi pelaku, sementara hal-hal yang berkaitan dengan korban tidak menjadi sebuah prioritas dari pemerintah.

PERPPU mengatur mengenai pemberatan pidana berupa hukuman 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana, pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, dengan beberapa syarat yang telah ditentukan dalam PERPPU tersebut.

PERPPU ini juga mengatur mengenai hukuman tambahan 1/3 (sepertiga) dari tindak pidana yang telah dilakukan dan ini dilakukan jika pelaku kejahatan merupakan recidivis dan tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang dipercaya, dan orang-orang yang seharusnya melindungi anak dari berbagai kejahatan.

Di satu sisi penjatuhan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual, justru akan mengalihkan tujuan rehabilitasi terhadap pelaku tidak tercapai termasuk rehabilitasi korban

PERPPU ini juga mengatur mengenai pidana tambahan berbentuk pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik. Pemerintah mengeluarkan PERPPU ini tanpa mempertimbangkan dampak bagi pelaku, khususnya berkaitan dengan penerapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku.

Beberapa ahli kesehatan telah menyampaikan pendapat mengenai penerapan hukuman kebiri ini, yang dimana memberik dampak negatif bagi tubuh pengguna suntikan kimia tersebut.

Maka berdasarkan hal tersebut maka Perppu yang telah disetujui menjadi UU ini harus ditolak.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!