Jangan Matikan Film “Kucumbu Tubuh Indahku”

*Muhammad Rizky- www.Konde.co

Sebuah karya film dari sineas Garin Nugroho yang bertajuk “Kucumbu Tubuh Indahku” yang telah menerima banyak penghargaan Internasional, ternyata justru mendapatkan penolakan dari sejumlah kelompok di Indonesia. Inilah yang kita sebut sebagai ironisme.

Tidak hanya menang dalam festival, film ini juga meraih penghargaan dari salah satu lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Telah memenangkan Best Film pada Festival Des 3 Continents, Nantes, Perancis.

Film ini juga meraih Cultural Diversity Award under patronage of UNESCO di Asia Pasific Awards (APSA) 2018, Brisbane, Australia. Telah meraih penghargaan dari Bisato D’oro Award Venice Independent Film Critic di Italia. Garin Nugroho telah menciptakan karya yang membawa nama baik negara ini, Indonesia.

Film ini sudah diputar di beberapa festival di banyak negara tapi baru ditayangkan serentak di Indonesia pada 18 April 2019, itupun hanya di beberapa kota saja. Film ini mengangkat kisah penari di tanah Jawa. Inilah sinopsis dari film Kucumbu Tubuh Indahku yang tertulis di deskripsi trailer film ini pada kanal Youtube Fourcolours Films.

“Juno adalah seorang anak kecil ketika ayahnya meninggalkan dia di desa mereka di Jawa Tengah. Sendiri sekarang, dia bergabung ke pusat tari Lengger dimana laki-laki mengubah penampilannya dan gerakannya menjadi seperti perempuan. Tapi sensualitas dan seksualitas datang dari tari dan tubuh, bercampur dengan kekerasan sosial dan keadaan politik Indonesia. Memaksa Juno untuk pindah dari desa ke desa. Di perjalanannya, Juno mendapatkan perhatian dan cinta dari guru tarinya, tantenya yang aneh, pamannya, seorang petinju yang tampan dan seorang Warok. Dia masih menghadapi sendiri pertempuran terus – menerus yang ada di tubuhnya.”

Tidak hanya menceritakan dari sisi penari Lengger tapi juga menceritakan tradisi Warok dan Gemblak di Ponorogo. Film ini juga mengangkat isu kekerasan sosial dan keadaan politik yang telah terjadi di Indonesia. Film dalam beberapa hari ditonton sekitar 8 ribuan orang pada 8 hari sejak tayang.

Ternyata, film ini tidak hanya mendapatkan penghargaan saja, namun yang juga santer terdengar adalah penolakan terhadap film ini. Bahkan ada yang menulis petisi agar film ini tak lagi ditayangkan di bioskop, alasannya karena film ini mengangkat kisah kehidupan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Petisi tersebut ditulis oleh Rakhmi Mashita pada 22 April 2019 dalam situs change.org.

Tolak penayangan film LGBT dengan judul “Kucumbu Tubuh Indahku” Sutradara Garin Nugroho.

Sebuah film selain dibuat untuk menceritakan true story, seharusnya sebuah film bisa membawa efek positif bagi penontonnya, seperti menjadi inspirasi positif,kreatif, dan menambah wawasan yang bernilai positif jg, jika film seperti ini diijinkan tayang dan disebarluaskan, kita mesti khawatir, bahwa generasi muda yg mengalami kesulitan menemukan jati diri akan mencontoh perilaku dalam film ini.

Setelah diedarkan, petisi kemudian ditandatangani oleh 7.653 orang pada 27 April 2019 pukul 09.55 WIB.

Membaca deskripsi petisi Rakhmi jadi menimbulkan beberapa pertanyaan, apakah Rakhmi tidak bisa mengambil nilai positif dari film ini? Siapa yang khawatir, Rakhmi? Seharusnya bukan sebuah karya yang disalahkan.

Garin Nugroho kemudian mengeluarkan pernyataan melalui akun Instagramnya, @garin_film atas petisi yang ditujukan untuk film yang ia buat:

Keprihatinan atas petisi sebagai penghakiman massal dan sensor massal terhadap karya dan pikiran atas keadilan

Petisi untuk tidak menonton film “Kucumbu Tubuh Indahku” lewat ajakan medsos, tanpa proses dan ruang dialog, bahkan tanpa menonton telah diviralkan di media sosial. Penghakiman massal lewat media sosial berkali terjadi pada karya seni dan pikiran atas keadilan. Gejala ini menunjukkan media sosial telah menjadi medium penghakiman massal tanpa proses keadilan, melahirkan anarkisme massal. Bagi saya, anarkisme masa tanpa proses dialog ini akan mematikan daya pikir terbuka serta kualitas warga bangsa, memerosotkan daya kerja serta cipta yang penuh penemuan warga bangsa, serta mengancam kehendak atas hidup bersama manusia untuk bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sebagai tiang utama demokrasi.

Lewat catatan ini, saya ingin menyatakan keprihatinan terbesar atas gejala menjamurnya penghakiman massal tanpa proses dialog dan penegakan hukum berkeadilan. Bagi saya, kehendak atas keadilan dan kehendak untuk hidup bersama dalam keberagaman tanpa diskriminasi dan kekerasan tidak akan pernah mati dan dibungkam oleh apapun, baik senjata hingga anarkisme massal tanpa proses berkeadilan.

Salam

Garin Nugroho

Sutradara film “Kucumbu Tubuh Indahku”

Petisi sebagai penghakiman massal dan sensor massal terhadap karya dan pikiran atas keadilan. Itulah yang sering terjadi di sini, mengingatkan kita pada petisi terhadap iklan Blackpink. Petisi yang hanya berpihak pada satu sisi, ketidaksukaan atau kebencian. Sebuah karya itu selalu indah, bisa dikatakan karya mempunyai selera masing – masing. Tidak ada karya yang tidak indah. Kalau memang tidak suka pada suatu karya, berhentilah menikmati karya itu. Bukan malah mencekal dan mengajak semua orang untuk tidak menikmati karya tersebut.

Benar kata Garin Nugroho, “Jangan sampai mematikan daya pikir terbuka.” Janganlah menghambat seseorang untuk berkarya dan menghambat seseorang untuk mengapresiasi sebuah karya.

Saya selalu percaya, tanpa ruang perjumpaan atau ruang dialog, kita tidak boleh dengan cepat menilai sesuatu.

Terakhir yang ingin saya sampaikan: mari kita berdialog, Rakhmi dan teruslah berkarya, Garin Nugroho!

(Foto: www.web3.21cineplex.com)

*Muhammad Rizky, penulis/ pemerhati film

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!