Politik Seksual Perempuan

Poedjiati Tan – www.konde.co 

Dalam sebuah chating group whatsapp teman-teman laki bercerita tentang sex,
ada yang mengatakan kalau istrinya selalu puas dalam hubungan seks mereka.

Lalu
ada yang mencandai kalau dia hanya mampu ereksi tujuh menit bagaimana bisa memuaskan
istrinya. Cerita ini mengingatkan saya akan seorang sahabat laki-laki yang
waktu berdiskusi tentang orgasme, dia baru sadar selama 17 tahun menikah dia
tidak pernah tahu istrinya itu selalu orgasme atau tidak. Dia juga tidak tahu
g-spot dari istrinya atau posisi apa yang disukai istrinya. Bahkan dia juga
tidak tahu ketika berhubungan seks, apakah istrinya mengingkan atau tidak.

Ketika saya bertanya kenapa tidak pernah ditanyakan kepada istrinya? Dia
menjawab “Malu!

Selain itu dia beranggapan bahwa hubungan seks itu adalah sebuah kewajiban
dan tugas istri adalah melayani. Ketika saya tanya kembali kenapa mesti malu?
Teman saya ini tidak bisa menjawab kenapa dia malu membicarakan tentang
hubungan seks mereka. Pada akhirnya dia mengatakan akan mulai mencoba untuk
berkomunikasi dengan istrinya dan mencari tahu apa yang istrinya sukai dan
bagaimana membuat istrinya menikmati serta orgasme.

Beberapa hari kemudiaan ketika kami bertemu kembali dengan muka bahagia dia
bercerita, kalau hubungannya dengan istri makin mesra dan seperti pengantin
baru. Katanya, setelah semalam berhubungan, pagi hari sebelum berangkat kerja,
istrinya memasakan nasi goreng kesukaannya dan mencium dia sebelum berangkat
kerja.

Padahal selama ini kalau dia berangkat kerja istrinya tidak pernah
mengatarnya sampai depan pintu apalagi menciumnya. Katanya, baru kali ini
mereka terbuka mengenai seksual padahal mereka sudah menikah 17 tahun dan
mempunyai 3 anak. Tapi baru sekarang benar-benar merasakan kenikmatan seksual
dan saling membahagiakan.

Berbeda pula dengan yang dialami oleh Susan, dia bercerita kalau dia sering
pura-pura orgasme ketika berhubungan seks dengan suaminya. Dia hanya ingin
hubungan seks itu cepat selesai dan dia bisa tidur dengan tenang. Ketika
ditanya kenapa begitu? Dia mengatakan kalau dia harus bangun pagi-pagi,
memasak, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan dan juga makanan yang akan dibawa
untuk suaminya, menyiapkan anak-anaknya ke sekolah, dan menyiapkan diri sendiri
untuk berangkat kerja.

Semua itu dia lakukan sendiri dan suaminya memilih tidur
tidak pernah membantu dirinya. Kalau berlama-lama hubungan seks di malam hari, biasanya
di kantor akan merasa kelelahan dan kehabisan tenaga ketika bekerja. Kadang dia
juga berpura-pura orgasme agar suaminya merasa senang padahal dia tidak terlalu
menikmati. Dia ingin suaminya bangga sudah menjalan tugasnya sebagai lak-laki.

Begitupula dengan Rina yang selalu kesal dengan suaminya yang tidak peduli
dengan dia ketika berhubungan seks. Suaminya tidak peduli dia sedang ingin
berhubungan seks atau tidak, dia sudah orgasme atau belum. Bahkan ketika dia
sedang tertidur pulas suaminya membangunkannya kadang langsung mencopot celana
dalam dan melakukan penetrasi. Ketika dia marah, suaminya cuek saja dan tetap
melakukan hal yang sama ketika dia menginginkan hubungan seks. Setelah selesai
dia langsung tidur tanpa peduli dengan dirinya.

“Apakah ini cara dia menghukum aku ya karena aku menolak memiliki anak lagi?Katanya
dengan sedih. Uaminya juga menolak menggunakan kondom meskipun tahu aku kurang
cocok dengan KB.

Ada pula cerita Donna yang mendapatkan penyakit kelamin dari suaminya.
Ketika dia meminta suaminya memeriksakan dirinya dan berobat, malah dia
mengalami kekerasan dari suaminya hingga babak belur karena suaminya merasa
marah dituduh selingkuh. Suaminya menuduh dia lebih mempercayai dokter daripada
suami sendiri. Sebetulnya Donna ingin bercerai dengan suaminya tapi dia sadar
kalau dia masih membutuhkan gaji suaminya untuk mencicil rumahnya.

Hubungan seks pada pasangan suami istri kadang hanya dilihat sebagai suatu
kewajiban istri melayani suami. Kewajiban istri untuk bisa menyenangkan suami.
Hubungan seks dilihat sebagai sarana untuk menghasilkan keturunan. Seks kadang
juga dilihat sebagai penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Dimana ideologi
patriaki terlibat di dalamnya. Tubuh perempuan yang menikah seakan-akan milik
suaminya dan suami berhak mengatur tubuh istrinya.

MenurutKate Millet,dalam bukunya Sexual politics, mengatakan patriarkisebagai sebuah ideologi diterapkan melalui “consent” (kepatuhan). Sexual
politics
 memperoleh kepatuhan dengan cara sosialisasi kedua jenis
kelamin pada suatu tata cara dasar yang menyangkut temperamen, peran, dan
status. Ketiga kategori tersebut dipilah lagi: status adalah komponen politik,
peranan adalah komponen sosiologis, dan temperamen sebagai komponen psikologis.
Ketiganya saling berketergantungan dan membentuk semacam rantai.

Millet melihat bahwa laki-laki memiliki kontrol terhadap ruang publik dan
privat perempuan yang memiliki konstitusi patriaki. Millet berpendapat bahwa Seks
adalah politik terutama karena hubungan perempuan dan laki-laki memiliki pola
pikir bahwa lak-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan. Laki-laki
memiliki kekuasaan, kontrol, ekonomi terhadap perempuan dan semua itu di legitimasi
oleh budaya, masyarakat, sosial, negara dan agama.

Lihat saja bagaimana perkosaan di dalam perkawinan tidak pernah dianggap
ada. Tidak ada istri yang berani melaporkan suaminya bila dia mengalami
kekerasan seksual. Istri juga tidak berani menuntut kenikmatan seksualnya atau
menolak melakukan hubungan seks dengan suami karena itu dianggap melanggar dan
tidak patuh terhadap suami.

Gagasan tentang
seksualitas itu sendiri sebagai suatu konstruksi sosial, dan bukan entitas
lahiriah secara biologis yang tidak bisa berubah. Seksualitas dilihat sebagaiseuatuyang rumit dan
beraneka ragam dimana emosi, hasrat dan hubungan kita dibentuk oleh masyarakatdan lingkungan. 

Memahami
kekuatan sosial ini merupakan langkah pertama untuk memgubahnya, dengan
memastikan bahwa perempuan memiliki peluang merenungkan kedudukan dan
pengertian seksualitas dalam kehidupan danrelasinya. Serta kesempatan perempuan untuk memiliki
autonomi dalam kawasan intim dari hidupnya.Dan dukungan
laki-laki sebagai suami sangat diperlukan untuk mendobrak kebiasaan, pemahaman
tentang seksualitas perempuan dan konstruksi sosial.

Referensi

Sexual
Politics
 (1969) publ. Granada Publishing. The
Second Chapter, Theory of Sexual Politics
.

George Ritzer
dan D J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana  

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!