Frida Hati- www.Konde.co
Di Belanda, tempat saya tinggal selama ini, Natal selalu berlangsung meriah. Ini juga merupakan tradisi yang menyatukan. Saudara saling hadir, tak ubahnya lebaran di Indonesia. Tradisi ini selalu berlangsung dari tahun ke tahun. Ini adalah yang saya alami setiap tahunnya sejak saya memilih untuk tinggal di Belanda beberapa tahun silam.
Sebagai perempuan Indonesia muslim, saya senang melihat kemeriahan ini. Banyak remaja-remaja yang non Kristen dan non Katolik merayakannya. Natal sudah membawa tradisi, salah satunya tradisi kebahagiaan dan kemeriahan di musim salju.
Sebelum natal tiba, di awal Desember banyak pasar yang digelar untuk menjual barang-barang pernik natal. Tradisi ini tidak hanya terjadi di Belanda, namun juga di jerman. Mereka menjual pernik-pernik sinterklas, pasar yang sangat meriah karena diwarnai dengan hiasan dan penuh lampu. Anak-anak sangat senang datang dan kemudian membeli pernik-pernik ini untuk menghias pohon natal.
Di bulan-bulan di awal Desember ini, anak-anak kemudian juga mendapatkan hadiah dari sinterklas. Sinterklas datang memberikan hadiah, hadiah ini yang memberikan orangtua kepada anaknya melalui sinterklas yang datang dengan kapal di pelabuhan. Anak-anak kemudian menyambut sinterklas, selain membagi hadiah, sinterklas juga membagi makanan, kue kering cokelat rasa cengkeh dan pala.
Pada tanggal 5-24 Desember masing-masing rumah penganut agama Kristen dan Katolik telah memasang lampu Natal. Karena musim dingin, maka sore sudah menjadi gelap, lampu pun mulai dinyalakan jam 4 sore untuk menghanagatkan suasana dan bahagia. Karena manusia akan depresi jika kurang sinar matahari, jadi lampu akan menolong membawa kebahagiaan.
Saat Natal tiba, yaitu tanggal 25 Desember orang-orang lalu datang ke rumah saudara, setelah ke gereja, mereka biasanya makan malam dengan menu lengkap seperti kalkun. Semua bisa datang, bisa memeriahkannya dengan saudara atau teman, karena Natal adalah tradisi saling berkunjung dan bercengkarama.
Selain makan makanan yang dihidangkan, beberapa orang kemudian juga menikmati anggur yang dihangatkan. Minum anggur memberikan kehangatan di musim dingin ini.
Natal di Belanda sejatinya tidak pernah identik dengan agama kristen dan katolik saja, karena Natal disini sebenarnya sudah menjadi tradisi untuk saling berkunjung dan memberikan suasana persaudaraan di musim dingin yang gelap. Saya melihat banyak kebahagian di setiap hari itu tiba, perempuan yang bergegas menyambut tamu, anak-anak yang bahagia menikmatinya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Frida Hati, Blogger, tinggal di Belanda.
Luviana – www.Konde.co
Di tahun ini, juga tahun-tahun sebelumnya, ada hari-hari yang dimaknai secara berbeda. Banyak teman yang menyatakan, terjadi perbedaan makna atau kesalahan makna.
Yang pertama, adalah hari Kartini. Kartini adalah pejuang perempuan di Indonesia, yang pada tanggal kelahirannya setiap 21 April, banyak dimaknai dengan perayaan menggunakan busana di sekolah. Identik dengan sanggul dan karnaval anak-anak.
Ketika saya kecil, hari Kartini adalah hari dimana saya harus memakai baju kebaya, mengikuti lomba memasak, lomba menata meja makan dan merangkai bunga.
Padahal Kartini adalah pejuang perempuan. Dengan segala keterbatasannya, Kartini kemudian menulis. Karena tak bisa banyak berbicara maka ia kemudian menuangkan pikirannya. Maka menulislah Kartini. Buku-buku Kartini kemudian menjadi kitab penutur bagaimana perjuangannya dulu. Ia mencoba melawan tradisi, menolak poligami, mempertanyakan mengapa perempuan harus dipingit seperti ia dan adik-adik perempuannya? Mengapa buruh perempuan yang tinggal di belakang rumahnya tak boleh sekolah dan hanya boleh bekerja untuk mengabdi pada pemerintah kolonial Belanda?. Perjuangannya yang sendiri dan sunyi inilah yang memberikan semangat baru bahwa walau sendiri, perempuan harus tetap menuntaskan perjuangannya.
