Perempuan Korban Napza: Stigma yang Bertubi Kami Terima

Poedjiati Tan- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Apa yang dialami para perempuan korban Napza? Yang paling mencolok adalah ketika para perempuan korban Napza kemudian diasingkan dari pergaulan. Ini merupakan hal yang sulit dialami setiap orang. Akibatnya, mereka sangat cepat mendapatkan stigma. Stigma ini terus menjalar hingga kini.

Akibat lainnya, seperti gelombang yang tidak ada habisnya, para perempuan korban banyak dilecehkan dan tidak mendapatkan layanan bantuan hukum.

Fiona Hasyim, divisi program perempuan dan gender Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dengan mengenakan kemeja bergaris coklat dan duduk di bagian depan, memaparkan lebih detail apa yang dialami para perempuan korban Napza. Cerita ini disampaikannya dalam konferensi pers Parade Juang Perempuan Indonesia di Jakarta pada 6 Maret 2018. Sudah terpinggirkan, dan mereka kemudian terisolasi.

“Seringkali kami mendapatkan stigma yang tinggi, dari petugas pelayanan kesehatan, juga dalam peradilan pidana karena status kami sebagai pengguna Napza.”

Berdasarkan data temuan studi Perempuan Bersuara, pada tahun 2014-2015 menunjukkan tingginya kekerasan berbasis gender terhadap 731 perempuan pengguna Napza suntik di atas umur 18 tahun di wilayah Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Hasil penelitian menyebutkan bahwa para perempuan korban Napza mengalami kekerasan dari aparat dan pasangannya:

1. Jenis kekerasan

Jenis kekerasan yang dialami adalah: kekerasan, pelecehan dan intimidasi

2. Permintaan Suap Polisi

Sebanyak 87% perempuan yang sebelumnya ditangkap diminta uang suap oleh polisi untuk mendapatkan dakwaan mereka dijatuhkan.

3. Korban Kekerasan Aparat

Sebanyak 60% perempuan yang mendapatkan kontak dengan petugas penegak hukum dianiaya/ mendapatkan kekerasan secara verbal (dihina, dicaci maki oleh aparat penegak hukum).

Sedangkan 27% dilecehkan secara fisik (ditampar, ditendang, dipukul)

5% dilecehkan secara paksa oleh aparat penegak hukum dalam proses penangkapan.

4. Korban Kekerasan Pasangan

Sebanyak 9 dari 10 (90,3%) perempuan yang menyuntikan Napza mengalami kekerasan dari pasangannya secara psikologis, fisik dan seksual seumur hidupnya.

Fiona Hasyim kemudian juga memaparkan sejumlah budaya hukum dan menyoroti dampak penghukuman mati yang melawan hak asasi manusia dalam kasus Napza. Komunitas Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dengan tegas menyatakan sikap menolak kriminalisasi terhadap perempuan pengguna Napza akibat kebijakan, peraturan atau pelayanan terkait Napza yang dalam pelaksanannya tidak melibatkan perspektif keadilan terhadap perempuan korban Napza dan mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pengguna Napza.

“Ada 7 tuntutan para perempuan korban Napza, antaralain kami meminta pada pemerintah untuk melibatkan kami dalam kebijakan dan rehabilitasi hukum. Pemerintah juga harus menghapuskan pasal karet rancangan undang-undang Nartkotika 35/2009 dan RKUHP dan menghapuskan kekerasan, stigma dan diskriminasi terhadap perempuan korban Napza,” ujar Fiona Hasyim.

Tuntutan lainnya yaitu menuntut dan mendesak pemerintah untuk mewujudkan kebijakan/peraturan/pendidikan dalam pelayanan kesehatan dan akses layanan kesehatan yang berperspektif korban umumnya dan berperspektif gender khususnya terhadap perempuan korban napza, pekerja seks komersil, terutama perempuan dengan HIV/AIDS/Hepatitis dan kelompok perempuan lain yang rentan terhadap penyebaran virus HIV/AIDS/Hepatitis. Lalu menuntut dan mendesak pelibatan bermakna dari perempuan korban Napza dan komunitas terkait dalam merancang kebijakan, pelaksanaan program serta monitoring dan evaluasinya.

PKNI juga menuntut dan mendesak penghapusan hukuman mati terhadap perempuan sebagai korban dari pengedaran napza yang terorganisir baik ditingkat lokal maupun internasional dalam perspektif HAM. Dan menuntut dan mendesak pemerintah, lembaga terkait, rekan media dan semua komunitas masyarakat khususnya yang fokus pada hak-hak perempuan, untuk melakukan penyebaran informasi yang benar terhadap penanggulangan Napza dengan menggunakan perspektif HAM terhadap perempuan korban Napza sehingga bebas dari stigma dan diskriminasi.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!