Hari dimana Transgender Dibunuh karena Transphobia

Poedjiati Tan- www.konde.co

Rita Hezter adalah seorang
transwoman/ waria yang ditemukan terbunuh di apartementnya. Tetangganya
menemukannya terbunuh dengan dua puluh tusukan. Setelah beberapa tahun
kematiannya berlalu, penyebab kematiannya dan pembunuhnya tidak pernah
diungkap. Peristiwa kematian Rita Hezter terjadi di Allston, Massachuset.

Sejak itu, setiap tanggal 20 November diperingati sebagai hari The Transgender Day of Remembrance (TDoR) , yang  dikenal sebagai Hari Peringatan Transgender
Internasional. Hari ini diperingati setiap tahun untuk mengenang para
transgender yang telah dibunuh akibat transphobia di seluruh dunia.

TDoR mulai diperingati pada tahun 1998, dengan diprakarsai oleh
Gwendolyn Ann Smith yang merupakan seorang transgender yang berprofesi
sebagai design grafis sekaligus seorang aktivis. TDoR ini diprakarsainya
untuk mengenang kematian Rita Hezter.

Sejak dilaksanakannya TDoR ditahun itu,
TDoR kemudian diperingati setiap tahunnya pada 20 November. Melalui pesan ini telah disampaikan dari satu tempat ke tempat lain
sebagai lambang solidaritas terhadap pengabaian-pengabaian kasus
kekerasan yang terjadi pada komunitas transgender.

Banyak kasus kekerasan yang melibatkan transgender tidak mendapatkan
penanganan yang tepat. Lebih banyak kasus tidak diselesaikan karena
dianggap tidak signifikan, dengan alasan ketidak lengkapan bukti dan
lain sebagainya. Penyebaran melalui web-project ini telah menghasilkan
solidaritas yang luar biasa, pada tahun 2010 terdapat 185 kota dalam 20
negara melakukan peringatan TDoR ini.

Peringatan ini juga mengukuhkan masih banyaknya perbuatan
transphobia di Indonesia baik yang dilakukan oleh masyrakat ataupun aparat
negara.

Seperti kejadian pada tanggal 19 November 2018, dua orang waria menjadi
korban kekerasan puluhan pemuda di Bekasi. Dua orang waria yang sedang berada
di ruang terbuka tiba-tiba diserbu segerombolan pemuda berbaju putih, berusia
14-25 tahun sekitar 50-60 orang.

Mereka memarkir motornya dan menyerang dua waria ini. Dan
keduanya berusaha menyelamatkan diri dan lari, Tapi gerombolan ini mengejarnya.
Ketika tertangkap mereka membuka baju salah seorang waria yang berperawakan
feminim, ketika melihat buah dadanya lalu mereka menyuruh mengenakan pakaiannya
kembali dan memotong rambutnya. Sedangkan salah satu waria yang mengenakan wig
dan berperawakan maskulin, ditelanjangi dan dipukuli dadanya dengan besi
sepanjang 50 cm.

Sembari ditanyai “Kamu
lelaki kan? dan Temanmu ini Banci? Tau ga kamu dosa!”


Dua orang waria itu menangis sambil menyebut nama Allah.
Lalu Para penyerang itu mengatakan “Ga
da Allah kalian. Ga usah sebut-sebut Allah. Kalian ga pantas di lahirkan!”

 sembari terus menghajar. Hingga lebih
kurang satu jam barulah gerombolan itu pergi meninggalkan kedua waria tersebut.

Kejadian penangkapan, penganiayaan terhadap waria seringkali
terjadi. Seperti di Aceh, Polisi dan wilayatul hisbah (polisi syariat)
mengamankan 12 orang waria dari sejumlah salon di Kabupaten Aceh Utara, dalam
operasi penyakit masyarakat, pada januari 2018. Masih banyak cerita penangkapan
dan razia yang dilakukan oleh satpol pp terhadap waria.

Kekerasan terhadap LGBT di Indonesia akhir-akhir ini makin
meningkat khususnya terhadap waria. Visibilitas waria memang jelas terlihat
dibandingkan gay dan lesbian. Aparat sebagai perwakilan negara tidak memberikan
perlindungan bahkan melakukan kekerasan terhadap waria.

Sudah banyak report yang dibuat oleh organisasi-organisasi
LGBTI maupun organiasi HAM tentang keadaan dan situasi LGBTI di Indonesia.
Sudah banyak rekomendasi yang diajukan, salah satu Rekomendasi yang dipublikasikan
dalam Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup Sebagai LGBT di Asia yang
diluncurkan oleh UNDP pada 10 Desember 2012. Rekomendasi yang ditujukan untuk
Pemerintahan Republik Indonesia adalah : Mengakui secara resmi keberadaan
kelompok LGBT yang memiliki beragam orientasi seksual dan identitas gender
sebagai bagian integral dalam masyarakat Indonesia, disamping juga menghargai
dan melindungi hak asasi manusia kelompok LGBT yang setara dengan warga
Indonesia lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional melalui
mekanisme HAM yang sudah ada.

Rekomendasi ini ditujukan kepada Presiden Republik
Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Luar Negeri,
Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Perwakilan Indonesia pada
Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN (AICHR), Perwakilan Indonesia
pada Komisi ASEAN tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak-Anak
(ACWC) dan Perwakilan Indonesia pada Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNHRC). 

Lembaga-lembaga dan para individu ini perlu mengembangkan mekanisme
nasional untuk memajukan hak asasi manusia kelompok LGBT di Indonesia dan
menyertakan permasalahan LGBT dan orientasi seksual serta identitas gender ke
dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM), Rencana Nasional
Komnas HAM termasuk Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak, State Accountability Report (Laporan
Pertanggungjawaban Negara) dalam rangka mekanisme hak asasi manusia PBB (antara
lain UPR, ICCPR, ECOSOC dan CEDAW) serta mekanisme hak asasi manusia ASEAN
(termasuk AHRD), di samping juga memajukan Prinsip-Prinsip Yogyakarta. Semuanya
itu harus dilakukan dengan keterlibatan aktif kelompok LGBT.  

Diskriminasi, kekerasan, Homophobia dan Transphobia pada
LGBT di Indonesia masih terus berlangsung. Bahkan terjadi pembiaran kekerasan
oleh negara yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu terhadap teman-teman LGBT.
Saya berharap pemerintah tidak lagi menutup mata, telinga untuk isyu-isyu SOGIEB
dan tidak menggunakan isyu LGBT untuk kepentingan politik dan mendulang suara.
Pemerintah harus menindak orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap LGBT
dan mendidik aparat untuk tidak melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap
LGBT.

(Referensi: https://pkbi-diy.info/sejarah-tdor-transgender-day-of-rememberance/)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!