Mengenalkan Konstruksi Gender pada Anak

Poedjiati Tan – www.konde.co

Beberapa hari
yang lalu saya menghadiri reuni mantan atlet taekwondo setelah 30 tahun tidak
bertemu. Kami bercerita tentang masa-masa muda ketika berlatih taekwondo. Saya
jadi teringat ketika pertama kali ingin ikut latihan taekwondo. Orang tua saya
tidak melarang saya ikut, bahkan papa saya selalu mengantar jemput saya ke
tempat latihan karena usia saya yang masih sembilan tahun. Saya masih ingat kerabat
saya yang berkomentar “Kok anak perempuan diikutkan beladiri sih? Apa ngak
takut jadi laki-laki nanti?

Memang, waktu
itu mengikutkan anak perempuan olah raga bela diri bukan sesuatu yang umum.
Orang tua yang mempunyai anak perempuan cenderung mengikutkan anak perempuan
latihan menari, balet atau olah raga yang tidak menggunakan kekerasan fisik.
Dan anak laki-laki yang terlihat lemah sering oleh orang tuanya diikutkan
olahraga bela diri. Anak laki-laki yang ingin ikut balet biasanya cenderung
ditolak oleh orang tuanya. Orang tua sangat berperan dengan pilihan mainan
ataupun olahraga untuk anaknya.  

Anak-anak
belajar pada usia yang sangat dini apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan
dalam masyarakat kita. Melalui segudang kegiatan, peluang, dorongan,  anjuran dan larangan, dan berbagai bentuk
bimbingan, yang membuat anak mengalami proses sosialisasi peran gender. Sulit
bagi seorang anak untuk tumbuh dewasa tanpa mengalami beberapa bentuk bias
gender atau stereotip, apakah itu harapan bahwa anak laki-laki lebih kuat dan
tangguh daripada anak perempuan, atau gagasan bahwa hanya perempuan yang bisa
mengasuh anak-anak. Sebagai anak-anak yang tumbuh dan berkembang, stereotip
gender mereka diajarkan mulai dari rumah dan diperkuat oleh unsur-unsur lain di
lingkungan mereka, dan dengan demikian diabadikan sepanjang masa dan di dalam
kehidupan.

Pengaruh Orang
Tua dalam Gender Role

Paparan seorang
anak yang paling awal, apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan
berasal dari orang tua. Dari mulai anak-anak mereka masih bayi, orang tua
memperlakukan anak mereka secara berbeda, mulai dari pakaian bayi, warna
tertentu untuk jenis kelamin tertentu, memberikan mainan sesuai dengan jenis
kelamin, dan mengharapkan perilaku yang berbeda dari anak laki-laki dan
perempuan. Studi menunjukkan bahwa orang tua memiliki harapan yang berbeda dari
putra dan putri dimulai 24 jam setelah lahir.

Orang tua
cenderung mendorong anak-anak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan
permainan yang sesuai dengan gender, misal bermain boneka dan terlibat dalam
kegiatan rumah tangga untuk anak perempuan dan bermain dengan mobil-mobilan dan
terlibat dalam kegiatan olahraga untuk anak laki-laki. Preferensi mainan
anak-anak telah ditemukan secara signifikan terkait dengan sex types orang tua,
orang tua memberikan mainan dengan membedakan gender dan perilaku bermain
sesuai gender stereotip. Kedua orang tua berkontribusi pada stereotip gender
anak-anak mereka. Dalam penelitian ditemukan bahwa ayah lebih sering menekankan
gender stereotype pada anak daripada ibu.

Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua memperlakukan anak perempuan dan
laki-laki dengan cara yang berbeda. Hubungan antara orangtua dengan anak
memiliki efek pada perkembangan anak yang berlangsung hingga dewasa. Sikap
orangtua yang hangat dan mendukung menjadi kunci utama dalam perkembangan diri
dan self esteem anak. Seringkali, orang tua memberikan pesan halus tentang
peran gender dan apa yang boleh dan tidak boleh yang berhubungan dengan peran
gender, yang akan diinternalisasi oleh anak dalam perkembanganya.

ManfaatGender Role Androgynous

Meskipun mungkin
ada beberapa kebaikan untuk mengikuti stereotip peran gender misal, memberikan
rasa aman, memfasilitasi pengambilan keputusan, tetapi ada harga yang harus
dibayar juga dalam melestarikan stereotip peran gender. Termasuk membatasi
peluang untuk anak laki-laki dan perempuan, mengabaikan bakat, dan mengabadikan
ketidakadilan dalam masyarakat kita. Orang tua yang mendukung sikap egaliter
mengenai peran gender lebih mungkin untuk menumbuhkan sikap ini pada anak-anak
mereka. Individu yang androgini ditemukan lebih memiliki self esteem yang
tinggi, pencapaian diri yang lebih tinggi dan lebih fleksibel dalam berhubungan
dengan orang lain dan memiliki relasi yang lebih baik dengan pasangan.

Anak-anak yang
memiliki orang tua dengan nilai-nilai egaliter yang kuat cenderung lebih
memiliki pengetahuan tentang obyek non sex-type dibanding anak lain. Anak-anak
yang ibunya bekerja di luar rumah lebih terbuka dalam peran gender  daripada anak yang ibunya tinggal di rumah.
Bahkan, anak-anak pra-sekolah yang ibunya bekerja di luar rumah memiliki
pengalaman yang berbeda dalam melihat dunia luar. Mereka memiliki kemampuan
untuk membuat pilihan yang tidak terhalang oleh jenis kelamin.

Keluarga yang
orang tuanya memiliki peran androgini (misal, seorang ibu yang bisa memperbaiki
mobil keluarga atau seorang ayah yang bisa memasak kue atau makanan) menunjukan
dapat memberikan kehangatan dan dukungan terhadap anaknya.Orang tua yang
androgini ditemukan sangat mendorong prestasi anak dan mengembangkan self
esteem di putra dan putri mereka. Mereka tidak membedakan antara anak laki-laki
dan perempuan, berbagi peran dan berlaku adil sehingga membuat anak lebih
mandiri dan menghargai orang lain.

References

  •             Basow, S. A. (1992).  Gender
    stereotypes and roles, 3rd ed. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Company.
  •       Beal, C. (1994).  Boys and girls: The
    development of gender roles.  New York:
    McGraw-Hill, Inc.
  •       Cowan, G. & Hoffman, C. D. (1986). 
    Gender stereotyping in young children: Evidence to support a
    concept-learning  approach.  Sex Roles, 14, 211-224.
  •       Eccles, J. S., Jacobs, J. E., & Harold, R. D. (1990).  Gender role stereotypes, expectancy effects,
    and parents socialization of gender differences.  Journal of Social  Issues, 46, 186-201.
  •       Heilbrun, A. B. (1981).  Gender
    differences in the functional linkage between androgyny, social cognition, and
    competence.  Journal of Personality and
    Social Psychology, 41, 1106-1114.
  •       Lundy, A. & Rosenberg, J. A. (1987). 
    Androgyny, masculinity, and self-esteem. 
    Social Behavior and Personality, 15, 91-95.
  •       Paretti, P. O. & Sydney, T. M. (1984). 
    Parental toy choice stereotyping and its effect on child toy
    preference  and sex role typing.  Social Behavior and Personality, 12, 213-216.

    Foto : 

     www.gettyimages.com

     www.mercatornet.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!