Jadi sepertinya tidak benar jika perjuangan Kartini selalu didentifikasi dengan baju kebaya, menata meja makan, menghias bunga dan mengikuti karnaval di sekolah.
Dan sekarang, yang terjadi pada 22 Desember hari ini, sebagai hari ibu.
Hari ibu yang banyak dirayakan seperti saat ini justru kemudian mendomestifikasi peran ibu. Ibu selalu diidentifikasi sebagai orang yang mengurus rumah dan semua kebutuhan anaknya. Ibu juga seorang pekerja yang tangguh, bekerja di luar rumah dan di dalam rumah, tak pernah mengeluh walau mengerjakan semua hal sendiri.
Padahal esensi itu kurang tepat dan jauh dari esensi perjuangan perempuan dalam melawan ketidakadilan, bila setiap tanggal 22 Desember hanya diperingati sebagai hari kasih sayang ibu terhadap anaknya. Namun justru hari inilah, tepat 88 tahun yang lalu para perempuan Indonesia mulai mewujudkan tekad dalam sebuah kongres perempuan, untuk berjuang bagi bangsanya. Berjuang bagi hak-hak perempuan di Indonesia.
Kongres Perempuan Pertama
Sejumlah aktivis perempuan kemudian menyebut tanggal 22 Desember sebagai hari perjuangan perempuan Indonesia.
Tepat pada tanggal 22 Desember 1928, atau 88 tahun yang lalu, sebuah Kongres Perkoempoelan Perempoean Indonesia digelar di Yogyakarta. Kongres tersebut diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari daerah-daerah di Indonesia. Ada organisasi Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika danWanita Taman Siswa.
Nama-nama perempuan seperti Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari adalah tokoh-tokoh perempuan yang menginisiasi Kongres Perempuan pertama di Indonesia itu. Kongres ini dibuat sebagai kelanjutan dari Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.Tercatat sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi pembukaan yang diadakan mulai tanggal
Dalam kongres ini para perempuan bertemu dan berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan Indonesia lebih-lebih di bidang pendidikan dan perkawinan.
Kehidupan perempuan di masa penjajahan Belanda pada masa itu dirundung oleh sejumlah masalah yang cukup pelik. Tak banyak perempuan yang bisa menempuh pendidikan, kebanyakan dari mereka sudah dikawinkan selang beberapa saat setelah mengalami menstruasi pertama, tak punya kedudukan kuat untuk menggugat atas perlakuan sepihak dari kaum laki-laki yang bisa saja setiap saat menceraikan mereka. Kondisi lain, hampir semua perempuan Indonesia kala itu berada dalam kemiskinan karena penjajahan.
Pembahasan berbagai isu utama permasalahan perempuan dibicarakan dalam rapat terbuka. Topik yang diangkat saat ini di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan untuk anak perempuan. Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang belatar belakang agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegat suatu kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju. Beranjak dari permasalahan yang diungkap, Kongres Perempuan pertama memutuskan:
1.Untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan
2.Pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan) dan segeranya
3.Diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia
4. Memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds
5. Mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak
6. Mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Perkawinan menjadi subyek penting dalam pembahasan di Kongres perempuan 22 Desember tersebut. Elsbeth Locher Scholten menuliskan bahwa kongres akhirnya menolak adanya ta’lik dan perkawinan melalui penghulu. Keputusan yang lain, kongres mempertanyakan posisi perempuan terutama dalam hukum islam terkait poligami dan dalam pendidikan.
Elsbeth juga menggarisbawahi, pada jaman itu perempuan pribumi terutama di Jawa, masih mengalami penindasan karena relasi gender yang tidak setara. Hal ini diperburuk lagi dengan tradisi Jawa yang berkonspirasi dengan sistem kolonial. Lalu bagaimana mendobrak upaya feodalisme ini? Ternyata gagasan awalnya ialah penolakan terhadap poligami. Dari gagasan inilah kemudian lahir konsep sederajat relasi antara suami dan istri.
