Kartini dan Perempuan Indonesia Saat Ini

Sekolah Kartini 

Kartini (1879-1904) adalah perempuan, yang dengan
berbagai cara kemudian melakukan perlawanan. Ia mencintai tradisi, namun ia
juga melawan tradisi, ketika tradisi itu tak berpihak pada perempuan dan
masyarakat kecil di lingkungan istana tempatnya tinggal, Jepara, Jawa Tengah.
Dalam Edisi Khusus Kartini di bulan April 2017, Konde.co akan menuliskan Edisi
Kartini selama sepekan, yaitu dari tanggal 16-22 April 2017. Sejumlah pemikiran
akan kami letakkan dalam bingkai Kartini selama sepekan ini. Selamat membaca.

Poedjiati Tan – www.konde.co Sejak ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 2
Mei 1964 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964, setiap tanggal 21
April diperingati sebagai hari Kartini. Keputusan Presiden ini juga menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yang artinya Kartini mempunyai
peran dan kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia, meskipun tidak memanggul
senjata. Ya, Kartini berjuang untuk kepentingan masyarakat Indonesia dan
khususnya perempuan melalui ide dan gagasan-gagasannya yang telah dibukukan.

Peringatan hari Kartini setiap tahunnya banyak
dimunculkan dengan simbol-simbol keperempuanan yang justru berlawanan dengan
apa yang diperjuangkan Kartini. Perjuangan dalam melawan budaya dan struktur
budaya yang meminggirkan dan menindas perempuan saat itu, yaitu melawan
domestikasi perempuan dengan memajukan pendidikan bagi perempuan. Yang jika
kita tarik ke masa sekarang, perjuangan tersebut masih relevan untuk terus digaungkan,
untuk terus digelorakan dan dilakukan oleh perempuan-perempuan Indonesia yang
masih belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi.

Berdasar Berita Resmi Statistik BPS 2017, 41,6%
perempuan usia 15-64 tahun berpendidikan tingkat SD sederajat atau belum tamat
SD, 23,1% berpendidikan SMP sederajat dan 35,3% berpendidikan SMA sederajat.
Sedangkan dari aspek pekerjaan, sekitar 42,3% perempuan di Indonesia tidak
bekerja dan 35% bekerja di sektor swasta, jasa dll. Kondisi ini memperlihatkan
situasi perempuan Indonesia usia produktif yang masih mengalami diskriminasi
dan peminggiran terhadap akses dan kesempatan dalam bidang pendidikan dan
pekerjaan. 

Seperti yang terdapat di Surat kartini Kepada Nyonya
Abendanon Mandri pada tanggal 21 Januari 1901dalam salah satu paragraf di
suratnya; Aduhai, dengan gembira saya benarkan pikiran suami nyonya yang
demikian jelas terbaca dalam surat edaran tentang pengajaran untuk anak-anak
perempuan Bumiputera: perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan, bukan
karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri
juga yakin sungguh-sungguh bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh
yang besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan: bahwa
dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia.

Dan, bagaimanakah ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik
anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?

Karena itulah maka saya amat sangat gembira atas
maksud yang mulia hendak memberikan pendidikan dan pengajaran kepada
gadis-gadis Bumiputera itu. Sudah lama saya mengerti bahwa hanya itulah yang
dapat membawa perubahan dalam kehidupan perempuan Bumiputera yang menyedihkan
ini. Pengajaran kepada anak-anak perempuan akan merupakan rahmat, bukan hanya
untuk perempuan saja melainkan untuk seluruh masyarakat.

Sudah 138 tahun pemikiran Kartini berlalu, tetapi hingga kini masih saja pendidikan bagi perempuan kurang dianggap penting.  Di masa modern ini, perempuan Indonesia masih banyak yang menjadi korban kekerasan, perdagangan orang dan eksploitasi, yang acapkali dipicu perlakuan diskriminasi berdasar jenis kelamin, pendidikan dan tingkat ekonomi yang rendah serta minimnya informasi tentang hak asasi perempuan. Kartini juga gelisah dengan adanya pemaksaan perkawinan bagi anak-anak gadis di lingkungan sekitarnya, sehingga dia berpikir bahwa pendidikan bagi perempuan juga akan mencegah perkawinan usia anak, yang ternyata hingga sekarang masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Menurut www.girlsnotbrides.org, diperkirakan bahwa 1 dari 5 perempuan Indonesia menikah pada usia kurang dari 18 (delapan belas) tahun. Di samping itu, pada 2011, Indonesia menempati urutan ke-37 di di antara negara-negara yang memiliki jumlah pernikahan usia anak tertinggi di dunia (World Fertility Policies, United Nations, 2011).

Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan
Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan usia anak di
Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3
juta perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus
sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun
2030.

Dari data-data di atas, berdasar instrumen hukum HAM yang
sudah diratifikasi Indonesia, perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak
yang serius sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Bahkan di UU Perlindungan Anak
sendiri melarang perkawinan usia anak karena itu akan mempengaruhi penikmatan
atas hak asasi anak lainnya dalam kerangka sebagai warga negara maupun manusia
yang perlu mendapatkan tumbuh kembang terbaik anak.

Ketika perempuan mendapatkan hak atas pendidikan yang
setara dengan laki-laki, maka akan dapat meningkatkan partisipasi dan
kontribusi dalam semua bidang kehidupan. Kemajuan dan keberlangsungan suatu
bangsa tergantung partisipasi perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan bidang
lainnya. Seperti yang pernah dikatakan Obama dalam pidatonya di Majelis Umum
PBB, “Masa depan tidak harus melulu
dimiliki kaum patriarki. Masa depan harus dibentuk oleh anak-anak perempuan
yang pergi ke sekolah dan mereka yang bermimpi hidup sejahtera.

Pendidikan bagi perempuan dan laki-laki yang tidak
hanya berfokus pada pendidikan formal namun juga informal, yang menggabungkan
pengetahuan, teknologi, budaya dan budi pekerti sebagai dasar pengembangan
karakter generasi Indonesia yang sehat secara fisik, psikis, sosial dan
kepribadian merupakan hal yang dibutuhkan dan peelu diprioritaskan saat ini. Sehingga
upaya pahlawan-pahlawan perempuan yang menjadikan pendidikan sebagai pintu
utama membangun perempuan Indonesia yang kuat dan mampu berkontribusi untuk
masyarakat, negara dan dunia internasional menjadi suatu keniscayaan. Seperti yang
ditulis Kartini “…dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami,
yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan
mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
(surat
Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!