Apa Agamamu? Sudah Menikah Belum?

*Alea Pratiwi- www.Konde.co

Dalam salah satu wall di sosial media, awal Februari ini, ada seorang kawan perempuan yang mengeluhkan ketika ditanya soal:

“Apa agamamu?”

“Siapa orangtuamu?”

“Sudah menikah belum?”

Banyak tanggapan kemudian muncul atas pertanyaan ini. Jika diingat-ingat, pertanyaan seperti ini selalu seliweran dalam lingkungan kita, lalu mengendap begitu saja dalam benak setiap orang, setiap perempuan.

Pertanyaan sudah menikah belum, kerap ditanyakan untuk perempuan, sedangkan laki-laki, seolah selalu terlepas dari jeratan pertanyaan ini.

Sebenarnya, seberapa penting status menikah bagi orang lain? Apakah status seseorang ini menjadi penting untuk lebih memahami orang lain? Ataukah justru malah membuat tidak nyaman seseorang?

Pertanyaan ini juga masih sering didengar oleh kawan perempuan saya yang lain:

“Kamu china ya? Keturunan?”

Atau ada juga anggapan seperti ini,” Dia khan orang China, bukan orang kita (Indonesia).”

Identifikasi sebagai orang China, bukan orang Indonesia selalu saja datang setiap tahunnya, sejak sebelum pemerintahan orde baru hingga sekarang.

Dalam masa sekarang misalnya dimana Pemilu sudah ada di depan mata, pertanyaan-pertanyaan ini selalu bernilai politis. Pertanyaan tentang apa agamamu selalu menjadi pembicaraan dimana semua orang boleh mengurusi agama orang lain, pilihan orang lain. Seolah agama seseorang adalah alat ukur untuk menentukan pilihan politik seseorang.

Padahal pilihan soal agama, pilihan soal menikah adalah pilihan seorang secara personal. Ini adalah pilihan bebas dimana ruang ini tak boleh dimasuki oleh orang lain.

Wall facebook teman perempuan saya tadi kemudian menuliskan: “Akhirnya saya hanya bisa diam melihat ketidaknyaman ini, selalu ditanya apa agamamu dan kapan kamu menikah?”

Seberapa penting mempertanyakan identitas seseorang? Karena secara sering, dalam identitas juga disematkan stigma dan diskriminasi.

Pernah saya ditanya seseorang dalam perjalanan saya pulang, ia bertanya tentang mengapa saya lahir di wilayah konflik? Jika saya bercerita banyak hal, pasti ia akan mengidentifikasi saya sebagai orang yang emosional, suka perang, pengacau dan mengalami persoalan psikologi. Padahal identifikasi ini tidaklah tepat.

Namun dari sini saya belajar menelusuri mengapa identitas menjadi begitu penting bagi orang lain. Untuk naik pesawat saja, kita harus menunjukkan KTP, menggunakan handphone, kita harus mempunyai identitas. Untuk menyetir kendaraan, kita harus mempunyai identitas. Betapa identitas sudah menjadi rutinitas kita tiap harinya. Jika ada salah satu tanda identitas kita yang hilang, seolah tamatlah riwayat hidup kita.

Namun mengapa kita justru kita tidak merasa nyaman dengan ini semua?

Pertanyaan-pertanyaan yang tidak membuat nyaman ini seharusnya ditanyakan lagi: apakah kita juga merasa nyaman dengan pertanyaan ini jika ini ditujukan untuk kita? Lebih baik bertanya, apakah orang akan nyaman dengan pertanyaan kita, daripada terus-menerus bertanya yang hanya bertujuan untuk menyelidik, bahkan memberikan stereotype pada perempuan.

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

*Alea Pratiwi, Blogger

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!