Silent Drop Out

*Dewi Normawati- www.Konde.co

Silent Drop out. Istilah itu pertama kali saya dengar dari seorang teman perempuan yang berprofesi sebagai pendidik.

Umumnya pelajar yang drop out dikarenakan berbagai hal. Antara lain ketidakmampuan ekonomi, keterbatasan berpikir, atau lainnya. Namun, silent drop out punya arti berbeda.

“Sekarang ini banyak silent drop out. Mereka lulus, punya ijazah, tapi minim kompetensi individual,” ujar teman kami saat kami berbincang di ruang tamu rumahnya yang terasa hangat, ditemani kudapan dan teh manis.

Saya manggut-manggut, menunggu ia bicara lebih jauh.

Dunia kerja tentu saja jauh berbeda dengan dunia saat sekolah. Dan menurut teman saya, kompetensi seseorang baru benar-benar akan diuji setelah lulus. Apakah ia akan bekerja sesuai ijazah yang ia miliki, atau sesuai dengan bakat dan minat yang mungkin tak ia pelajari sebelumnya?

“Kompetensi mereka benar-benar diuji dalam persaingan yang sangat ketat. Kompetensi menjadi pertanyaan besar, padahal inilah yang harus dijawab dalam realitas pasca lulus sekolah.”

Saya masih membiarkan dia bicara lebih jauh. Ia memang selalu bersemangat jika bicara pendidikan.

“Anak-anak hanya dipersiapkan untuk bisa lulus dalam ujian, tetapi kompetensi individual tidak terisi. Bahkan, anak-anak itu tidak tahu kompetensi dirinya dan bingung mau bekerja atau berprofesi sebagai apa. Kompetensi dan potensi dirinya tidak diasah dalam pendidikan yang diselesaikannya. Ibaratnya, anak-anak hanya diberi tiket masuk, tetapi setelah masuk mereka tidak diperlengkapi dengan bagaimana cara bermain di dalam gedung itu,” jelasnya.

Ah, tiket masuk. Istilah itu terasa menyentak kepala saya.

“Maksudmu, anak-anak kita hanya seperti penonton yang duduk-duduk di pinggiran gedung sambil menyaksikan sebuah tontonan menarik. Dan mereka sama sekali tidak sadar jika sebenarnya mereka punya kemampuan untuk bisa bermain di panggung yang ditontonnya?”

Ia mengangguk.

“Inilah silent drop out dan ini banyak sekali jumlahnya. Sedih kan? Kadang kalo mikir kondisi ini, badanku sakit dan suhu tubuhku meningkat. Prihatin banget.”

Ia tak berlebihan. Di dunia kerja yang saya geluti saat ini, tak cuma sekali saya menemukan “silent drop out.”

Ijazah mereka keren, banyak gelar, namun tak punya “kompetensi”. Ini sebetulnya sama saja jika mereka tidak bergelar karena gelarnya menjadi “tidak berbunyi” di arena kehidupan yang sebenarnya, di luar dinding sekolah mereka.

Bahkan menurut saya, jangan-jangan lebih baik mereka yang betul-betul drop out dan tak punya ijazah. Sebab, begitu mereka masuk ke realita, kompetensi mereka akan lebih terasah, karena tidak terlalu ribet memikirkan ijazah.

Inilah ironi yang terjadi, kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Seperti tidak nyambung.

Pendidikan memang tak hanya dibatasi oleh bilik kelas maupun bangunan gedung-gedung perkuliahan, tetapi lebih daripada itu pendidikan adalah semua proses dalam dalam kehidupan. Pendidikan itu tak hanya berbatas tembok sekolah maupun atap perkuliahan tetapi ada di mana saja dan mungkin hanya dibatasi oleh langit.

Dan saya rasa, kita semua, terutama para perempuan, sangat bisa berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Mungkin dimulai dari lingkungan terdekat, entah itu keluarga, teman, tetangga, dan seterusnya. Tujuannya,  ya itu tadi, ikut membangun manusia berkarakter yang tahu akan potensi dan kompetensi dirinya.

Dengan kemampuan multitasking perempuan? Multitasking ini bisa ada dan terjadi dimana saja, tak perlu kompetensi yang justru malah menyesatkan.

Banyak perempuan yang tak sekolah, tapi multitasking dalam kehidupan. Kita bisa merasakannya setiap hari, dalam kesabaran ibu mendidik kita, kesabaran para perempuan lain yang menjadi tonggak berdirinya keluarga, juga perempuan yang berlomba untuk kehidupan anak-anak dan lingkungannya.

Saya meneguk teh dalam cangkir yang saat itu mulai terasa dingin. Namun hangatnya masih terasa hingga saya menuliskan ini semua, hari ini.

*Dewi Normawati, Ekonom pecinta filsafat. Menulis dari apa yang dicerap oleh panca inderanya dalam keseharian hidup, di dewinormati.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!