Di Indonesia, legislator laki-laki skeptis soal kuota gender untuk perempuan dalam politik

File 20180619 126556 1yudyr.jpg?ixlib=rb 1.1

Jalan menuju parlemen penuh halangan bagi perempuan Indonesia.

www.shutterstock.com

Ella S Prihatini, University of Western Australia

Lebih dari setengah populasi Indonesia adalah perempuan, tapi keterwakilan perempuan dalam politik selama sepuluh tahun terakhir tidak banyak dan tidak stabil.

Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, pada 2003 Indonesia menetapkan kebijakan kuota minimum untuk kandidat politik perempuan. Dan partai politik sejak 2004 mulai mencalonkan lebih banyak kandidat perempuan untuk bertanding dalam pemilihan umum. Namun, persentase perempuan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat tetap saja di bawah 30 persen.

Dalam sebuah makalah yang baru-baru ini terbit, saya mempelajari cara pandang legislator mengenai isu kuota gender dan mencari tahu pemahaman mereka soal penyebab rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik.

Lewat kuesioner yang melibatkan 104 wakil rakyat (54 laki-laki dan 50 perempuan), saya menemukan perbedaan yang signifikan dalam respons legislator laki-laki dan perempuan. Mereka berbeda pendapat mengenai penyebab sulitnya perempuan menang dalam pemilu, mereka juga berbeda pendapat tentang legitimasi dan efektivitas kebijakan kuota gender.

Perbedaan-perbedaan antara legislator laki-laki dan perempuan ini penting untuk ditelaah demi memahami dinamika di balik mengapa kuota gender belum berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Penelitian ini mengisyaratkan bahwa implementasi kuota gender tidak secara langsung membuat perempuan dan laki-laki menyadari ketimpangan gender sebagai sebuah masalah yang perlu diatasi. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa pendekatan kuota bisa saja diterima di tataran (kebijakan) makro, tetapi ditentang di konteks (pemahaman) mikro.

Keterwakilan perempuan dan kuota gender

Perempuan menduduki 17,1% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rendahnya keterwakilan terjadi di semua level pemerintahan. Pada pemilu 2014 perempuan hanya merebut rata-rata 16,14% kursi di DPRD tingkat provinsi dan 14% kursi di DPRD tingkat kota dan kabupaten.

Sejak 2002, Indonesia secara bertahap menerapkan kuota gender. Indonesia sekarang memiliki beberapa set kuota gender untuk kandidat pemilu yang diatur di bawah peraturan perundang-undangan yang mengatur soal partai politik dan pemilu:

  1. Partai politik didorong agar 30% dari dewan pengurus partai (baik tingkat nasional maupun daerah) adalah perempuan.
  2. Partai politik harus mengisi setidaknya 30% dari daftar kandidat dengan kandidat perempuan.

Pada 2009, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberlakukan sistem semi-zipper– artinya setiap tiga kandidat setidaknya ada satu kandidat perempuan. Dan hasilnya pun cukup signifikan.

Pada pemilihan legislatif 2009, persentase kandidat perempuan meningkat. Hampir seluruh partai memenuhi kuota 30%. Pada tahun itu pula, elektabilitas mencapai puncaknya dengan persentase 18,12% kursi parlemen dimenangkan oleh perempuan.

Pada 2014, KPU mulai memberlakukan sanksi diskualifikasi bagi partai yang gagal memenuhi sistem semi-zipper tersebut.

Penelitian menyebutkan bahwa kuota 30 persen untuk kandidat perempuan, bila disertai dengan sanksi bagi partai yang melanggar, akan cukup untuk memastikan kebijakan kuota tersebut berhasil dilaksanakan. Ini seharusnya dapat memberi efek positif untuk elektabilitas perempuan secara umum. Namun di Indonesia hal ini belum berhasil secara konsisten.

Beberapa pihak berpendapat bahwa penyebab utama rendahnya keterpilihan perempuan adalah sistem representasi proporsional daftar terbuka. Dalam sistem ini, pemilih dapat memilih kandidat mana pun dalam daftar calon yang diberikan partai dan bukannya memilih partai saja. Sistem ini menciptakan persaingan yang sangat sengit antarkandidat dan memacu lonjakan biaya kampanye. Kondisi ini secara signifikan menekan kemungkinan menang kandidat perempuan dengan dana yang pas-pasan.

Partisipan survei

Untuk penelitian kali ini, saya mengadakan survei yang dibantu oleh WikiDPR. Survei ini melibatkan 104 responden, atau 18,57% dari total legislator.

Rentang usia dalam penelitian ini adalah 29-79 tahun. Median dan mean usia tersebut adalah berturut-turut 53 dan 51,53. Sebaran ini menyerupai rentang usia sesungguhnya di DPR. Baik legislator termuda dan tertua terlibat dalam survei.

Partisipan mewakili 63 dari 77 daerah pemilihan (dapil) atau 81,81% dari seluruh dapil terwakili. Sampel ini juga meliputi seluruh 11 komisi di parlemen.

