Perempuan Pekerja Kreatif Rawan Depresi

Luviana – www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – “Karoshi” begitu orang Jepang menyebut
kematian akibat bekerja melampaui batas (overwork). Kementerian Perburuhan
Jepang mencatat kerja lembur berlebih mengakibatkan 96 pekerja tewas karena
sakit dan 93 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri karena gangguan mental. Hal
ini juga terjadi pada perempuan pekerja.

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi
(SINDIKASI) melihat pekerja industri kreatif Indonesia memiliki kecenderungan
bekerja melampaui batas yang mengakibatkan depresi dan rentan mengalami tragedi
seperti di Jepang.

Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) membagi sektor kreatif menjadi 16 subsektor
yaitu aplikasi dan game developer, arsitektur, desain interior, desain
komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi, dan video, fotografi,
kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa,
serta televisi dan radio.

SINDIKASI melihat sisi kesehatan dan keselamatan kerja banyak diabaikan ketika
persoalan ekonomi kreatif menjadi perbincangan. Padahal, BEKRAF memproyeksikan
sektor ini sebagai “tulang punggung ekonomi Indonesia”. Sementara BPS mencatat
industri kreatif menyerap 15,9 juta pekerja tahun lalu dan tumbuh 4,3 persen
dalam setahun.



Perempuan Pekerja Rentan Depresi

Pekerja kreatif diduga banyak mengalami depresi karena kelebihan kerja. “Saya
cerita ke teman bahwa saya mengalami gejala depresi. Ternyata mereka pun
mengalami gejala yang sama,” kata Anggota SINDIKASI Ellena Ekarahendy pada
Kamis, 16 Maret 2017.

Perempuan yang bekerja sebagai desain grafis ini
menyampaikan keprihatinannya dalam diskusi berjudul “Antara Dedikasi dan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)” yang diselenggarakan SINDIKASI dan
didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Federasi Serikat Pekerja Media
(FSPM) Independen di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta Selatan pada 16 Maret
2017 lalu.

Salah satu kasus yang menyita perhatian di Jepang adalah peristiwa tewasnya
Matsuri Takahashi, perempuan pekerja perusahaan periklanan raksasa Dentsu Inc
setelah terjun dari apartemen.

Hasil penyelidikan tewasnya Matsuri menyimpulkan perempuan
24 tahun ini mengalami depresi akibat beban psikologi di tempatnya bekerja.
Kondisi ini terjadi karena beban kerja Matsuri bertambah drastis dan membuatnya
harus lembur selama 150 jam dalam sebulan. Setelah kematian Matsuri, perusahaan
iklan Dentsu Inc pun melarang pekerja bekerja di kantor di atas pukul 22.

Ellena menambahkan banyak kerja lembur muncul karena tidak ada sistem yang
melindungi para pekerja kreatif. 

“Ada yang kerja full time dan lembur dalam sebulan gajinya
Rp 1,5 juta,” katanya mencontohkan kondisi suram pekerja kreatif.

Untuk itu, Ellena mendesak adanya instrumen hukum sebagai
penjamin kesehatan dan keselamatan kerja bagi sektor ini. Terlebih, banyak
pekerja kreatif cenderung informal tanpa tempat kerja yang jelas.

SINDIKASI melihat jam kerja yang panjang, lembur tanpa kompensasi, minimnya
perlindungan kesehatan, tingkat stress tinggi, dan ancaman kekerasan menjadi
gambaran rentannya para pekerja kreatif dalam kesehariannya.

Kasus meninggalnya pekerja periklanan Mita Diran pada 2013 lalu membuka mata
publik akan rentannya kesehatan pekerja industri kreatif dalam kultur kerjanya.
Perempuan 27 tahun itu meregang nyawa setelah bekerja non stop selama 30 jam.

Lembaga pemerhati K3 Local Initiative for OSH Network (LION) menganggap
pemerintah gagap dalam melindungi para pekerja kreatif. Ini karena banyak
pekerja kreatif cenderung berada di ranah informal.

“Pekerja dengan pola hubungan non standar tidak punya
jaminan pasti. Itu berdampak pada K3, negosiasi kenaikan upah,” terang
Koordinator LION, Wiranta Yudha Ginting.

Ia mengusulkan agar pemerintah menyusun definisi ulang hubungan ketenagakerjaan
di sektor kreatif. Di antaranya adalah definisi ulang tempat kerja dan kerja.
Kajian itu dapat menjadi dasar pembentukan regulasi untuk perlindungan pekerja
kreatif.

SINDIKASI menyerukan agar ada kerjasama antara berbagai sektor pekerja kreatif
untuk menyusun standar-standar kerja yang lebih manusiawi.

“Mari kita mencari waktu, melihat sumber daya manusia yang
ada, organisasi dan komunitas apa saja yang sudah ada dan apa yang kita bisa
lakukan bersama,” ajak anggota SINDIKASI, Ellena.

Ajakan ini disambut oleh sejumlah peserta diskusi. Di antaranya Sammy Suyanto
yang mewakili Asosiasi Profesional Desain Komunikasi Visual Indonesia (AIDIA),
Jati Andito dari Komunitas Voice Over Indonesia, dan Rege Indrastudianto dari
Asosiasi Desainer Grafis Indonesia.

“Ini sebuah hajat besar yang perlu dikerjakan bersama,”
terang Sammy.


Bekerja Melebihi Batas

Overwork adalah masalah serius di seluruh Asia meskipun ternyata panjangnya jam
kerja tak otomatis membuat produktifitas negara meningkat.Hasil studi, seperti dikutip Nikkei Asian Review, terhadap
18 perusahaan manufaktur di Amerika menunjukan 10 persen peningkatan terhadap
jam lembur malah menurunkan 2,4 persen produktifitas.

Data International Labor Organization (ILO) pada 2015 mencatat sebanyak 26,3
persen pekerja di Indonesia bekerja lebih dari 49 jam dalam sepekan. Padahal,
Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan 40 jam
kerja dalam sepekan. Data lain menunjukkan pekerja di Jakarta, berdasarkan
survei UBS pada 2015, menghabiskan 2.102 jam untuk bekerja dalam setahun atau
di atas Manila (1.950 jam per tahun) dan Kuala Lumpur (1.934 jam per tahun)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!