Tak Mudah Hidup sebagai Perempuan Tionghoa

Poedjiati Tan- www.konde.co

Tak mudah hidup
sebagai perempuan Tionghoa di Indonesia. Banyaknya persoalan atas nama agama
dan etnis, selalu menghantui hidup para perempuan Tionghoa. Seperti banyaknya
persoalan yang mengatasnamakan agama, yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia akhir-akhir ini.

Sebagai
perempuan Tionghoa, sayapun mengalaminya.

Saya masih ingat
bagaimana di jaman orde baru, perempuan keteturunan Tionghoa dianjurkan untuk menikah dengan
orang pribumi agar mereka bisa tetap hidup dengan aman. Meskipun mereka sendiri
tidak tahu nenek moyangnya dari Daratan Cina sebelah mana.

Perempuan
keturunan Tionghoa memang menjadi double minoritas, apalagi bila mereka
beragama bukan Islam, minoritasnyapun menjadi bertambah.

Pada masa 1998
misalnya, perempuan keturunan Tionghoaseringmengalami pelecehan, entah itu secara verbal dengan panggilan amoy
atau gesture dan calling cat.Pelecehan terparahyang dialami perempuan keturunan Tionghoa ketika terjadi kerusuhan mei 1998. Banyak perempuan Tionghoa yang
menjadi korban perkosaan bahkan sampai harus kehilangan nyawanya.

Penyelesaian
dari peristiwa itu tidak pernah terjadi, para pelaku tidak pernah terungkap,
apalagi tertangkap. Bahkan kejadian perkosaan itu seperti dianggap tidak ada
dan disangkal. Teror ketakutan itu terus dipelihara, setiap kali ada kejadian
gesekan etnis, para perempuan Tionghoa diminta untuk waspada dan mempersiapkan
diri. Entah sampai kapan ini akan terus terjadi. Entah harus berapa presiden
lagi semua perbedaan ini akan berakhir.

Bayangkan
bagaimana perasaan para korban Mei 1998 ketika ada demo dan kembali peringatan hati-hati terhadap keturunan
tionghoa seperti yang terjadi kemarin tanggal 4 november. Mereka seperti dikembalikan ke dalam kenangan terburuk yang pernah
dialami. Trauma yang ingin dilupakan seperti kembali dihadirkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ini adalah teror terhadap masyarakat
dan bangsa Indonesia. Sekali lagi orang keturunan Tionghoa yang kemudian banyak
dijadikan sasaran. Mereka kembali menjadi kambing hitam yang siap dijagal. Dan
perempuan keturuanan Tionghoa juga harus siap menanggung semuanya.

Saya mencatat,
bagaimana rasa kebencian atas dasar ras, suku pada keturunan Tionghoa seperti
diturunkan dari generasi ke generasi. Makian “dasar Cina! Selalu dapat kita
dengar dari generasi ke generasi dan setiap kali ada demo dari
organisasi-organisasi yang mengatasnamakan agama, selalu ada tulisan “ganyang
Cina”. Kita seperti tidak pernah mengajarkan pada anak-anak kita untuk
menghargai perbedaan, menghapuskan stigma terhadap etnis lain. Selalu ada
prejudice terhadap keturunan Tionghoa dan sepertinya gampang untuk menempatkan
mereka jadi korban.

Sebenarnya,
keturunan Tionghoa sama saja dengan keturuan Arab atau keturunan India atau
keturunan Pakistan yang tinggal di Indonesia. Sebagian dari keturunan Tionghoa
ini bahkan sudah tidak tahu silsilah keluarga dari negeri asalnya. Mereka lahir
dan besar, beranak pinak di Indonesia, bahkan mereka tidak bisa berbicara
dengan Bahasa Mandarin. Mereka bekerja dan bahkan berprestasi mengharumkan nama
bangsa, tetapi sampai kapanpun mereka seperti tidak diakui dan hanya seperti
tamu di negaranya sendiri.

Seandainya semua
orang sadar bahwa kita tidak bisa memilih dilahirkan sebagai etnis apa, ras apa
atau suku apa. Namun kita tetap bisa memilih, kita akan menjadi manusia yang
seperti apa?.

Saya
membayangkan, tak ada manusia yang penuh curiga dan kebencian, atau manusia
yang bisa menghargai manusia lain dan memandang manusia sebagai manusia yang
setara dan sama.

foto : mutiara hati Jambi

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!