Kebanyakan responden (14,4%) duduk di Komisi 8 (urusan keagamaan, sosial dan pemberdayaan perempuan), diikuti Komisi 5 yang membawahi bidang perhubungan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, percepatan pembangunan daerah tertinggal (13,46%). Komisi 2 (urusan dalam negeri, otonomi daerah, reformasi administrasi dan agraria) serta Komisi 10 (pendidikan, kepemudaan, olahraga, pariwisata, kesenian dan budaya) masing-masing menyumbang 12,5% dari partisipan.

Legitimasi dan efektifitas kuota

Kuota gender di Indonesia diterima secara luas oleh anggota DPR. Namun ada gap sekitar 11% antara legislator laki-laki dan perempuan.

Kebanyakan responden perempuan melihat kuota sebagai hal yang berguna untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Mereka tidak melihat kuota gender memperkuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, perempuan percaya kuota telah membantu elektabilitas mereka.

Sebaliknya, laki-laki tidaklah terlalu yakin. Sekitar 20% melihat kuota tidak memiliki dampak terhadap kemungkinan perempuan menang. Mereka menawarkan analisis bahwa ada berbagai halangan untuk mencalonkan perempuan dan kuota saja tidak dapat memecahkan masalah ini.

Baik laki-laki dan perempuan setuju bahwa kuota gender memiliki legitimasi yang kuat yang didasarkan pada prinsip kesetaraan yang diatur dalam UUD 1945.

Tampaknya setelah diadopsi selama lebih dari satu dekade, kuota gender tetap menjadi pendekatan yang disukai untuk mengatasi rendahnya keterwakilan perempuan, setidaknya dalam kasus Indonesia.

Namun, beberapa faktor, seperti partai politik, hambatan budaya dan preferensi internal perempuan, mempengaruhi efektivitas kegiatan affirmative action ini.

Cara laki-laki dan perempuan menganalisis rendahnya keterwakilan perempuan

Penelitian saya menemukan bahwa kebanyakan legislator laki-laki percaya bahwa sulitnya partai politik menarik perempuan yang punya kualifikasi untuk bertanding dalam pemilu merupakan faktor yang menghambat menaikkan jumlah perempuan dalam politik. Mereka menilai perempuan lebih memprioritaskan keluarga ketimbang karier politik dan bahwa kungkungan budaya, agama, dan sosial menyulitkan perempuan karena membuat perempuan kurang menarik bagi pemilih.

Sementara, legislator perempuan percaya bahwa nilai sosial dan budaya yang lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin adalah hal yang paling menyulitkan perempuan untuk menang dalam pemilu. Mereka juga melihat bahwa kurangnya pelatihan politik, modal sosial, dan dana kampanye sebagai halangan perempuan terjun ke dunia politik.

Di sisi lain, responden laki-laki dan perempuan sepakat bahwa perempuan tidak kekurangan panutan yang dapat menginspirasi mereka untuk mengejar karier politik.

Laki-laki dan perempuan memiliki persepsi yang berbeda mengenai niat partai untuk memenuhi kuota. Perempuan merasa partai memenuhi kuota hanya untuk memenuhi syarat agar dapat mengikuti pemilu; bahwa partai tidak secara tulus mempromosikan perempuan untuk masuk parlemen.

Hal ini dapat dijelaskan dengan mengamati betapa sedikitnya perempuan yang dinominasikan sebagai kandidat nomor satu dalam daftar calon. Hanya 5,7% calon perempuan diberikan posisi teratas dibandingkan 18,9% calon laki-laki. Sekitar 76% responden perempuan merasa partai harus menempatkan lebih banyak perempuan sebagai kandidat nomor 1 atau 2 untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen.

Untuk mengatasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam politik, penting untuk mengamati dan mencatat bagaimana laki-laki dan perempuan memandang masalah ini. Kedua jenis kelamin ini, pada tingkat mikro, memiliki pendapat yang bertentangan mengenai apa yang sebenarnya menghalangi usaha perempuan untuk memenangkan pemilu. Maka implementasi kuota gender, di level makro, mungkin belum akan mencapai hasil yang diinginkan sementara halangan lain belum diatasi.

Di antara para wakil rakyat Indonesia, penelitian saya menemukan kesenjangan gender. Bila perempuan mendukung kuota sebagai strategi mengatasi rendahnya keterwakilan perempuan, beberapa laki-laki justru skeptis akan efektivitas kebijakan tersebut.

The ConversationNamun kabar baiknya adalah laki-laki dan perempuan yang saat ini duduk di DPR setuju bahwa partai harus lebih transparan dalam metode rekrutmen calon anggota parlemen. Mereka juga setuju bahwa, jika memungkinkan, partai harus membantu secara finansial perempuan yang sangat berpotensi untuk menang namun terhambat modal kampanye.

Ella S Prihatini, Endeavour scholar and PhD candidate, University of Western Australia

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!