Kota Perempuan



“Perempuan-perempuan itu datang bergerombol pada pagi, sore dan malam hari. Seperti burung yang terbang berkelompok ketika senja pulang ke peraduannya, para perempuan itupun berduyun-duyun bergantian melewati satu kotak pintu keluar, begitu bel pertanda akhir jam kerja berbunyi.”

*Rena Asyari- www.Konde.co

Awalnya kota itu sejuk, damai sehingga pantas dijuluki sebagai kota pensiun. 

Namun ada yang melihat, kota itu tiba-tiba menjadi gersang, mati, tak ada geliat kehidupan. Layaknya matahari pagi yang rutin datang dan pergi, kota itu pun begitu, tetapi waktu seolah berjalan lambat, roda perekonomian bergerak pelan, kemiskinan masih saja menjerat berpuluh puluh tahun.

Hingga akhirnya, ratusan eskavator datang, ribuan pekerja bangunan memenuhi jalan-jalan kota.

Kengerian tiba-tiba hadir di kota itu. Eskavator menjalankan tugasnya, merusak, menghancurkan bangunan rapuh, menggali tanah hingga kedalamannya bisa menimbun ratusan orang.

Lantas, bangunan-bangunan baru pun muncul, kotak dan besar.

Mata-mata belia menontoni itu semua, tempat bermain mereka selepas pulang sekolah hilang berganti wajah-wajah baru yang berdiri angkuh dan tinggi. Para perempuan mulai menaruh pisau keretnya, melepaskan sinjangnya yang kotor terkena noda tanah liat puluhan tahun.

Para lelakinya bekerja dalam imajinasi, tak ada truk pengangkut kayu bakar dan tanah liat yang bisa ia kejar, para lelaki sadar benar keringat di tubuhnya kering sejak bangunan-bangunan baru itu berdiri.

Undangan kerja pun mulai disebar, tetapi undangan ini hanya untuk perempuan.  Khusus untuk perempuan saja. Undangan ini kemudian datang ke pintu-pintu rumah atau di tempel di tempat-tempat umum, masjid dan sekolah menjadi bangunan pemberitaan.

“Di cari, Perempuan, Muda”.

Kalimat di selebaran undangan pun menjadi menakutkan bagi perempuan yang sudah tua,  eskavator dan komplotannya tak menginginkannya.

Hari baru pun dimulai, perempuan-perempuan muda bersolek mendatangi kotak besar yang angkuh, mereka saling bercengkrama, menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan map coklat di tangannya. Wajah-wajah mereka menyiratkan harapan tentang kemiskinan yang akan segera berlalu.

Mandor, mengecek mereka semua. Muda dan bersolek tentu saja itu yang mandor ingini. Hidungnya sengaja membaui rambut-rambut harum beraroma shampo beragam merek. Tangannya dengan segera menjawil hidung dan pipi merah merona. Bibirnya yang besar dengan segera menjatuhkan pilihan untuk mencium salah satu bibir perempuan muda yang padat dan merekah.

“Duh maaf tak sengaja,” ujarnya sambil pura-pura menabrakkan diri.

Para perempuan itu akhirnya mendapat tugasnya masing-masing, ada yang kebagian berdiri sepanjang hari selama 8 jam, ada pula yang duduk selama 8 jam. Pembagian ini perkara takdir, tak ada yang tahu dan bisa menebak ia akan ditempatkan di bagian apa.

Semua harus diterima, sama dengan ketika ia menerima begitu saja bibir merahnya yang dicium paksa oleh sang mandor.

Hari demi hari berlalu, sesama perempuan tak lagi saling bicara. Mereka sibuk mengejar target pekerjaan harian. Tak ada waktu untuk bercerita, bahkan tak ada waktu untuk sekedar minum.

Robot. Begitulah mereka saling menamai dirinya. Bekerja penuh tanpa henti dalam satu posisi selama 8 jam, tak bisa berhenti karena mesin terus berjalan. Terus menjahit, terus mengepak, terus mencabuti benang.

