19 Tahun Usia Perkawinan Perempuan dan Laki-Laki, Angin Segar bagi Anak Perempuan

Usia perkawinan perempuan dan laki-laki yang disyahkan pada September 2019 memberikan angin segar atas banyak luka yang terjadi pada masyarakat sipil di bulan September ini.

*Poedjiati Tan- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Walaupun mendapatkan banyak luka dengan disyahkannya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, disetujuinya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta lamanya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), namun ada 1 yang melegakan, yaitu ketika disyahkannya umur 19 tahun untuk perkawinan laki-laki dan perempuan.

Hingga sampai pada titik ini, banyak aktivis mengatakan ini merupakan suatu perjuangan yang sangat panjang dan tak mudah. Padahal penghapuskan praktik perkawinan anak merupakan bentuk upaya negara dalam menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, mendapatkan perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi telah diamanatkan undang-undang. Namun penetapan umur 19 tahun untuk perkawinan ini merupakan perjuangan yang panjang

Data di tahun 2017 menunjukkan jumlah pernikahan anak di Kalimantan Selatan sebesar 21.53%, Jawa Timur 18,44%, dan Jawa Barat 17,28%. Sedangkan pada 2018 jumlah pernikahan di Kalimantan Selatan menjadi 22,77%, Jawa Barat 20,93%, dan Jawa Timur 20,73%. Jumlah ini sangat memprihatinkan karena perkawinan anak pada akhirnya akan merenggut hak-hak anak-anak. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik atau BPS di tahun 2018 terjadi peningkatan jumlah perkawinan anak di beberapa provinsi.

Motif utama yang digunakan agar menikah muda biasanya adalah karena agama. Menikah di usia muda dianggap sebagai solusi untuk keinginan melepas hasrat seksual, sebagai penjaga kehormatan perempuan, bahkan sebagai solusi finansial bagi perempuan.

Namun data juga menunjukkan bahwa pernikahan usia muda juga dianggap sebagai penyebab perceraian. Usia pasangan suami istri yang muda, sehingga dianggap mempunyai emosi masih labil, finansial yang belum mapan, hingga perselingkuhan yang diakibatkan oleh hasrat seksual laki-laki suami yang tidak tertahan. Dari sini kemudian banyak perempuan yang takut untuk membangun hubungan rumah tangga karena perselingkuhan dan kekerasan yang mereka alami.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Koalisi 18+ mencatat tentang proses dialog dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya bisa berjalan dinamis.

Sebelum keputusan dalam sidang paripurna ke-8 pada 16 September 2019, terdapat 4 (empat) tahapan pertemuan sidang dalam panitia kerja (PANJA) yang dilakukan dengan agenda yaitu penjelasan tim pengusul serta penyerahan naskah Akademik dan Draft RUU Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Badan Legislatif pada 20 Agustus 2019. Lalu pembahasan harmonisasi di Badan Legislasi dan Pandangan Fraksi atas Draft RUU Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada 2 September 2019. Pembahasan tingkat pertama Draft RUU Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara Panja dan Pemerintah yang digawangi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak KPPPA pada tanggal 12 September 2019, dan pembahasan draft RUU Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tingkat dua dan pengesahan dalam sidang paripurna pada 16 September 2019.

Sekjed KPI, Dian Kartikasari mencatat bahwa dukungan juga dilakukan dari sebagian besar fraksi dengan posisi 10 fraksi yang mempunyai pandangan yang beragam atas batas usia perkawinan, dimana komposisi 8 fraksi menyetujui menaikkan usia perkawinan bagi perempuan adalah 19 tahun disamakan dengan laki-laki, dengan pertimbangan catatan yaitu harus disertai upaya-upaya yang lebih strategis, diantaranya sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat.

“Sedangkan terdapat 2 fraksi yang menyetujui menaikkan batas usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, dan laki-laki menjadi 18 tahun,” ujar Dian Kartikasari.

Hal lain yang menjadi kesepakatan adalah usulan perubahan tidak hanya pada Pasal 7 ayat (1), namun juga Pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa kewenangan pemberian dispensasi hanya diberikan kepada Pengadilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, dan menghapuskan frasa “pejabat lain”, karena akan menimbulkan multi tafsir Dispensasi juga hanya dapat diajukan bila ada alasan mendesak disertai bukti-bukti yang cukup. Selanjutnya pemberian dispensasi oleh Pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai.

“Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktek perkawinan paksa serta sekaligus untuk menerapkan hak partisipasi anak, dimana pendapat anak harus didengarkan bila berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kehidupannya.”

Dari sinilah kemudian ada hasil kesepakatan dalam Rapat Baleg atas pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan 
wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun.

(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap
ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alas an sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang
atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Koalisi Perempuan Indonesia dan Koalisi 18+ berharap dengan adanya perubahan UU Perkawinan terkait batas usia dapat menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia dan menghentikan perkawinan anak serta menghasilkan generasi emas yang terbebas dari stunting. Ke depan, diharapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KPPPA segera menyusun peta jalan dan strategi nasional penghapusan perkawinan anak sebagai implementasi perubahan UU Perkawinan ini.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!