Dari tangan para perempuanlah dalam Kongres perempuan pertama 22 Desember 1928 lalu, kita bisa berkumpul hari ini, untuk merayakan lahirnya perjuangan perempuan Indonesia.
Selanjutnya, selamat hari Perempuan Indonesia. Mari bersama-sama para ibu, anak-anak, remaja-remaja, seluruh perempuan, berjuang untuk keadilan bagi perempuan Indonesia.
Referensi:
1.http://historia.id/kolom/hari-perjuangan-ibu
2.Elsbeth Locher Scholten, Women dan Colonial State “Marriage, Morality dan Modernity: The 1937 Debate on Monogamy dalam Jurnal Perempuan 19/2001, Amsterdam University Press, 2000/ terjemahan: Luviana.
3.https://wartafeminis.com/2008/03/04/kongres-perempuan-indonesia-sebuah-gerakan-perempuan-1928-1941-2/
(Foto: http://dzikrisabillah.web.ugm.ac.id)
Maria, putri Heli, adalah perempuan yang berasal dari suku Yehuda di Israel. Ia pertamakali disebutkan dalam Alkitab sehubungan dengan suatu peristiwa yang luar biasa.
Seorang malaikat mengunjungi dia dan mengatakan, ”Salam, hai, engkau yang sangat diperkenan, Tuhan menyertai engkau.”
Awalnya, Maria merasa gundah dan ”mulai memikirkan apa maksud salam itu”. Maka, malaikat itu memberi tahu bahwa dia telah dipilih untuk tugas yang luar biasa namun juga sangat serius, yakni mengandung, melahirkan, dan membesarkan Putra Allah.
Bayangkan bagaimana perasaan Maria, perempuan muda dan belum menikah, diberi sebuah tugas penting untuk mengandung dan melahirkan seorang anak. Bagaimana tanggapannya? Maria bisa jadi bertanya-tanya apakah ada yang akan percaya pada ceritanya. Tidakkah kehamilan seperti itu akan menyebabkan dia kehilangan cinta kasih Yusuf, tunangannya, atau mencoreng mukanya di mata masyarakat?
Sewaktu Maria memberi tahu Yusuf bahwa ia hamil, Yusuf berniat memutuskan pertunangan mereka. Pada waktu itu, keduanya pastilah merasa sangat tertekan. Alkitab tidak mengatakan berapa lama keadaan yang sulit itu berlangsung. Meskipun pada akhirnya Yusuf menerima dan bersedia menjadikan istrinya.
Bagi saya Maria adalah perempuan feminis pertama yang pernah saya baca kisahnya, yang berani menghadapi tantangan dengan kehamilannya. Maria kemudian hamil, melahirkan dan menghadapi ini sebagai tantangan.
Kelahiran Yesus sungguh suatu misteri, yang sangat sulit dipahami oleh akal dan pikiran kita yang terbatas ini. Untuk memahami kisah ini diperlukan banyak langkah, salah satunya membaca dalam kisahnya, melakukan interpretasi secara mendalam. Paling tidak ini yang saya lakukan selama ini.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan Maria waktu itu. dia harus menghadapi semuanya seorang diri. Sebagai perempuan di jaman itu dengan budaya patriakhi yang masih sangat kental tidaklah mudah. Bahkan di jaman sekarang (jaman now) saja, perempuan hamil diluar nikah akan mendapatkan stigma dan hukuman sosial yang sangat kuat. Padahal bisa saja, perempuan yang hamil di luar nikah di jaman sekarang adalah perempuan yang hamil karena menjadi korban kekerasan seksual.
Seandainya Maria mengandung di masa sekarang dan Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) maka tentu dia akan dihukum penjara lima tahun karena dianggap telah berbuat zina. Namun putusan MK sesungguhnya merupukan kelegaan karena ia menolak permohonan uji materi ini.
Sesungguhnya Natal tidak hanya kisah Yesus yang lahir di Betlehem, namun juga kelahiran Yesus melalui Maria yang berani untuk memutuskan sesuatu di tengah jaman yang tidak melazimkan hal ini.
