Project Sophia dan Cerita Perempuan Poso

*Kustiah- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Di manapun tempatnya, konflik selalu meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban, juga bagi perempuan dan anak.

Salah satu konflik mencekam yang menelan korban tak sedikit pernah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Namun, bagi para perempuan survivor konflik Poso yang tergabung dalam organisasi masyarakat Institut Mosintuwu konflik bukan untuk diratapi. Mereka bergerak. Melupakan konflik, membangun dan saling memberdayakan antarsesamanya.

Dua jam di ruang Ke: Kini di Jalan Cikini Raya empat perempuan dari Poso atau mereka biasa dipanggil mama mama Poso seperti telah menghipnotis pengunjung, pada awal Oktober 2017 lalu.

Pengunjung memperhatikan, mendengarkan dengan seksama, dan tak beranjak sedikit pun sampai kemudian panitia mempersilakan pengunjung untuk mengambil Kopi Kojo Bantea dan Kukis Bagea Poso, hasil bumi mama mama Poso.

Para mama Poso menceritakan kisahnya bagaimana mereka saling berbagi tugas dan melakukan pendampingan terhadap perempuan dan anak. Pekerjaan sukarela yang mereka lakukan tak mudah. Karena harus melewati hutan, menyeberangi danau, dan melewati jalan terjal yang tak cukup hanya dilakukan satu atau dua jam.

Manajer Program Insitut Mosintuwu Cici Mbatesi (37) mengatakan, di beberapa desa di Poso sulit dijangkau motor apalagi mobil. Para relawannya terpaksa harus mengunakan perahu atau kadang dengan berjalan kaki dengan membawa barang seperti kardus yang berisi buku. Demi memperkenalkan buku dan meningkatkan literasi baca kepada anak-anak di desa-desa yang sulit dijangkau relawan Mosintuwu membuat program Project Sophia.

“Akses buku ke anak-anak desa tidak ada padahal mereka memiliki minat baca yang bagus,” ujar Cici kepada penulis.

Project Sophia dan Sekolah Perempuan

Project Sophia adalah perpustakaan keliling yang dikembangkan oleh Institut Mosintuwu untuk menfasilitasi ruang bertemu, bermain dan berekspresi bagi anak-anak di wilayah pasca konflik Poso melalui buku. Project ini tidak hanya menyediakan buku-buku tetapi juga melalui buku-buku anak bisa bermain mengembangkan aktivitas termasuk mempertemukan anak-anak dari berbagai agama dan suku di dalam satu desa atau antar desa.

Project Sophia mengembangkan 2 model utama dalam programnya yaitu:

1.Kunjungan perpustakaan ke desa-desa; perpustakaan rumah (perpustakaan yang dikelola oleh anak-anak Kotak Ajaib)

2.Diskusi buku anak; dan festival anak / kemah anak perdamaian.

Sejak tahun 2010, Project Sophia telah berkeliling sebanyak 105 kali di 24 desa di Kabupaten Poso. Program Institute ini tak hanya soal buku. Mereka juga melakukan pendampingan terhadap perempuan. Di antaranya mengajak para mama bergabung dalam sekolah perempuan, memberikan pelatihan pengolahan hasil tani seperti mengolah kelapa menjadi minyak VCO, dan beberapa kegiatan lainnya.

Ketua Institut Mosintuwu Lian Gogali mengatakan, organisasi yang terdiri para survivor konflik poso dibentuk karena keprihatinan atas peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik di balik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marginal.

Saat ini Mosintuwu beranggotakan pihak-pihak dari berbagai latarbelakang suku dan agama yang ada di Kabupaten Poso dan Morowali. Nama Mosintuwu diambil dari bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti Bekerja Bersama-sama.

Dari segala kerja keras yang dilakukan para relawan Mosintuwu terbesit mimpi yang mereka pupuk, yakni ingin memberdayakan masyarakat desa di Poso lebih luas lagi. Poso, menurut Lian, memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dan tangan-tangan mama telah membuktikannya, bahwa hasil bumi bisa menggerakkan ekonomi masyarakat Poso. Dia berharap anak-anak Poso tak pergi ke kota. Tetapi tetap tinggal dan membesarkan desa.

Maka itu, Lian berharap desa diberikan kepercayaan untuk mengelola desa. Kami ingin punya mall desa di mana kopi, tas, VCO, dan hasil bumi dipasarkan.

“Kami perlu tangan dan kaki lebih banyak dan lebih panjang untuk menjangkau mimpi kami. Kami membutuhkan dukungan dari semua pihak,” ujar Lian Gogali.

(Foto: Sekolah Perempuan Poso/ Mosintuwu.com)

*Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com. Kini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!