Forum Pengada Layanan, Penumbuh Harapan bagi Korban Kekerasan Gender

Para
perempuan akan memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan sedunia yang
jatuh setiap tanggal 25 November. Dalam rangka memperingati hari anti kekerasan
terhadap perempuan, www.konde.co selama sepekan yaitu dari tanggal 20
November-26 November 2016 akan menampilkan sejumlah artikel khusus bertema:
kekerasan terhadap perempuan. Ini tak lain, untuk menyajikan fakta masih
banyaknya kekuasaan dan kontrol terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan
terus-menerus terjadi pada perempuan. Tulisan ini tak hanya menyajikan fakta,
namun juga menjadi bagian dari perjuangan perempuan untuk menolak kekerasan.
Selamat membaca. 

Estu Fanani,www.konde.co

Kekerasan terhadap
perempuan berbasis gender masih banyak dialami oleh perempuan di Indonesia.
Kekerasan yang terjadi karena dia berjenis kelamin perempuan dan karena
nilai-nilai yang diyakini masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 

Kekerasan
yang melahirkan dampak luas pada kehidupan perempuan, nilai-nilai yang
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah, yang dianggap warga
negara kelas dua, yang dianggap tidak boleh berada di wilayah publik, yang
dianggap tidak mampu memimpin atau menduduki jabatan tertentu dan mengemban
tugas mengambil keputusan, atau makhluk yang dianggap hanya sebagai obyek
seksual pemuas nafsu semata, sumber dari segala dosa.

Jaminan Rasa Aman Perempuan

Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan bebasis gender di
Indonesia bukan hanya pada masalah penanganan kasus-kasusnya saja. Perlu upaya
dalam pencegahan, perlindungan dan pemulihannya. Namun, dari kebijakan negara
yang ada, masih menitikberatkan pada upaya penanganan kasusnya, sehingga ada
kesenjangan dalam  pencegahan dan pemulihan. 

Jika ada layanan pemulihan, masih melihat hal itu terpisah dari pemeriksaan dan
penyidikan di kepolisian hingga putusan hakim.

Sehingga, dalam kerangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan
pemenuhan hak korban, perlu terus dilakukan penguatan kapasitas (kemampuan
keahlian dan pengetahuan) dan kesadaran serta sensitivitas semua pihak dalam
memahami dan melihat kekerasan terhadap perempuan berbasis gender ini. Perempuan
korban bukan saja memiliki hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan, namun juga perlu jaminan rasa aman dankepastian
bahwa kekerasan yang dialaminya tidak terulangkembali pada dirinya maupun padaperempuanlain.  

Semua itumerupakan
tanggung jawabnegara yang
secara tegas telah tercantum di dalam konstitusi Negara yaitu Undang-Undang
Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di
Indonesia.

Forum Pengada Layanan

Dengan dasar
perlunya penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender yang dilakukan
secara komprehensif dan menyeluruh itulah, Forum Pengada Layanan (FPL) dibentuk
pada tahun 2014. Dimulai dengan forum penguatan kapasitas (Forum Belajar) di
tahun 2000 yang beranggotakan individu maupun organisasi masyarakat dan lembaga
negara dalam memahami kekerasan terhadap perempuan dan upaya penghapusannya. 

Dari
Forum Belajar menjadi Forum Pengada Layanan, dengan tujuan terpenuhinya hak
korban melalui pelaksanaan tanggung jawab negara dan terwujudnya lingkungan
yang mendukung pemberdayaan dan keadilan bagi perempuan yang mengalami
kekerasan berbasis gender.

Sebagaimana
ditegaskan oleh Susi Handayani, Direktur Yayasan PUPA Bengkulu yang juga
menjadi salah satu Dewan Pengarah Nasional FPL, bahwa FPL harus menegaskan
perannya sebagai pemberi layanan yang dibutuhkan oleh korban, sehingga perlu
proses belajar, berefleksi dan memperbaiki terus kapasitas lembaga dan
profesionalitas kerjanya sebagai pengada layanan. 

FPL hingga 2015
ini menjadi wadah bagi 122 lembaga pengada layanan pendampingan hukum,
psikologis, ekonomi, pemberdayaan dan sosial (crisis center) yang tersebar di
32 propinsi. Pada kenyataannya, banyaknya lembaga pengada layanan ini belum
bisa menjangkau banyak korban kekerasan berbasis gender. Apalagi lembaga
layanan yang disediakan oleh pemerintah, di tingkat propinsi atau kabupaten/kota
masih banyak kelemahannya di sumberdaya dan pemahaman, bahkan ada yang tidak
aktif. Hal ini menyebabkan lembaga pengada layanan yang diinisiasi masyarakat
dan menjadi anggota FPL menjadi tumpuan harapan dari korban untuk membantu
mereka menyelesaikan kekerasan sekaligus mendapatkan pemulihan. 

