Pertanyaan Khas Lebaran: Kapan Kawin?

*Alea Pratiwi – www.Konde.co

Yang paling bahagia dibayangkan ketika dalam perjalanan pulang adalah saat membayangkan senyuman ibu.

Namun ada banyak hal yang tak mengenakkan ketika harus bertemu saudara lain dan yang tak bosannya menanyakan: Kapan Kawin?

Pertanyaan ini selalu menjadi momok bagi kami, aku dan adik perempuanku setiap tahunnya. Seolah jika tak menikah, ini akan menjadi sesuatu yang tabu. Dan, kali inipun ketika baru beranjak ke bandara, hal ini pula yang ditanyakan saudara di kampung. Apalagi om-ku, orang yang paling semangat untuk menjodohkanku dengan teman-temannya.

Sebenarnya bukan perjodohan, ini hanya untuk perkenalan biasa. Siapa tahu kamu cocok. Begitu ulangnya berkali-kali. Dan aku juga tak pernah bosan untuk menolaknya.

Di group Whats App keluarga, obrolan tentang siapa yang belum menikah ini selalu datang ketika lebaran tiba. Entah mengapa, apakah ini karena begitu dekatnya hubungan keluarga kami, ataukah sudah menjadi tradisi bahwa sesama keluarga harus saling memperhatikan. Termasuk menentukan kapan seseorang harus menikah.

Namun perhatian macam apa kalau ini sudah tak membuat kita nyaman untuk pulang saat lebaran kak? begitu kata adikku.

Di usia kami yang menginjak angka 30, memang tak lumrah bagi keluarga kami, ketika kami tak pulang dengan pacar kami masing-masing, masih pulang sendirian, dan tiba-tiba semua orang kuatir jika kami kena rampok di jalan karena tak ada laki-laki yang mendampingi. Oh, My God!

Jika saya ditanya, apa momokmu ketika lebaran? Jawaban saya selalu sama 5 tahun ini: bertemu saudara. Ketemu saudara menjadi tak nyaman karena pertanyaan kapan nikah ini selalu dilontarkan.

Belum lagi nanti kalau datang ke reuni sekolah. Yang pertama ditanyakan pasti: sekarang tinggal dimana? Bekerja dimana? Sudah menikah belum?

Menikah memang sepertinya sudah menjadi tujuan semua orang. Seolah jika sudah menikah, sudah tergenapilah hidup di dunia ini. Padahal tak semua orang menjadikan pernikahan sebagai titik akhir perjalanan hidup.

Ada banyak orang yang ingin berkarir, ada yang ingin mengadopsi anak saja cukup, ada yang ingin tetap sekolah setinggi mungkin dan ada yang ingin menghabiskan hidupnya dengan menjadi macam-macam, traveller, mengajar di sebuah universitas di luar negeri, menjadi pekerja dan aktivis di daerah konflik, dan tentu masih banyak lagi. Inilah orang-orang yang tinggal di sekeliling saya sekarang ini di Jakarta. Teman-teman yang menjadikan pernikahan bukan sebagai titik akhir perjalanan hidup. Kalaupun ada yang memutuskan menikahpun, mereka juga tak repot jika tidak mempunyai anak atau hidupnya serba kekurangan sekalipun.

Karena, toh, semua orang tak pernah punya standar yang sama tentang hidup. Apakah orang harus menikah, hidup makmur dan bahagia selamanya?

Sumber kebahagiannpun tidak hanya itu. Ada banyak hal yang membuat saya bahagia. Ada banyak hal yang membuat adik saya bahagia. Lihat saja, dua minggu lalu ia baru saja menerima kabar bahagia ketika karyanya menang dalam sebuah penghargaan internasional rumah sehat. Menurut saya, ia tetaplah adik saya, seorang arsitek yang handal yang mendesain semua rumah kami, kakak-kakak kami dari dulu. Apakah jika ia belum menikah di usianya yang ke-31 tahun, lantas kami menyebutnya sebagai adik yang kurang beruntung? Tidak. Saya tetap beruntung mempunyai adik yang perhatian kepada keluarga, setiap saat bisa pulang menengok ibu karena pekerjaannya yang sangat fleksibel.

Saya tak pernah bosan mengingatkan tentang hal ini pada yang lainnya. Namun jika ingatan ini tak merubah semua orang, saya cukup titip pesan ke ibu:

“Ibu mestinya bangga punya anak yang perhatian pada keluarga, saudara dan orang-orang yang kesusahan.”

Dan ibupun mengangguk,” Apapun, kalian semua adalah anakku.”

Inilah yang membuat saya, adik saya selalu mengingat bahwa pulang kampung di saat lebaran adalah: mengingat ketulusan ibu menerima kami apa adanya.

Dan yang paling penting, lupakan momok lebaran. Ini kepo banget, dan tak penting bagi kami.

(Di Bandara, Saat Mau Terbang)

*Alea Pratiwi, Pustakawan, senang menulis dan beraktivitas sosial. Tinggal di Jakarta.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!