Maria kemudian menjadi jalan untuk menyebarkan cinta kasih dan penyelamatan. Menyentuh hati manusia dengan kasih Yesus yang dilahirkannya dan menjadi pelayan bagi manusia lain.
Dan merayakan Natal bukanlah sekedar seremonial yang gegap gempita, apalagi mendatangkan ribuan umat merayakan Natal di Monas atau di tempat-tempat besar.
Tetapi bagaimana Maria, bisa melahirkan makna Natal, memberikan damai bagi diri sendiri, orang lain dan masyarakat, membagikan cinta kasih tanpa memandang apa agamanya, sukunya, jenis kelaminnya, kelas sosialnya atau apapun.
Merayakan Natal adalah memaknai Maria yang feminis, kelahiran Yesus yang sederhana penuh cinta kasih dan pengorbanannya untuk manusia. Agar kita bisa membagikan cinta kasih dan membuat dunia menjadi damai bagi seluruh umat manusia.
Selamat Natal untuk kelahiran Yesus, sekaligus merayakan Maria, seorang feminis muda yang menjadi jalan cinta kasih bagi manusia. Semoga damai selalu menyertai Bangsa Indonesia.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Lembaga – lembaga tersebut adalah lembaga – lembaga yang ada di Jawa timur tentunya seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Pemuda Katholik, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Yayasan GAYa NUSANTARA, Sanggar Merah Merdeka, LBH Disabilitas, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jaringan GUSDURian, KPR Tuban, WCC Dian Mutiara Malang, Embun Surabaya, IPPI Jatim, LBH Surabaya, KOHATI Jatim, KSGK Universitas Surabaya, Forum Kerukunan Umat Beragama, Aisyah Jawa Timur, Wadas, Migrant Care Jember, ISBS, Koalisi Perempuan Kota Malang, Jaringan Pendamping Perempuan dan Anak Jawa Timur, KPS2K, Kamisan Surabaya, PusHAM Ubaya, Sanggar Merah Merdeka, WALHI Jawa TImur, Perempuan Bergerak, Sanggar Merah Merdeka, Arek Lintang, Arek Feminis, Konde.co, prajurit pelangi, Fatayat NU Jawa Timur Tokoh-tokoh Agama : Pdt. Simon Filantropa GKI Sinode Wilayah Jawa Timur, Pdm. Abigail Susana GPPS, Pdt. Adrian Purnawan GKI SinoWilayah Jawa Timur, Pdt. Hardiyan GKJW, Js. Liem Tiong Yang Parakhin (Khong Hu Cu), Haris Teguh (Islam) dan beberapa lembaga lainnya. Jaringan 16HAKTP ini diinisiasi oleh Savy Amira Women’s Crisis Centre. Savy Amira adalah lembaga non – profit yang peduli terhadap perempuan dan anak.
Ini adalah puncak kampanye 16HAKTP yang diadakan oleh Jaringan ini. Sebelumnya, Jaringan ini mengadakan aksi turun jalan untuk mengajak masyarakat ikut mendesak pengesahan Rancangan Undang – Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Aksi ini diadakan di depan Taman Bungkul pada hari Minggu lalu, 9 Desember 2018 bertepatan dengan Car Free Day yang biasa warga kota Surabaya lakukan di setiap hari Minggu.
Di ruang ini, Jaringan ini bertemu dengan empat perwakilan Komisi E. Empat perwakilan tersebut adalah Hartoyo, SH, MH selaku ketua Komisi E beserta tiga anggotanya yaitu Agus Dono Wibawanto, SH, M.Hum; Agatha Retnosari, ST dan Karimullah Dahrujiadi, SP.
Kebanyakan korban yang lebih merasakan malu daripada sang pelaku karena pelecehan seksual ini dianggap aib dan dikucilkan oleh masyarakat.
Pembeberan realita – realita ini bermaksud mendesak DPRD Jatim untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Didapatkan juga informasi dari Saras Dumasari, Staff Advokasi KPI Jawa Timur bahwa ada 807 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Provinsi Jawa timur per tahun terakhir ini. Agatha Retnosari, ST pun meminta RUU yang ada pada Jaringan sebagai bekal ke Jakarta untuk dicocokkan dengan RUU yang ada di DPR RI bahkan akan membahas Perda tentang ini.
