Ruang Publik bagi Elizabeth Cady Stanton (Perempuan)

Luviana- www.Konde.co

PADA satu hari Elizabeth Cady Stanton, ibu dari 7 anak berkirim surat kepada sahabat perempuannya, Susan B Anthony. Ia mengeluhkan karena tidak punya waktu untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di luar rumah.

Waktunya telah habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. Ketika pertemuan dilakukan pada malam hari pun, ia tidak bisa juga hadir, karena harus menunggui anaknya sampai benar-benar tertidur.

Beberapa tahun kemudian setelah anak-anaknya dewasa, ia kembali berkirim surat pada Anthony. Ia menyatakan saat ini sudah bisa mengikuti pertemuan di luar rumah karena anaknya sudah bisa mengurus diri mereka sendiri.

Namun dalam surat itu ia juga menghitung, betapa lamanya masa penantiannya untuk mengikuti pertemuan di luar rumah. Padahal suaminya, Henry Stanton, seorang aktivis anti perbudakan sering meninggalkan rumah karena pekerjaan politiknya. Susan B. Anthony-lah yang selama ini selalu mendorong Stanton untuk membaca di rumah. Karena ini bisa menjadi pengisi waktu yang paling baik ketika tidak bisa mengetahui aktivitas di luar rumah. Anthony juga yang selanjutnya mengajak Stanton untuk terjun ke dunia politik menjadi pejuang bagi perempuan lainnya.

Keduanya kemudian dikenal sebagai feminis yang banyak memperjuangkan anti perbudakan bagi perempuan di Amerika Serikat, terutama para perempuan kulit hitam.

Pada tahun 1848, keduanya juga memprakarsai konvensi hak-hak perempuan, dan ikut mendeklarasikannya pada peringatan kemerdekaan Philadelphia, 4 juli 1876.Karena kesukaannya pada bacaan bible/injil, Elizabeth kemudian dikenal sebagai pencetus teori, bahwa Tuhan itu mempunyai sifat androgin. Teori ini menjadi sangat penting dan banyak dipercayai bahwa Tuhan punya sifat feminin dan maskulin.

Ia kemudian juga menelorkan teori yang sangat penting di kalangan feminis bahwa seorang ibu mempunyai kekuatan luar biasa untuk berbuat sesuatu, karena seorang ibu sudah menapaki banyak tahap kehidupan yang penting. Salah satunya, ia bisa menjadi sumber energi bagi anak-anaknya.

Dari catatan harian Elizabeth ini, kita seperti diingatkan, seberapa lama seorang ibu mempunyai waktu untuk berdialog di luar rumah? Dan seberapa lama pula ia harus menunggui waktu ketika anak-anaknya dewasa, atau ketika waktu justru mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi waktu yang tersisa baginya untuk beraktivitas di luar rumah?

Salah satu penelitian penting, pernah dicatat oleh pusat layanan informasi perempuan (PLIP) Mitra Wacana, yang dilakukan di yogyakarta pada tahun 1998-1999. Penelitian ini menemukan bahwa seorang ibu harus menyelesaikan pekerjaannya di kantor, dan kemudian pekerjaan domestiknya, sebelum mengikuti pertemuan. Kalaupun ia datang ke pertemuan di malam hari, di mana para suami mereka berkumpul, ia hanya menjadi seksi konsumsi, dan tidak punya kesempatan berada dalam suatu ruang/forum dialog. Akibatnya mereka tidak paham betul, keputusan apa yang harus diambil.

Selain itu, mitos-mitos untuk menjadi perempuan pun harus ia terima, seperti diantaranya perempuan tidak boleh keluar rumah sendiri. Hal inipun terjadi pada perempuan yang berstatus sebagai janda.

Seorang perempuan harus melalui banyak tahapan untuk hadir dalam ruang publik. Ia harus menyelesaikan pekerjaan domestiknya, memandikan, menidurkan anak-anaknya, sampai bisa menyisihkan waktu untuk ke luar rumah. Padahal para pelaku politik misalnya, yang kebanyakan laki-laki, tidak pernah mau melihat hal ini. Laki-laki hanya memunculkan ide-ide, tanpa tahu bagaimana mengerjakannya.

Feminis Betty Friedan dalam bukunya Feminine Mystique (1963) kemudian memberi ide tentang sebuah ruang publik. Ruang publik semestinya bisa dihiasi pemikiran semua orang. Jadi ruang publik ini menjadi ruang yang androgini, yang menampung keluhan semua orang dan pendapat semua orang. Karena dari sinilah akan dimunculkan konsep tentang pluralitas dan kesetaraan.

Tidak seperti yang dialami Stanton, yang harus menunggu sekian lama untuk bisa keluar ke ruang publik. 18 tahun setelah kematian Stanton(1805-1902), para perempuan Amerika baru bisa memperoleh hak suaranya. Barangkali kita tidak usah menunggu jatuhnya banyak pencetus ide untuk melahirkan sebuah konsep ruang dialog/publik yang ramah untuk semua orang.

(Foto: Big Think)

(Tulisan yang sama pernah dimuat di news letter Lembaga Peneltian Pendidikan dan Penerbitan Yogya/ LP3Y)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!