Diskriminasi dan Kriminalisasi LGBTI yang Terus Terjadi

Luviana – www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Diskriminasi dan kriminalisasi yang terus terjadi pada kelompok LGBTI menjadi keprihatinan banyak pihak.Federasi Arus Pelangi, jaringan yang berjuang bagi Hak Asasi Manusia (HAM) terutama bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender, Intersex (LGBTI) di Indonesia di hari HAM 10 Desember 2016 lalu, melihat bahwa rakyat Indonesia saat ini selalu dihantui kekerasan demi kekerasan. Termasuk di antaranya adalah rakyat yang memiliki orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender (SOGIE) beragam, yang lebih dikenal sebagai orang-orang LGBTI.

Hasil penelitian “Menguak Stigma, Diskriminasi, dan Kekerasan pada LGBT di Indonesia” yang dilakukan Arus Pelangi, Komunitas Sehati Makassar dan PLUSH tahun 2013 lalu menguak fakta bahwa: 89.3% LGBT di Indonesia mengalami kekerasan berbasis SOGIE.

Federasi Arus Pelangi dalam pernyataan sikapnya  juga mencatat setidaknya ada 17 kebijakan di Indonesia yang secara eksplisit mendiskriminasi dan/atau mengkriminalisasi LGBTI. Ini belum termasuk kebijakan yang dalam implementasinya menindas LGBTI.

Data di atas diperkuat dengan fakta ilmiah yang tertera pada laporan United Nations Development Programme (UNDP) tentang situasi LGBTIQ di Indonesia dan penelitian tentang diskriminasi berbasis SOGI di tempat kerja yang diluncurkan International Labour Organisation (ILO) pada Mei 2016 .

Negara Indonesia, di satu sisi, telah menunjukkan perkembangan baik dalam mengentaskan kekerasan dan diskriminasi berbasis SOGIE. Ini dapat dilihat di rekomendasi dari Lembaga HAM Negara yang tercantum di laporan Komnas HAM tentang situasi minoritas di Indonesia (2016), pernyataan sikap Komnas HAM dan Komnas Perempuan terkait kekerasan dan diskriminasi pada LGBT awal tahun 2016, serta Prinsip-Prinsip Yogyakarta yang memuat prinsip-prinsip pemberlakuan hukum internasional dalam kaitannya dengan SOGI yang diterjemahkan oleh Komnas HAM dan diluncurkan pada awal tahun 2016 .

Namun ironisnya, perkembangan dan itikad baik ini dikhianati oleh pemerintah Indonesia sendiri. Hal ini bisa dilihat misalnya pada Juni 2016 lalu misalnya, pemerintah menolak Resolusi Pakar SOGI Independen Dewan HAM PBB. Awal tahun 2016, pemerintah melalui pejabatnya secara terbuka membuat pernyataan-pernyataan diskriminatif dan ujaran kebencian terhadap LGBTIQ.

Pernyataan Pemerintah Indonesia di Sidang Dewan HAM PBB yang menyatakan bahwa “Pemerintah Indonesia menegaskan kembali komitmennya untuk mengentaskan diskriminasi dan kekerasan terhadap semua orang”, dianggap Federasi Arus Pelangi sebagai fakta bohong.

Situasi makin diperparah oleh pemberangusan ruang demokrasi yang terjadi secara masif kepada berbagai kelompok di Indonesia. Ormas-ormas (milisi sipil) bekerja sama dengan aparat kepolisian gencar menyerang rakyat yang sedang beribadah atau menyampaikan aspirasi, seperti yang terjadi pada survivor pelanggaran HAM 1965, LGBTI, rakyat Papua, jemaat GKI Yasmin, dan sebagainya.

Federasi Arus Pelangi melihat bahwa negara begitu menikmati pertempuran antar rakyatnya sendiri sementara mereka sibuk menikmati kekuasaan; merampas tanah dari Rembang, Kulon Progo, hingga Papua; membakar hutan di Sumatra dan Kalimantan; serta merampok uang rakyat.

Negara Harus Menjalankan Mandat Perlindungan

Dalam pernyataan sikapnya Federasi Arus Pelangi menyatakan menuntut negara untuk menjalankan mandat Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia termasuk kepada LGBTI. Selanjutnya mengusut tuntas seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada LGBTI di Indonesia, menghentikan segala bentuk dan upaya kriminalisasi terhadap LGBTI, mulai dari kebijakan hingga pelaksanannya.

Terakhir, Federasi Arus Pelangi menyerukan kepada segenap rakyat Indonesia baik buruh maupun petani, mahasiswa dan kaum miskin kota, rakyat Papua dan seluruh kelompok tertindas untuk menyatukan kekuatan, merebut dan mempertahankan ruang demokrasi, demi melawan segala bentuk penindasan dan pelanggaran HAM.

(Foto: Ilustrasi/ Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!