*Muhammad Rizky, aktivis Organisasi GAYa Nusantara Surabaya
*Rizki Maharani- www.Konde.co
Banyaknya pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya dari para politikus.
Banyak harapan untuk para politisi agar memperjuangkan kasus-kasus yang menyangkut perempuan, karena mengharapkan para politisi laki-laki, jelas harus kita lihat dulu buktinya. Apalagi politisi yang masih memperdebatkan bahwa feminisme tidak butuh laki-laki, rata-rata anggapan seperti ini datang karena mereka tak punya perspektif dalam perjuangan kemanusiaan .
Padahal kita sudah tahu satu diskursus ini sejak lama bahwa perjuangan gender bukanlah tentang meninggikan perempuan. Namun juga bagaimana laki-laki, perempuan maupun semua orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda bisa memiliki ruang akses keadilan yang sama. Bagaimana definisi keadilan dari setiap subjek dapat bertemu dan terealisasi. Perjuangan gender juga bukan gerakan yang hendak menyingkirkan laki laki.
Perempuan merupakan sebuah kekuatan bagi suatu negara apabila para perempuan diberi kesempatan mengekspresikan pendapat dan aspirasi yang sesuai dengan porsinya. Berdassarkan semboyan Komnas Perempuan bahwa “Perempuan Jangan Ditinggal dalam Membahas Demokrasi”, memang sangat benar, karena perempuan dapat menjadi partikel penguat suatu bangsa bukan hanya sebagai pelengkap.
Sepanjang tahun 2018 ini, ada banyak kasus-kasus yang mengorbankan perempuan, berupa kekerasan, pelecehan, ketidakadilan hukum, dan sebagainya. Tidak sedikit kasus-kasus tentang perempuan yang hilang begitu saja tanpa kejelasan. Begitu pula dengan kasus-kasus pelecehan yang sangat mengenaskan, bahkan setelah terjadi pelecehan perempuan yang sebagai korban tidak mendapat keadilan yang manusiawi. Seperti kasus yang terjadi pada mahasiswa dan mahasiswi Universitas Gadjah Mada 2017 lalu, dimana sampai sekarang belum ada keputusan akhir mengenai kasus tersebut. Semisal kasus tersebut di bawa ke ranah hukum dengan pengusutan secara sistematis maka akan mendapat keputusan yang adil bagi terduga tersangka dan terduga korban.
Kasus yang lain baru-baru ini viral tentang seorang guru di SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun. Baiq Nuril di vonis bersalah dengan terjerat dengan Pasal 27 ayat (1) Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eelektronik, karena didakwa telah melakukan penyebaran rekaman mesum mantan kepala sekolah dimana tempat ia bekerja. Nuril yang seharusnya mendapat keadilan karena penyebaran rekaman tersebut bukanlah disengaja olehnya, melainkan oleh rekan-rekannya sekantor.
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB, padahal sudah menyebutkan tentang hak perempuan dalam ketenagakerjaan, hak dalam bidang kesehatan, hak yang sama dalam pendidikan, hak dalam perkawinan dan keluarga, dan hak dalam kehidupan publik dan politik.
Beberapa kasus lain yang menyangkut perempuan seperti juga memerlukan perhatian khusus. Dari maraknya kasus perempuan di Indonesia, apakah politisi di Indonesia ikut turun tangan untuk dapat menangani kasus-kasusnya secara langsung demi mendapatkan keadilan bagi para korban?
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu hal penting yang bisa kita lihat hasilnya apakah para politisi di Senayan mau memperjuangkan para perempuan yang menjadi korban ataukah tidak?.
Setidaknya para politisi dapat memandang kasus-kasus tersebut dengan lebih manusiawi dan tetap mengiringi kasusnya dalam ranah hukum yang berlaku seadil-adilnya.
Pertanyaan selanjutnya yaitu: apakah politisi perempuan diberi ruang untuk menangani kasus-kasus perempuan di Indonesia?
*Rizki Maharani : Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran yang memfokuskan diri meneliti politik perempuan.
