Tak Mudah untuk Menjadi Pendamping Korban (1)

*Kustiah- www. Konde.co

Menjadi pendamping kemanusian itu tak pernah mudah. Apalagi jika menjadi pendamping otonom, bukan pendamping yang bergabung dalam sebuah organisasi atau lembaga. Tak hanya waktu, keluarga, uang yang dikorbankan.

Tetapi juga, kadang pendamping tak sadar ketika kondisi mentalnya juga diabaikan. Seorang pendamping di sebuah Puskesmas di kawasan Pasar Minggu, Jakarta bercerita, dia sering merasa pikiran dan perasaannya terkuras saat melakukan pendampingan korban.

Belum lama ini ia mendampingi korban kasus kekerasan seksual. Bersyukur korban dan keluarga yang dia dampingi kuat dan mengikuti masukan-masukannya. Sehingga proses mulai visum hingga pelaporan ke penegak hukum berjalan lancar.

Yang ia sedihkan justru ketika korban ditangani penegak hukum. Dia merasa energi, waktu, dan perasaannya terkuras saat polisi memproses kasus korban.

“Polisi tak sensitif terhadap perasaan korban. Korban yang mengalami trauma harus berkali-kali menjawab pertanyaan yang sama,” ujarnya dalam sesi sharing dalam acara ‘Care for caregiver’ yang diselenggarakan Yayasan Pulih akhir tahun 2017 lalu.

Jane L. Pietra, atau biasa dipanggil Jane, psikolog di Yayasan Pulih, berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar pendampingan. Ia memulai dengan menjelaskan tentang risiko pekerja kemanusiaan. Kira-kira inilah resiko yang sering dialami pekerja kemanusiaan:

1. Menghayati berbagai perasaan negatif

2. Terus menerus bekerja dalam situasi traumatis

3. Peristiwa yang rumit dan sulit diselesaikan

4. Rasa marah dan tak berdaya

5. Tiada waktu dan kesempatan untuk ‘ambil jarak’

6. Situasi kerja tanpa penghargaan memadai

7. Stres untuk terus ‘positif’

Pendamping kemanusian sangat mungkin mengalami kelelahan luar biasa akibat kerja. Yakni suatu kondisi kelelahan fisik, emosional dan mental yang disebabkan oleh adanya keterlibatan dalam waktu yang lama dengan situasi yang menuntut secara emosional. Proses berlangsung secara bertahap, akumulatif, dan lama kelamaan menjadi semakin memburuk. Tanda-tandanya antaralain:

1. Pendamping mengalami kelelahan yang ‘luar biasa’, merasa sedih, depresi, perasaan tak berdaya, bingung, kehilangan orientasi, mudah marah, cepat tersinggung.

2. Hilangnya kepedulian/ kesabaran, sinisme, gangguan somatik/ fisik, yang tidak jelas penyebabnya dan tak kunjung sembuh.

Menurut Jane, yang dialami pendamping merupakan reaksi normal terhadap peristiwa abnormal, karena mereka mengalami berbagai macam reaksi normal setelah peristiwa yang mengguncang, sebagian besar orang mungkin dapat melewati situasi sulit dengan baik, meskipun ada pula yang menghadapi kesulitan dalam proses adaptasi terhadap situasi sulit tersebut.

Namun setiap orang memiliki kekuatan alamiah untuk bangkit dari situasi sulit. Dukungan keluarga atau orang terdekat lainnya dapat membantu mengatasi proses adaptasi setelah peristiwa sulit.

Pendamping bisa juga mengalami trauma sekunder yang disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain:

1. Identifikasi (kelekatan kuat) pada korban

2. Sejarah, konflik, dan kebingungan pribadi yang tak terselesaikan dengan baik

3. Mengalami langsung kejadian yang mengerikan dalam waktu yang lama

4. Menyaksikan apa yang dialami kelompok korban/ penyintas

Tanda-tanda trauma sekunder tersebut antaralain:

1. Kewaspadaan berlebih, gangguan tidur, mimpi buruk

2. Keluhan fisik (sakit kepala, sakit sendi, gangguan perut) yang tidak jelas penyebabnya dan tidak kunjung sembuh

3. Ketidakberdayaan, kesedihan

4. Kebingungan

5. Kemarahan, cepat tersinggung

Gejala-gejala yang mungkin dialami oleh penyintas juga sering dialami oleh pendamping, yaitu: burn out. Penyebabnya antaralain:

1. Terus menerus bekerja dalam situasi traumatik atau menyakitkan

2. Peristiwa- peristiwa yang sangat rumit dan sulit diselesaikan

3. Situasi kerja yang penuh tuntutan dan tekanan

4. Tiada waktu dan kesempatan untuk “mengambil jarak”

5. Situasi kerja tanpa penghargaan memadai

6. Kurangnya kesadaran tentang keterbatasan/ kemampuan berbuat

Tak mudah menjadi pendamping kekerasan, situasi seperti ini juga harus ia lalui karena ia harus fokus berjuang bagi korban, jadi sesulit apapun menghadapi aparat, pendamping korban tetap harus kuat berada di sisi korban (bersambung).

(Foto/ Ilustrasi: pixabay.com)

*Kustiah, mantan jurnalis Detik.com, kini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!