Saya Adalah Korban Pelecehan Seksual, Kita Akan Diam atau Melawan? (2)

*Luluk Khusnia- www.Konde.co

Karena beberapakali menjadi korban pelecehan seksual dari laki-laki, diam-diam telah lama saya memupuk kebencian kepada laki-laki. Dan kebencian itu masih ada, tumbuh subur dalam diri saya hingga saat ini. Perbuatan-perbuatan tidak menyenangkan yang mereka sasarkan kepada saya, itulah penyebabnya.

Hanya ada satu hal dalam pikiran saya: semua laki-laki itu buruk.

Sampai sekarang pun, saya tidak berani menjalin hubungan dekat dengan laki-laki, karena takut mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan laki-laki yang telah melecehkan saya.

Perbuatan mereka membekas begitu dalam dan meninggalkan luka yang hingga saat ini belum bisa saya sembuhkan. Kejadian-kejadian itu membuat saya semakin merasa kotor, tidak memiliki harga diri, dan risih dengan tubuh saya sendiri.

Tidak hanya itu, saya semakin suka berdiam diri, merasa tidak nyaman berada dalam keramaian, dan menjadi seseorang yang sangat tertutup. Dan entah bagaimana caranya, semua kejadian itu menjadikan saya semakin emosional: terlalu sensitif dan sering marah tanpa alasan yang jelas.

Betapa saya ingin melampiaskan kemarahan dan rasa benci itu kepada mereka, semua laki-laki yang sudah memperlakukan saya dengan buruk. Tapi saya tidak mampu. Saya tidak tahu mereka ada di mana sekarang. Apakah mereka juga masih berbuat yang sama? Apakah ada korban selain saya? Saya tidak tahu. Seandainya dulu saya melaporkan laki-laki itu, mungkin saya tidak akan seperti sekarang, terjebak dalam bayangan masa lalu.

Perlahan, di sisi yang lain saya kadang juga berpikir bahwa saya-lah yang sebenarnya menyebabkan semua kejadian itu terulang. Hingga pada akhirnya, saya sering menghukum diri saya sendiri. Beberapa kali saya mencoba melukai anggota tubuh saya, terutama saat tiba-tiba teringat perbuatan-perbuatan yang menjijikkan itu. Entah itu dengan memukulkannya ke benda keras, atau bahkan melukainya dengan benda tajam. Hanya melukai, tidak sampai berusaha menghilangkan nyawa saya. Tidak ada yang tahu, karena saya selalu berusaha menutupinya. Jika ada luka yang tergores di anggota tubuh saya, maka luka itu adalah kepuasan yang saya cari.

Saya Ingin ‘Sembuh’ dan Melakukan Perlawanan

Menyimpan semua masa lalu yang buruk seorang diri memang tidak mudah. Saya diam dan menutup semua kejadian itu rapat-rapat lantaran tidak ingin orang lain nantinya semakin mempermalukan saya atau bahkan menyalahkan saya. Tapi, saya mulai sampai pada kesimpulan bahwa tindakan seperti itu justru salah. Memilih diam ternyata semakin membuat saya tersiksa bertahun-tahun lamanya.

Secara kebetulan, saya adalah seorang mahasiswa Psikologi. Dalam beberapa mata kuliah tertentu, saya diajarkan mengenai apa itu pelecehan seksual, apa yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual, mengapa perempuan dan anak menjadi subjek yang sangat rentan mengalami pelecehan seksual, bagaimana kondisi psikis para korban, apa yang harus dilakukan bila saya menjadi korban, apa yang harus saya lakukan ketika mengetahui seseorang menjadi korban, dsb. Bahkan, saya juga kerap diajarkan bagaimana melakukan terapi untuk mengatasi trauma pada korban pelecehan seksual.