Melly Setyawati- www.Konde.co
Jakarta- Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Komnas Perempuan dan Ke:Kini ruang bersama kembali mengadakan “Give Back Sale ” ke 7 pada 13-15 Desember 2018. Give Back Sale adalah event penjualan barang-barang yang kemudian hasil penjualannya didonasikan untuk para perempuan korban kekerasan di Indonesia.
Data perempuan korban yang naik setiap tahunnya, membuat Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Komnas Perempuan mulai menyelenggarakan Give Back Sale di tahun 2016. Dalam setiap event Give Back Sale, ada masyarakat yang menyumbangkan barang-barangnya yaitu berupa: pakaian, assesories, selendang, sepatu dan tas dan kemudian barang-barang ini dijual di event Give Back Sale.

Give Back Sale sendiri diselenggarakan untuk membantu individu/ komunitas/ lembaga pengada layanan (Women’s Crisis Center/ WCC) yang sehari-harinya membantu perempuan dan anak korban kekerasan. Para perempuan korban ini selaman ini diberikan pendampingan psikologis hingga mendampingi penuntasan kasus sampai pengadilan.
Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Anik Wusari menyatakan bahwa dengan membeli barang-barang melalui Give Back Sale, maka kita akan membantu banyak perempuan dan lembaga pengada layanan perempuan untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan perempuan.
Give Back Sale membantu kita untuk terhubung dengan orang-orang yang peduli pada para perempuan korban dan membantu mereka menyelesaikan kasus yang mereka alami,” kata Anik Wusari.
Di hari pertama pelaksanaan Give Back Sale, Kamis (13/12/2018), donasi yang sudah terkumpul dari hasil penjualan kurang lebih sebanyak: Rp. 20 juta. Selain menjual barang-barang, dalam event Give Back Sale diadakan juga workshop berdonasi pada Sabtu (15/12/2018). Beberapa topik workshop antara lain: How to Make an Effective Campaign, It's All About Me Up, Urban Little Garden, Zero Waste, Pembacaan Tarot dan Sktech.
Adinda dari The Indonesian Institute dan Suara Kebebasan yang memiliki hobi berbelanja mengatakan bahwa belanja saat ini bukan cuma soal menyenangkan diri sendiri tetapi untuk membantu upaya teman-teman di Indonesia untuk Kemanusiaan dan Komnas Perempuan melalui Give Back Sale untuk programnya Pundi Perempuan. Ia menambahkan,
“Lewat kegiatan ini kita bisa ikut berdonasi untuk meningkatkan kesadaran soal upaya untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.”
Sementara Valentina Sagala feminis, aktivis HAM, dan pendiri Institut Perempuan mengungkapkan bahwa dari tahun ke tahun, angka kekerasan terhadap perempuan selalu meningkat. Dan teman-teman di berbagai penjuru di Indonesia menjadi pengada layanan, yaitu lembaga-lembaga yang memberikan bantuan kepada perempuan korban kekerasan maupun anak perempuan korban kekerasan. Baik, itu pendampingan psikososial, pendampingan hukum. Untuk itu tentu dibutuhkan banyak sekali pendanaan agar kerja-kerja teman-teman LSM perempuan dan pengada layanan bisa terus berlangsung. Valentina mengemukakan harapannya, “Saya tentu berharap agar banyak dari teman-teman sekalian, siapapun kita untuk terlibat, baik mendonasikan barang-barang yang layak pakai dan masih memiliki nilai jual, juga untuk mari kita berbelanja bersama-sama di Give Back Sale. Karena seluruh hasil penjualan barang-barang yang ada di Give Back Sale akan disalurkan bagi teman-teman pengada layanan.”
Dana ini kemudian akan didonasikan melalui program Pundi Perempuan yang dikelola IKa. Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Komnas Perempuan mengelola Pundi Perempuan sejak tahun 2003. Saat ini kurang lebih sudah 80 individu/ komunitas dan pengada layanan untuk perempuan korban kekerasan seksual telah mendapatkan donasi Pundi Perempuan.
Pundi Perempuan merupakan women’s fund (dana hibah perempuan) pertama di Indonesia yang hadir dalam konteks persoalan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan dalam dinamika dana yang tersedia untuk perubahan sosial.
