Jangan Panggil Aku Banci

“Apakah aku perempuan atau laki-laki? Pertanyaan seperti itu sudah menghantui benak para waria sejak kecil. Pada usia anak-anak, waria sudah harus bergelut dengan dirinya yang terjebak dalam kebingungan dan ketakutan yang tidak ia mengerti. “

Luviana- www.Konde.co

Guratan, cerita keseharian para waria ini kemudian dituliskan oleh: Our Voice dan Rehal Pustaka, Jakarta dalam bukunya berjudul “Sesuai Kata Hati: Kisah Perjuangan para Waria.” Diterbitkan di tahun 2014 dan dituliskan oleh sejumlah aktivis dan penulis: Hartoyo, Titiana Adinda, Prodita Sabarini, Tanti Noor Said dan Gusti Bayu, buku ini menuliskan curahan hati para Waria di sejumlah kota di Indonesia.

Yang paling menarik dari kisah 7 waria ini adalah ketika mereka bertingkah laku lembut, gemulai, karakter yang ‘pantas’ untuk orang yang dilahirkan sebagai perempuan. Namun sayang, semua kesenangan, tingkah laku tersebut selalu mendapatkan penolakan dari lingkungannya (Hal. 9).

Awalnya Adalah: Panggilan yang Mengolok-Olok

Seorang waria, Vin misalnya selalu dipanggil dan diolok-olok dengan “banci dan wandu’. Wandu dalam arti bahasa Jawa artinya: Wanita Dudu (bukan perempuan). Olok-olok inilah yang kerap diterima vin di lingkungan rumah dan sekolahnya.  Padahal, Luluk, seorang waria lain  mengatakan, bahwa ejekan bencong atau banci ini sangat melukai hatinya.

Buku ini kemudian juga menguraikan bagaimana lingkungan yang tak bisa menerima waria kemudian menghambat pertumbuhan waria. Ada waria yang minder ketika di sekolah dan ini kemudian yang membuat para waria menjadi putus asa untuk meneruskan sekolah. Perjuangan untuk sampai lulus sekolah adalah perjuangan berat bagi para waria.

“Sering sekali murid kelas lain berkomentar mengenai cara berjalan dan bicara saya ketika melihat. Semua hal dikomentari karena apa yang saya tampilkan tidak semestinya dilakukan laki-laki. Mengapa sepertinya orang menjadi usil sekali atas tubuh orang lain?.”

Itu pertanyaan dari banyak waria dalam buku ini.

Konstruksi inilah yang kemudian membuat para waria menjadi sulit mendapatkan pekerjaan. Ini seperti kartu domino, yang kemudian menjalar ke semua lingkungan yang mendiskriminasi waria. Sulitnya diterima di lingkungan sekolah dan rumah, kemudian menjalar kemana-mana, seperti menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Memang ada sejumlah waria yang bekerja di instansi pemerintah dan organisasi, namun ini juga tidak banyak jumlahnya.

Sebagian masyarakat menerima waria dalam batas tertentu, yakni dalam stereotype waria sebagai bahan lawakan, pegawai salon kecantikan dan sebagai pelacur. Banyak dari waria yang bekerja di jalan kemudian mendapatkan kekerasan psikis.

Yuli, dalam buku ini adalah contoh waria yang mendobrak semua itu. Ia kemudian aktif di lingkungan masyarakat, bekerja hingga mendaftar menjadi komisioner Komnas HAM.

Kekuatan “Cinta”

Buku ini juga menuliskan tentang cinta yang lalu harus rela dilepaskan. Sejumlah waria kemudian mengungkapkan bahwa dalam sejumlah cerita kehidupan, mereka kemudian banyak ditinggalkan pasangannya, lalu pasangannya ini menikah dengan perempuan lain.

Hal ini sering terjadi secara tiba-tiba. Ada waria yang kemudian diajak untuk berpoligami dengan pasangannya, namun lebih banyak waria yang kemudian menolak hubungan seperti ini. Bagi para waria, lebih baik diterima oleh pasangan yang bersungguh-sungguh, daripada dipoligami atau hanya diingankan ketika dibutuhkan. Inilah makna kekerasan yang dialami para waria, mereka sering mendapatkan kekerasan psikis dari pasangannya.

Tak Pernah Surut oleh Waktu

Namun kekerasan, diskriminasi dan stereotype yang dilekatkan kepada 7 waria dalam buku ini tak pernah menyurutkan langkah-langkah mereka untuk memperjuangkan kehidupan para waria lainnya. Tak pernah surut oleh waktu. Barangkali inilah intisari dari buku ini. Dan justru para waria kemudian ikut berjuang dalam pembangunan manusia di Indonesia. Mereka bergerak sebagai agen sosial, agen perubahan agar manusia satu menghormati manusia lainnya.

Buku ini sangat baik digunakan sebagai refleksi bagaimana kita memperlakukan manusia lainnya, dan bagaimana bertanya pada negara-apakah sudah turun tangan dalam memberikan penghormatan dan kehidupan yang layak bagi para waria?

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!