LGBT dan Stigma Gempa yang Melekat

*Muhammad Rizky- www.Konde.co

Dalam beberapakali kejadian gempa di Indonesia, entah kenapa saya selalu tertarik untuk membaca komentar-komentar orang yang menyalahkan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sebagai pelaku kemaksiatan penyebab gempa. LGBT selalu disalahkan sebagai subyek pelaku gempa.

Komentar ini ada di sosial media maupun komentar- komentar di kolom-kolom berita yang kemudian menyebar di whats app group. Saya menerima pesan ini di salah satu whats app group sekolah saya dulu.

Kemaksiatan yang mereka maksud disini adalah perilaku menyimpang atau homoseksual. Baru saja misalnya terjadi gempa tsunami di Palu, Sulawesi Tengah atau di Banten dan Lampung. Banyak komentar yang tidak ilmiah menuliskan penyebab gempa tsunami ini, salah satunya menyalahkan LGBT. Walaupun sebenarnya komentar-komentar ini sudah ada sejak gempa-gempa sebelumnya.

Dibaca di platform forum diskusi yang cukup besar di Indonesia menyatakan sebelum kejadian besar ini, katanya ada video mengungkap bahwa kota Palu adalah sarang LGBT. Tulisan ini merujuk penyebab bencana tsunami adalah adanya LGBT di kota Palu.

Ada juga yang menuliskan kepanjangan LGBT adalah Longsor, Gempa dan Bencana Tsunami. Mari kita berbicara dengan data dan seharusnya dengan dasar penelitian. Indonesia memiliki lembaga – lembaga penelitian seperti LIPI dan BNBP, banyak pernyataan bahkan buku yang ditulis oleh mereka untuk dijadikan dasar sebelum mengeluarkan pernyataan mengenai penyebab terjadinya gempa di Indonesia.

Menurut ilmugeografi.com, salah satu proses terjadinya tsunami adalah keseimbangan air terganggu. Salah satu pemahaman yang bisa muncul dari tulisan ini adalah alam bisa tidak bersahabat bila alam diganggu kedudukannya.

Jadi bila manusia tidak sengaja menganggu kestabilan ekosistem alam, manusia harus tahu bagaimana cara mencegah alam mulai tidak bersahabat dengan kata lain mencegah terjadinya gempa.

Danny Hilman, Peneliti Geologi Kegempaan LIPI menyatakan daerah yang dekat lempeng, daerah pada batas lempeng atau daerah patahan aktif ini bisa terjadi gempa bumi. Pulau Sulawesi memiliki 4 patahan (sesar) aktif. Salah satu sesarnya adalah sesar Palu – Koro yang menjadi penyebab terjadinya tsunami di kota Palu. National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), Badan Sains di Amerika Serikat mencatat sejak tahun 416 sampai 2018 ada 246 kejadian tsunami di Indonesia, ini ditulis oleh BBC.com.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab gempa bumi termasuk tsunami di negeri ini adalah letak geografis Indonesia, dan bukan karena perilaku seksual masyarakat maupun keberadaan LGBT. LGBT bukanlah pengendali bumi, pengendali bumi adalah sesar atau sebutan lain dari patahan struktur bumi.

Saya hanya semakin sedih saja jika komentar yang sama sekali tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini semakin membuat stigma terhadap LGBT makin kuat. Selama ini LGBT selalu dikonotasikan sebagai hal yang hina, sampah masyarakat dan harus enyah dari muka bumi.

Sekarang ketika gempa datang, stigma ini terus bertambah dan menjadikan LGBT sebagai subyek yang hidup penuh dengan kamaksiatan penyebab gempa.

Bahayanya, jika orang terus-menerus mempercayai stigma ini, dimanakah LGBT kemudian harus hidup?. Dimanakah LGBT harus mempertahankan diri ketika semua orang menganggapnya penyebab dari malapetaka, gempa bumi dan membuat orang harus meninggal karena gempa?

Setiap orang seharusnya sadar dengan komentar mereka, harus sadar apakah komentar tersebut tanpa bukti ilmiah dan justru malah mendiskriminasi orang lain?

Stigma tak semudah yang terlihat. Orang bisa terbunuh karena stigma yang melekat.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Muhammad Rizky, aktivis sosial

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!