Digagas oleh Komnas Perempuan pada tahun 2001, dan mulai tahun 2003 dikelola bersama IKa (Indonesia untuk Kemanusiaan). Pundi Perempuan menghadirkan model hibah yang memberdayakan, sesuai dengan nilai-nilai perubahan sosial yang diharapkan. Kegiatan dalam Pundi Perempuan antaralain melakukan penggalangan, pengelolaan, pengembangan dan pendistribusian sumber dana yang akuntabel, memberi dukungan dan mendorong keberlanjutan organisasi, komunitas atau individu yang memiliki inisiatif penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Memberikan dukungan bagi kesehatan, keselamatan, kesejahteraan dan kapasitas perempuan pembela HAM. Serta membangun dan mengembangkan jaringan baik di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk memperkuat peran Pundi Perempuan.
Apakah bapak memiliki putri?Tanya teman saya kembali
“Iya, masih SD!Jawab si bapak
“Istri bapak, anak bapak, ibu dan saudara perempuan bapak bisa jadi korban kekerasan pak! Makanya kita perlu melindungi mereka semua!Jelas teman saya.
Si bapak langsung tersadar dan akhirnya ikut membubuhkan tanda tangannya di tempat yang telah disediakan.

Sejumlah penelitian menyimpulkan perkawinan anak adalah sumber dari pelbagai masalah sosial di masyarakat.
www.shutterstock.com
Siti Musdah Mulia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Kontroversi perkawinan anak kembali santer setelah juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menyatakan bahwa menikah adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dilarang. Hal ini, menurutnya, juga berlaku jika anak yang menginginkan perkawinan itu.
Saya tidak sependapat. Menurut saya, perkawinan anak seharusnya dilarang. Dalam tulisan ini saya akan menjabarkan berbagai alasan mengapa larangan terhadap perkawinan anak itu perlu ditegakkan.
Kerancuan hukum
Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah usia 18 tahun. Definisi ini mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCROC) yang menetapkan bahwa batasan bagi usia anak adalah 18 tahun.
Namun jika kita mengacu pada Undang-undang (UU) kita sendiri, ada kerancuan mengenai usia perkawinan.
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun sedangkan laki-laki adalah 19 tahun. Sementara UU Perlindungan Anak tahun 2002 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2017 menunjukkan sebaran angka perkawinan anak berada di atas 25% di 23 provinsi dari 34 provinsi yang disurvei.
Persentase perempuan berumur 20-24 tahun yang pernah kawin yang umur.
perkawinan pertamanya di bawah 18 tahun menurut provinsi
"Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015 Edisi Revisi" BPS, 2017
Penyebab perkawinan anak
Sebelum saya menjabarkan alasan-alasan mengapa perkawinan anak seharusnya dilarang, mari kita telaah apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa perkawinan anak bisa terjadi karena banyak masalah-masalah sosial yang belum terselesaikan.
Penyebab pertama adalah adanya ketimpangan status gender di masyarakat yang merendahkan posisi anak perempuan. Hal ini akan mengakibatkan seorang anak perempuan sulit menolak keinginan orang tuanya yang mendorong mereka menikah dengan laki-laki yang lebih tua. Ketika sudah menikah pun, anak tersebut akan tetap berada di bawah kuasa suaminya.
Penyebab lainnya adalah kurangnya pengetahuan tentang risiko kesehatan yang terjadi akibat perkawinan muda, sepertinya tingginya angka kematian ibu sehabis melahirkan, bayi prematur dan risiko terkena HIV/AIDS. Ketidaktahuan atas risiko ini yang menyebabkan praktik perkawinan anak masih terus terjadi.
Untuk wilayah konflik, praktik kawin anak lebih merajalela karena runtuhnya struktur hukum, ekonomi, dan sosial. Banyak keluarga yang bermigrasi memilih
untuk menikahkan anak-anak perempuannya karena pilihan hidup menjadi sangat terbatas di kamp pengungsian.
Di Indonesia, masalah semacam itu juga dihadapi oleh penduduk yang bermigrasi karena alasan ekonomi. Saat para lelaki kehilangan lahan pekerjaan karena industrialisasi di bidang pertanian, maka perempuan pun terpaksa menjadi pencari nafkah. Anak perempuan pun akhirnya didorong untuk menikah muda untuk mengurangi beban keluarga.
Mengapa harus dilarang?