Tak ada pilihan lain, jika mundur mereka tersisih. Di kota baru ini, perempuan muda dilukiskan sebagai tuan, padahal sejatinya ia adalah buruh yang sebenarnya.  Suaminya, lelakinya menjadi pengantar dan penjemput mereka.

Perempuan muda pendatang tinggal di kost-kostan, pulang kerja badannya membutuhkan istirahat tetapi baju-baju kotor yang sudah menumpuk selama seminggu meminta perhatian, belum suara-suara orang berantem di kamar sebelahnya  yang membuat ia harus menutup telinganya. Kakinya tak bisa lari, meskipun hatinya ingin.

Ia ingat bagaimana ia pamit pada keluarganya untuk menjejakkan kaki di kota baru ini dengan iming-iming meningkatkan kesejahteraan. Perempuan muda pendatang itu merasa terjebak, ia tak bisa kembali

Kota perempuan.

Kota ini kini dikelilingi bandara baru yang baru saja diresmikan oleh presiden. Dibayang-bayangi jalan tol. Pusat pembicaraan seantero negeri, menarik para pendatang untuk bekerja. Para pendatang membanjiri kota, membuat sesak desa. Penduduk asli tersisih, para pendatang menjadi raja.

Kota perempuan.

Perempuan membanjiri pusat perbelanjaan tiap akhir pekan selepas mereka gajian. Membeli gincu, bedak juga bra yang menarik. Makan di foodcourt mencobai segala yang pernah mereka lihat di TV, lalu melepas penat dan gairah di Bioskop. Sesekali mereka melirik toko buku yang berdampingan dengan bioskop, hanya melirik, tak lebih.

Kota perempuan.

Perempuan-perempuan saling bungkam ketika ada salah satu perempuan datang dengan muka bengkak, kepalan tinju terlihat jelas di sudut kiri mata perempuan itu. Mereka tak saling bertanya, hanya berbisik-bisik dari telinga ke telinga, ada salah seorang yang mencuri dengar

“Salah sendiri gak mau diajak gituan sama pak Mandor.”

Kota perempuan.

Perempuan-perempuan berlomba untuk lembur dengan bayangan sehabis lembur bisa membeli semangkuk baso beranak.

Perempuan-perempuan muda menyapih anak-anaknya yang masih kecil, menitipkannya pada ibunya. Ia, sang pencari nafkah pergi di pagi buta dan pulang ketika suara adzan magrib melantun.

Perempuan-perempuan muda mengkandaskan keinginnannya untuk membaui aroma perguruan tinggi. Cita-cita mereka turut kandas berganti dengan hanya sebatas bisa membeli kulkas, televisi, membeli mobil, tanah dan rumah dengan cara kredit.

Perempuan-perempuan muda, mereka tak punya pilihan. Kota nya telah menjadikan mereka buruh seumur hidup. Kota baru, yang digadang-gadang menjadi salah satu kota industri di Indonesia.

Perempuan-perempuan muda ini harus bertahan di antara deru suara mesin pabrik dan gombalan pak mandor. Ia juga harus menerima nasib ketika mendapati suaminya selingkuh akibat ia jarang di rumah.

Sungguh, perempuan-perempuan ini tak pernah punya pilihan.

(Tulisan ini tentang kota kelahiran saya Majalengka, yang kini sudah berubah menjadi kota Industri. Banyak yang tidak tahu efek dari datangnya banyak investor yang mendirikan pabrik-pabrik besar di Majalengka)

*Rena Asyari, Founder dan pengajar di www.Seratpena.com, media yang bergerak dalam bidang literasi untuk anak-anak muda, berjuang dalam bidang seni dan sastra serta budaya untuk anak muda seperti mengadakan berbagai kegiatan bedah buku/reading club, workshop, sharing, diskusi, berbagai kegiatan untuk mengenalkan musik dan sastra pada anak dan masyarakat muda

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!