RUU KUHP akan mengakibatkan anak-anak pekerja migran Indonesia di Sabah hidup tanpa kewarganegaraan

File 20180327 109169 nmhyhj.jpg?ixlib=rb 1.1

Tanpa akta kelahiran, anak-anak di Sabah yang berhak atas kewarganegaraan Indonesia tidak dapat mendapatkan passport.

www.shutterstock.com

Clara Siagian, Universitas Indonesia

Ribuan anak di Sabah, Malaysia hidup tanpa kewarganegaraan yang jelas. Estimasi jumlah mereka bervariasi, berkisar dari 30.000 hingga 52.000 anak.

Sebagian besar dari anak-anak ini adalah keturunan pekerja migran dari Indonesia. Anak-anak ini berisiko terperangkap dalam ketidakpastian hukum jika Indonesia meloloskan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam bentuknya yang saat ini.

Kriminalisai kegiatan privat

Saat ini Indonesia sedang membahas sebuah rancangan undang-undang (RUU) untuk mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP saat ini merupakan warisan Belanda yang sudah berusia seratus tahun.

Beberapa orang menentang RUU tersebut karena mengandung pasal yang, jika diterapkan, akan berpengaruh negatif terhadap kebebasan individu, kebebasan berpendapat, dan usaha kesehatan masyarakat.

Salah satu artikel yang mengundang perdebatan adalah pasal yang mengkriminalisasi aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak berada dalam pernikahan resmi. Hukuman yang ditetapkan dalam RUU KUHP untuk ini adalah maksimum lima tahun penjara.


Baca juga:

RKUHP dan pertanyaan-pertanyaan dari penyair Rendra


Pasal ini bermasalah karena banyak warga Indonesia tidak mendaftarkan perkawinannya, termasuk mereka yang bekerja di luar negeri seperti pekerja migran Indonesia di Sabah. Berlapisnya proses pendaftaran perkawinan, pertama lewat institusi keagamaan lalu dicatatkan ke negara, menyulitkan banyak pasangan untuk mengesahkan pernikahan mereka. Hal ini sebenarnya tidak akan begitu berdampak pada anak-anak jika bukan karena keterkaitan antara Akta Kelahiran anak dengan pencatatan pernikahan orang tua.

Jika disahkan, naskah RUU KUHP saat ini akan membuat para orangtua yang bekerja di perantauan di Sabah enggan menghadap ke kantor pemerintah Indonesia di Kinabalu dan Tawau atau mengikuti layanan pencatatan sipil keliling untuk mencatatkan kelahiran anak-anak mereka. Mengajukan permohonan untuk Akta Kelahiran anak tanpa memiliki bukti pernikahan (buku nikah atau akta perkawinan) malah akan dianggap sebagai tanda telah melakukan kegiatan seksual di luar pernikahan yang sah.

Anak tanpa negara

Sebagai keturunan warga asing, anak dari pekerja migran tidak berhak atas kewarganegaraan Malaysia, meski secara hukum mereka memiliki hak untuk dicatatkan kelahirannya. Bahkan jika salah satu orangtuanya adalah orang Malaysia, ketiadaan bukti perkawinan menjadi hambatan struktural untuk membuktikan hubungan secara legal antara anak dan ayah atau ibu. Akibatnya anak-anak ini pun tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Malaysia.

Kebanyakan dari anak-anak ini memiliki orangtua yang bekerja dan tinggal di Malaysia tanpa izin atau telah melampaui masa yang diizinkan. Bagi orangtua dari anak-anak ini, mengajukan permohonan buku nikah/akta perkawinan dan Akta Kelahiran kepada pemerintah Malaysia dapat berujung pada pemenjaraan, deportasi, dan terkadang perpisahan dari keluarga. Sentimen publik yang negatif terhadap pendatang di Sabah juga menyumbang pada kekhawatiran mereka. Hal ini terlihat dari kasus-kasus sweeping terhadap pendatang ilegal yang dilakukan di Sabah dan tempat lain di Malaysia.

Salah satu cara yang paling aman saat ini bagi migran Indonesia di Sabah adalah dengan mengurus bukti perkawinan dan akta kelahiran di kantor konsuler Indonesia atau lewat layanan keliling. Namun, cara ini pun tidak mudah. Jarak yang jauh dan ongkos yang harus dikeluarkan pekerja migran sangat memberatkan mereka. Terlebih lagi karena sebagian besar dari mereka tinggal di dalam kompleks perkebunan kelapa sawit yang terpencil.

Lebih buruk bagi kaum miskin

Di Indonesia, ada hubungan yang sangat kuat antara kemiskinan, pencatatan perkawinan, dan Akta Kelahiran. Sebuah survei di tahun 2013 di 17 provinsi menunjukkan 55% pasangan yang masuk kategori 30% termiskin tidak memiliki bukti perkawinan yang sah.

Sekitar 75% anak-anak dari pasangan ini tidak dicatatkan kelahiranya. Secara umum, anak-anak yang orangtuanya tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan dua kali lebih tidak mungkin memiliki Akta Kelahiran dibandingkan mereka yang orangtuanya memiliki bukti perkawinan yang sah. Hambatan yang mereka alami dalam mencatatkan perkawinan dan kelahiran anaknya mencakup kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pencatatan sipil, ongkos dan biaya untuk pergi ke kantor catatan sipil, serta rumitnya prosedur dan birokrasi.

Bagi anak-anak migran Indonesia yang lahir di Sabah, Akta Kelahiran menjadi sangat penting karena mengandung informasi mengenai tempat lahir dan orangtua anak; kedua informasi tersebut dibutuhkan untuk menetapkan kewarganegaraan anak melalui asas ius soli atau ius sanguinis.

Tanpa Akta Kelahiran, anak-anak di Sabah yang berhak atas kewarganegaraan Indonesia tidak bisa mendapatkan paspor untuk memfasilitasi kepulangan yang aman ke Indonesia dan layanan pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan, walaupun ada beberapa lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan pendidikan informal.

Beberapa anak mengatakan ingin mengunjungi negara asal orangtua mereka tapi takut tertangkap jika menyeberang perbatasan tanpa dokumen yang sah. Menyeberang perbatasan secara ilegal juga sangat berbahaya. Beberapa penelitian menunjukkan tingginya angka penyelundupan manusia di jalur ilegal ini.

Kriminalisasi aktivitas seksual yang dilakukan atas persetujuan antara dua orang dewasa akan membawa dampak yang lebih berat bagi warga miskin, termasuk keluarga migran dan anak-anak mereka.

Hal ini bertentangan dengan komitmen—atau retorika— pemerintah untuk melindungi pekerja migran dan keluarga mereka seperti tertera pada Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2012.

The ConversationRUU KUHP dalam bentuknya yang sekarang berpotensi mendasari kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi warga negaranya di perbatasan dan di luar negeri.

Clara Siagian, Senior Researcher at the Center of Child Protection and Welbeing (Puskapa), Universitas Indonesia

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!