Hal yang berat
bagi anggota FPL ketika tidak ada atau masih sedikit dukungan yang diberikan
pemerintah kepada mereka, termasuk dengan minimnya ahli seperti psikolog,
pendamping, pengacara, maupun layanan pemerintah terbatas dan sulit diakses
seperti rumah aman dan layanan kesehatan gratis. Hal ini berarti, disamping
mendampingi korban maupun keluarganya, lembaga pengada layanan juga perlu
melakukan advokasi ke pemerintah maupun DPRD guna memastikan tanggung jawab
negara dalam pemenuhan hak korban benar-benar dilaksanakan.

Samsidar, Dewan
Pengarah Nasional FPL menambahkan, dalam perjalanan FPL hampir 3 tahun dalam
pengadaan layanan bagi korban kekerasan, masih banyak kendala yang dihadapi,
baik dari internal FPL sendiri maupun dari luar FPL. Sumberdaya yang tidak
merata karena factor geografis dan prioritas pengembangan wilayah di Indonesia,
beban kerja pendampingan yang  tidak
sebanding dengan jumlah SDM dan finansial dan keberlanjutan lembaga dalam hal
ini regenerasi yang tidak dipersiapkan secara terencana di setiap lembaga
anggota FPL, merupakan beberapa kendala yang bisa diidentifikasi. Sehingga,
perlu terus dilakukan konsolidasi, berbagi sumberdaya, memperluas teman yang
menjadi sahabat para penyintas, bekerja secara professional dan melebarkan
jejaring layanan berbasis masyarakat lintas sector, serta menyinergikan
semuanya dengan kebijakan dan program pemerintah desa dalam rangka
mengoptimalkan peran aparat dan kelembagaan pemerintah yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat akar rumput.

Sebagai wadah
berkumpulnya lembaga-lembaga pengada layanan dari 32 propinsi, dalam kurun
waktu 3 (tiga) bulan yakni Januari hingga Maret 2016, FPL telah menerima
pelaporan dan menangani sekitar 938 kasus kekerasan terhadap perempuan, dimana 45.7%
dari jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Dan kekerasan seksual di
ranah personal/rumah tangga (incest) menjadi perhatian serius seperti di Nusa
Tenggara Timur dan daerah lain. Situasi khusus seperti inilah yang saat ini
upaya penanganannya (keamanan, keadilan dan pemulihan) tidak terjawab dengan
system hukum sekarang ini. Karena banyak kasus incest dimana pelakunya umumnya
orang tua atau anggota keluarga lain tidak terlaporkan dan korban tidak
mendapatkan haknya atas keadilan, kebenaran, keamanan dan pemulihan.

FPL, Mendorong Tanggungjawab Negara

Dengan situasi
seperti disebut di atas, mendorong tanggung jawab negara dalam pencegahan,
perlindungan dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan berbasis gender
menjadi penting dilakukan. Antara lain melalui revitalisasi dan mengembalikan
peran dan fungsi koordinasi P2TP2A dalam pencegahan, penanganan dan
pemberdayaan perempuan dan anak , menguatkan mekanisme HAM perempuan dan
mengembangkan pendidikan publik secara luas yang melahirkan kesadaran, empati,
dan kritis pada kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. 

Kedepannya, FPL
tetap secara otonom menjalankan layanan dan berjejaring dengan lembaga layanan
pemerintah serta mendorong adanya standar layanan yang berpihak pada hak-hak
korban.

Dan keseriusan
pemerintah dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan yang sudah menjadi komitmen internasional pemerintah
Indonesia benar-benar diharapkan.

Beberapa anggota FPL dan hotline pengaduan kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak berbasis gender:

1.     
Jakarta: LBH APIK Jakarta, Hotline:
081285552430

2.     
Tasikmalaya: Puan Amal Hayati
Cipasung, Pengaduan kasus: 081320791434

3.     
Pasuruan: Women Crisis Center,
Pengaduan kasus: 0343-5612741, 08155138343

4.     
Ambon: LAPAN, Pengaduan kasus:
081343068877

5.     
Bengkulu: Yayasan PUPA, Pengaduan
Kasus: 0736-23344

6.     
Yogyakarta: Rifka Annisa, Hotline:
085799057765, 085100431298


Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!