Dengan mengidentifikasi begitu banyaknya masalah sosial dan politik yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan anak, sudah sepantasnya praktik itu dilarang bukan malah dimaklumi.
Jika tetap dibiarkan, masalah-masalah tersebut tidak akan selesai malah akan diperparah dengan adanya masalah-masalah baru yang lain.
Sejumlah penelitian menyimpulkan perkawinan anak adalah sumber dari pelbagai masalah sosial di masyarakat. Paling tidak dijumpai lima dampak buruk perkawinan anak.
1. Perkawinan anak merupakan salah satu penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat.
Di Indonesia, angka perceraian antara usia 20-24 tahun lebih tinggi pada yang menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak tersebut belum matang secara fisik, mental, dan spiritual untuk mengemban tanggung jawab yang diperlukan dalam mempertahankan hubungan perkawinan.
2. Perkawinan anak berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Perkawinan anak memaksa anak putus sekolah dan menjadi pengangguran sehingga menghambat program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah. Dengan lebih dari 90% perempuan usia 20-24 tahun yang menikah secara dini tidak lagi bersekolah, tidak heran bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia mengalami penurunan.
3. Perkawinan anak menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Data global menunjukkan bahwa bagi anak perempuan yang menikah sebelum umur 15, kemungkinan mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga meningkat 50%. Selain karena ketimpangan relasi kuasa, para pengantin muda cenderung penuh emosi sehingga gampang emosi.
4. Perkawinan anak menyebabkan berbagai isu kesehatan.
Para pengantin anak memiliki risiko tinggi menghadapi berbagai permasalahan kesehatan. Tingginya AKI (angka kematian ibu) setelah melahirkan disebabkan karena ketidaksiapan fungsi-fungsi reproduksi ibu secara biologis dan psikologis. Anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun.
Selain kesehatan ibu, angka kematian bayi bagi ibu remaja juga lebih tinggi dan 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Kemungkinan anak-anak tersebut mengalami hambatan pertumbuhan (stunting) selama 2 tahun juga meningkat sebanyak 30%-40%.
Bahkan, pengantin anak memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap HIV/AIDS akibat hubungan seksual dini dan kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi.
5. Perkawinan anak menghambat agenda-agenda pemerintah.
Perkawinan anak mengancam agenda-agenda pemerintah seperti program Keluarga Berencana (KB) dan Generasi Berencana (Genre) oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Hal ini dikarenakan perkawinan anak bisa menyebabkan ledakan penduduk karena tingginya angka kesuburan remaja Indonesia .
Jika angka kelahiran remaja tidak dikendalikan, program pemerintah lain seperti program pengentasan kemiskinan dan wajib belajar 12 tahun akan terbebani.
Rekomendasi dan solusi
Perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga psikologis, sosial, mental dan spiritual.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menetapkan batas minimal usia nikah adalah 18 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), batas minimal bagi perempuan sebaiknya 21 sedangkan bagi laki-laki 25.
Untuk itu diperlukan reformasi UU perkawinan terkait penetapan usia kawin.
Berdasarkan penelitian Pusat Studi Wanita UIN Jakarta pada tahun 2000, usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan seharusnya dinaikkan menjadi minimal 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Usia tersebut menurut Alquran surat an-Nisa ayat 6 sudah dianggap matang secara fisik, ekonomi, sosial, mental kejiwaan, agama, dan budaya.
Selain itu diperlukan pendidikan seks yang komprehensif sejak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pendidikan ini menekankan pada aspek kesehatan reproduksi serta tanggung jawab moral dan sosial. Pendidikan seksual terpadu yang diberikan kepada para remaja perlu mendapat dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan tentang tanggung jawab anak laki-laki dan perempuan atas seksualitas dan kesuburan mereka sendiri.
Terakhir, perlu ada upaya pendidikan ajaran agama yang lebih humanis, lebih damai dan lebih ramah terhadap anak dan perempuan. Kita perlu menyingkirkan
ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan konteks kekinian agar tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan anak perempuan.
Mari mengimplementasikan ajaran agama yg lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan relevan dengan konteks kekinian.
Rizkina Aliya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Siti Musdah Mulia, Professor of Islamic Studies, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.