Keberagaman gender di Indonesia

File 20180816 2912 1tc55yj.jpg?ixlib=rb 1.1

Tarian tradisional Indonesia Reog Ponorogo menggambarkan hubungan sesama jenis yang intim antara dua karakter, warok (laki-laki dewasa) dan gemblak (pemuda laki-laki).

shutterstock

Irwan Martua Hidayana, Universitas Indonesia

Masyarakat Indonesia seringkali memahami gender dan seksualitas secara biner–pria dan wanita, maskulin dan feminin–tanpa mempertimbangkan jenis kelamin dan seksualitas lainnya.

Heteroseksualitas diakui sebagai orientasi seksual yang “normal”, jika bukan sesuatu yang wajib. Sedangkan homoseksualitas dan biseksualitas dianggap tidak dapat diterima. Karena itu, gencarnya serangan terhadap LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) belakangan ini) tidaklah mengherankan, terutama dalam media.

Namun, orang-orang harus memahami bahwa keberagamaan gender dan seksualitas melekat pada masyarakat Indonesia.

Keberagaman gender di Indonesia

Secara budaya, orang Indonesia telah mengakui keragaman seksual dan gender sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Indonesia memiliki sejarah homoseksualitas dan transgender yang kaya. Fakta ini tentunya bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa mereka adalah “kiriman dari Barat”.

Sudah saatnya orang-orang menyadari bahwa homoseksualitas dan transgender bukanlah produk yang datang dari Barat. Budaya Indonesia telah lama terbiasa dengan keragaman gender sebelum datangnya kolonialisme dan modernisasi yang memberikan pengaruh kuat pada masyarakat.

Mari kita lihat masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dengan keberagamaan gendernya. Sejak era sebelum Islam masuk, orang-orang Bugis telah mengakui lima jenis gender. Mereka membagi masyarakat berdasarkan gendernya menjadi laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), laki-laki menyerupai perempuan (calabai), perempuan menyerupai laki-laki (calalai), dan pendeta androgini (bissu).

Kemiripan juga terjadi di provinsi yang sama pada masyarakat Toraja. Mereka mengakui gender ketiga,yang disebut to burake tambolang.

Antropolog Hetty Nooy-Palm menyatakan masyarakat Toraja percaya bahwa para pemimpin agama yang paling penting dalam budaya mereka adalah seorang wanita, atau burake tattiku, dan seorang pria berpakaian sebagai seorang wanita, atau burake tambolang.

Di masa lalu, pemimpin agama transgender di Toraja dan Bugis memainkan peran penting dalam komunitas mereka. Bissu dan to burake. Mereka memimpin upacara spiritual atau ritual panen di desa-desa. Masyarakat akan mengagumi dan menghormati sebuah desa yang memiliki to burake.

Sayangnya, tradisi ini telah terkikis oleh nilai-nilai modern dan pendidikan yang dibawa oleh kolonialisme.

Praktik seks sesama jenis juga telah lama hadir di Indonesia.

Beberapa suku di tenggara Papua–mirip dengan suku-suku di dataran tinggi sebelah timur Papua Nugini–melaksanakan “ritual homoseksualitas”. Praktik ini meminta pemuda laki-laki melakukan oral seks pada laki-laki yang lebih tua sebagai bagian dari ritual mereka menuju kedewasaan. Mereka percaya bahwa air mani adalah sumber kehidupan dan intisari dari maskulinitas, sehingga penting bagi pemuda laki-laki untuk menjadi pria yang sejati.

Di Jawa Timur, pertunjukan tarian tradisional Reog Ponorogo menunjukan hubungan intim antara dua karakter, warok dan gemblak. Penari laki-laki utama, atau warok, harus mengikuti aturan maupun ritual fisik dan spiritual yang ketat.

Dalam aturan ini, seorang warok dilarang berhubungan seksual dengan seorang wanita. Tetapi dia diizinkan untuk melakukan hubungan intim dengan karakter anak laki-laki muda, atau gemblak, dalam pertunjukan tarian tersebut. Meski pun warok dan gemblak terlibat dalam perilaku sesama jenis, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai homoseksual. Saat ini, karakter gemblak mulai dimainkan oleh perempuan.

Dalam pertunjukan drama tradisional Jawa lainnya seperti ludruk dan wayang orang, laki-laki memainkan peran perempuan atau sebaliknya adalah hal yang biasa.

Perubahan gender dalam konteks global

Tradisi keberagamaan gender di Indonesia yang kaya dan unik telah berkurang karena kolonialisme. Kolonialisme mendefinisikan ulang konsep gender dan seksualitas menurut agama dan nilai-nilai modern.

Agama modern sangat menekankan heteroseksualitas dalam pernikahan. Seks dianggap sebagai masalah moral, sehingga seks yang terjadi di luar pernikahan atau antara pasangan non-heteroseksual adalah tindakan yang tidak bermoral.

Homoseksualitas telah dilarang di bawah kolonialisme Belanda. Meski pun Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus tentang homoseksualitas, homoseksualitas pada umumnya tidak dapat diterima.

Namun, globalisasi telah membawa dimensi baru terhadap identitas seksual dan gender. Kategori baru seperti lesbian, gay, transgender, queer dan interseks telah masuk dalam kosa kata kita. Istilah LGBT mulai populer beberapa tahun belakangan, terlepas dari pro-dan-kontranya.

Informasi yang luas melalui internet dan media sosial memberikan wacana yang relatif dinamis tentang identitas gender di Indonesia.

Di internet, kita dapat menemukan istilah-istilah yang berbeda untuk mengakomodasi keberagamaan gender. Orang-orang memperkenalkan istilah seperti lesbi, yang mengacu pada lesbian, dan tomboi, atau perempuan maskulin. Di Sumatera Barat, mereka mengembangkan istilah seperti butch, femme, dan andro yang mengacu pada lesbian urban. Ada juga istilah-istilah seperti hunter (lesbian maskulin) dan lines atau lesbian feminin dari Sulawesi Selatan. Istilah lain termasuk waria (wanita transgender), priawan (pria transgender), transmen (pria trans) dan transpuan (wanita trans).

Istilah baru ini menunjukkan bahwa reaksi orang-orang terhadap keberagaman gender cukup bervariasi. Diskusi dinamis seputar topik ini juga menunjukkan “hasrat seksual yang lebih dari sekadar pengkategorian gender saja”.

Perdebatan yang muncul di internet menunjukkan bagaimana teknologi dan globalisasi telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap gender dan identitas seksual yang mengikuti konteks budaya lokal.

Bimo Alim turut berkontribusi dalam penerbitan tulisan ini

Catatan Editor: Tulisan ini telah diperbarui untuk memperbaiki kesalahan mengenai definisi varian-varian gender di budaya Bugis.The Conversation

Irwan Martua Hidayana, Associate Professor, Department of Anthropology, Universitas Indonesia

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!