Maskulinisme dalam Musik dan Tontonan Televisi

*Sinta Lia- www.Konde.co

Jarak Jakarta Bandung apalagi di waktu libur seperti ini, memang tak pernah mengenakkan hati. Kemacetan panjang seperti sesuatu yang harus dinikmati. Apalagi yang bisa dilakukan selain mendengar radio atau musik di mobil.

Pernah dalam sebuah kesempatan, saya bertiga pulang ke Bandung bersama teman-teman perempuan kami. Kami mendengarkan sebuah lagu tentang perselingkuhan yang diputar di salah satu radio. Ada juga lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi laki-laki yang melakukan perselingkungan atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk istrinya.

“Lagunya sih enak ya, karena semua orang sudah menyanyikan ini. Tapi kalau ingat siapa yang menyanyikan, kog jadi sedih ya lihat perlakuan dia buat istrinya,” ujar teman perempuan saya.

“Nah ini lagi, lagunya tentang perselingkuhan, tetapi laki-lakinya enak karena dialah yang berselingkuh, dan kemudian dia juga yang harus memilih salah satu dari 2 perempuan pacarnya. Duh, beratnya jadi perempuan dan enaknya jadi laki-laki.”

Kami mengumpulkan, ternyata ada sejumlah lagu yang syairnya menuliskan hal ini. Belum lagi cerita seperti ini ada di sinetron, entertainment talkshow, seolah cerita-cerita seperti ini merupakan sesuatu yang biasa. Lumrah jika dilakukan. Padahal menurut kami ini bahaya karena yang mengkonsumsi ini sangat banyak, tiap hari diputar di media, radio, TV, youtube. Apa jadinya jika orang kemudian mempercayai ini sebagai sebuah kelaziman, kebenaran?

“Jadi, laki-laki harus memilih karena selama ini dia ternyata sudah pacaran dengan 2 perempuan sekaligus. Kita tanya dulu laki-lakinya, mau pilih perempuan yang ini atau perempuan yang itu?.”

Ini kalimat yang sering saya dengar dalam sebuah entertainment talkshow di TV.

Media adalah ruang yang paling efektif untuk menyebarkan informasi. Ia bisa menyihir, mengagitasi dan melakukan propaganda pada banyak warga di setiap saat. Jika hal-hal seperti ini kita dengar setiap hari, bahaya jika semua orang mempercayainya dan menjadi ideologi yang ia percaya.

Feminisme menyebut ide ini adalah ide maskulinisme yang melegalkan kekerasan yang dilakukan laki-laki dalam syair lagu dan sinetron. Juga ada ide misoginis yang disebarkan untuk membenci para perempuan

Orang menjadi percaya bahwa laki-laki bebas berselingkuh dan boleh memilih salah satu perempuan yang dipilihnya. Perempuan juga berhak untuk dipilih, harus menjadi korban kekerasan dan tidak boleh marah jika tidak dipilih oleh laki-laki, karena laki-laki dalam lagu-lagu dan acara ini selalu dituliskan sebagai laki-laki yang perkasa dan punya banyak pilihan.

“Sedih khan, masak kita harus mendengar banyolan seperti ini?,’ ujar teman perempuan yang lain.

Dan lagu-lagu, acara-acara seperti ini sangat jauh dari advokasi yang dilakukan kelompok feminis seperti menolak KDRT, menolak kekerasan dalam pacaran, menolak patriarkhi.

Lalu bagaimana cara menghentikannya?

Yang paling mudah mungkin menelepon media yang bersangkutan dan memberikan kritik secara langsung. Cara lainnya yaitu menulis surat pembaca, protes, memberikan masukan, karena lagu atau acara seperti ini sama sekali tidak memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat, apalagi bagi perempuan.

Jika sekarang saja sudah banyak kekerasan yang menimpa perempuan, bagaimana jika lagu seperti ini diputar setiap hari, memenuhi rumah kita, mobil, tempat kita kerja. Saya berpikir jika ini terjadi terus-menerus, tak pelak akan makin banyak perlakuan kekerasan terhadap perempuan.

Maka, jangan segan-segan untuk melakukan kritik secara langsung jika ada lagu, acara-acara seperti ini. Jika tidak sekarang kita mau melakukannya, kapan lagi?

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Sinta Lia, penikmat sastra dan musik. Menuliskan ide-idenya dengan menulis

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!