Di satu sisi, mata kuliah yang saya dapatkan di bangku kuliah justru semakin membuka luka lama yang telah saya tutup rapat. Saya sering tiba-tiba menangis di kelas saat mendengarkan penjelasan dosen, lantaran mengingat kejadian-kejadian di masa lalu yang telah menimpa saya. Namun, di satu sisi lain, saya menjadi tahu bahwa dampak-dampak yang selama ini saya rasakan merupakan bentuk trauma akibat pelecehan seksual. Teknik-teknik terapi yang telah diajarkan pun berusaha saya terapkan pada diri saya sendiri. Menyembuhkan trauma memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu yang lama bagi saya untuk merasakan pengaruhnya. Bahkan saya sering harus mengulang teknik-teknik itu berkali-kali.

Saya ingin ‘sembuh’, sungguh…

Jika saya ingin sembuh, maka saya harus bisa menerima diri saya sendiri. Dan saya selalu berusaha mencari cara bagaimana bisa menerima diri saya sendiri. Hingga pada akhirnya, saya bertemu dengan teman-teman saya: anak-anak di bawah umur dan perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Saya bertemu dengan mereka di kantor polisi, khususnya di bagian perlindungan perempuan dan anak, ketika saya sedang menjalani praktik kuliah lapangan.

Di sana, selama 45 hari saya bertemu dengan orang-orang berbeda yang memiliki nasib serupa. Selama itu pula, saya harus bersedia diminta mendampingi mereka. Sejujurnya, itu bukan hal yang mudah bagi saya. Saya diminta mendampingi korban kekerasan seksual, sementara saya sendiri juga masih membutuhkan pendampingan.

Cerita-cerita yang saya dengarkan dari mereka, mau tak mau telah mengembalikan ingatan saya terhadap semua kejadian di masa lalu. Lagi-lagi, sama seperti saya, mereka juga menjadi korban laki-laki. Dan kebencian saya terhadap laki-laki pun semakin tak terbendung.

Tapi, dari mereka, saya tahu bahwa saya tidak sendirian. Dan terkadang saya iri, karena mereka berani berbicara dan tidak diam seperti saya. Mereka sudah menemukan pertolongan dengan keberanian melaporkan apa yang dialaminya kepada pihak berwajib. Keberanian itulah yang tidak saya miliki selama ini.

Saya berubah menjadi manusia yang buruk akibat kelakuan laki-laki yang ada di masa lalu saya. Alih-alih menghukum laki-laki yang telah melecehkan saya, tapi saya justru menghukum diri saya sendiri dan menghukum orang lain atas kesalahan yang tidak pernah mereka perbuat. Ketika berinteraksi dengan laki-laki misalnya, sering kali saya ingin marah dan memukuli mereka, bahkan melecehkan mereka. Dan saya sudah menuruti keinginan saya itu kepada beberapa di antara teman laki-laki saya. Saya tahu, apa yang saya lakukan tidak akan memperbaiki keadaan. Cara seperti itu hanya akan merusak diri saya dan memperburuk hubungan saya dengan orang lain, terutama laki-laki.

Sekarang, saya menyadari betul, diam bukanlah jalan keluar yang tepat ketika seseorang mengalami pelecehan seksual. Karenanya, tulisan ini muncul. Apa itu artinya saya sudah bisa menerima semua perlakuan buruk para laki-laki tersebut? Belum, tapi saya sedang berusaha untuk menerima diri saya seutuhnya. Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa ketika seseorang yang menjadi korban memilih untuk diam, seperti inilah akibatnya.

Saya yakin, di luar sana, masih banyak perempuan bahkan anak-anak yang mengalami hal serupa seperti yang saya alami, lantas mereka memilih diam. Belajarlah dari kesalahan saya dan jangan melakukan kesalahan itu. Karena saya tidak ingin kalian tumbuh menjadi perempuan seperti saya: menghukum diri sendiri dan orang lain atas ketidakmampuan menghukum si pelaku. Setidaknya, berbicaralah dan ceritakan kepada orang terdekatmu. Jika kau lakukan hal itu, maka kau telah menolong dirimu sendiri dan mencegah munculnya korban-korban berikutnya di kemudian hari.

Semoga suara saya ini bisa menjangkau kalian yang hingga sekarang masih ketakutan berbicara.

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

*Luluk Kusnia, Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang yang sedang menempuh semester akhir S1. Aktif di pers mahasiswa universitas.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!