Argumentasi 2 Aksi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Perempuan Membutuhkan Perlindungan

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU- PKS) yang sudah berjalan selama tiga tahun, tidak kunjung juga disahkan.

Lambatnya pengesahan RUU P-KS membuat sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Mayarakat Sipil (GEMAS) turun ke jalan untuk melakukan aksi.

Hal yang sama juga dilakukan para aktivis perempuan yang tergabung dalam KAMMI dan Aliansi Cerahkan Negeri yang sama-sama melakukan aksi turun ke jalan pada saat yang sama. Mereka berargumen membutuhkan perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual namun ada sejumlah substansi yang tidak mereka setujui dari RUU PKS ini.

Aksi GEMAS Menuntut Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Pada 17 September 2019 kemarin, Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) yang terdiri dari puluhan organisasi berkumpul di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta. Mereka mendesak agar DPR segera mengesahkan RUU- PKS karena RUU ini sangat penting bagi para korban kekerasan seksual yang terus berjatuhan setiap harinya.

Berdasarkan data dari Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik tahun 2018, terjadi kekerasan seksual sebanyak 21.310 kasus selama tahun 2014 sampai 2017. Rata-rata terjadi 5327 kasus setiap tahunnya. Selama tiga tahun pembahasan RUU P-KS di DPR setidaknya sudah terjadi 16.943 kasus kekerasan seksual yang dicatat oleh Komnas Perempuan.

Tidak sampai 5% dari jumlah itu yang diproses pengadilan. GEMAS mendesak DPR agar tetap mempertahankan 6 elemen kunci RUU P-KS yaitu 9 tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana, dan pemantauan.

“DPR mengusulkan pengesahan RUU- PKS menunggu RKUHP, tapi RKUHP saja hanya mencakup dua bentuk kekerasan seksual yaitu pencabulan dan perkosaan seksual sehingga sisanya tidak bisa diakomodir. Kita berharap agar segera ada pemulihan bagi korban dan penghukuman bagi pelaku”, ujar Veni Siregar perwakilan GEMAS.

Menurut Veni Siregar, lambatnya pengesahan RUU-PKS disebabkan karena terjadi polarisasi di Komisi 8 DPR.

“Mereka yang mayoritas laki-laki menolak mengesahkan RUU ini karena merasa terancam jika RUU ini disahkan”, imbuhnya.

Aksi Lain Butuh Perlindungan Terhadap Perempuan

Bersamaan dengan aksi GEMAS yang mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU-PKS, datang juga massa lain yang mengatsanamakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Aliansi Cerahkan Negeri, mereka menolak RUU-PKS karena beberapa substansi yang tidak mereka setujui.

Penolakan ini bukan karena kelompok ini tidak melindungi perempuan. Mereka ingin ada perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan, namun mereka tidak sepakat dengan substansi RUU-PKS. Hal ini terpapar dalam pertemuan antara dua kelompok aktivis KAMMI dan GEMAS dalam pertemuan dengan sejumlah anggota DPR RI di sela-sela aksi.

Menurut KAMMI, RUU-PKS memuat pemahaman yang mendukung terjadinya perzinahan, pelacuran, dan penyimpangan seksual termasuk Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), predator anak, inses dan berhubungan seksual dengan hewan.

Hana dari Aliansi Cerahkan Negeri mengatakan bahwa banyak pasal di dalam RUU PKS yang bermasalah. Bahkan secara definisipun menurut mereka RUU-PKS ini bermasalah.

“Kami sudah berkali-kali meminta revisi. Meskipun sudah direvisi namun tidak menghilangkan ruh dari pasal-pasal yang bermasalah.”

Namun ketika ditanya tentang pasal-pasal mana saja yang menurutnya bermasalah, Hana menolak untuk menjawab.

Massa yang membawa bendera Aliansi Cerahkan Negari dan KAMMI ini datang bersama mobil komando dengan spanduk bertuliskan “Tolak RUU P-KS dan Waspada RKUHP! Jangan Lecehkan Pancasila!!!”

Merespon tudingan RUU P-KS pro-zina, LGBT dan tuduhan lainnya, Veni Siregar menegaskan bahwa itu merupakan berita bohong. Tuduhan itu tidak bisa dibuktikan. Selama ini memang telah terjadi penyebaran fitnah yang sistematis dan meluas dalam bentuk propaganda yang membelokkan substansi dari RUU P-KS dalam bentuk ujaran-ujaran yang negatif dan penuh kebencian.

Awal tahun 2019 misalnya, beredar di sosial media yang menuduh secara ekstrim bahwa RUU P-KS itu pro zina dan LGBT, dua kata yang menghasut publik untuk menolak pengesahan RUU tersebut. Saat ini, tuduhan itu diperluas menjadi lebih ekstrim lagi, bahwa RUU P-KS dituduh sebagai semangat kebebasan seksual yang diusung kelompok feminis untuk membuka pintu-pintu kemaksiatan, dan pelecehan terhadap syariat Islam dan Pancasila.

Veni Siregar dari GEMAS yang mewakili Forum Pengada Layanan/ FPL menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan tersebut tentu saja sangat melukai hati korban, membuat banyak orang ketakutan, bahkan lebih menakutkan dari kasus kekerasan seksual itu sendiri. Dampak fitnah tersebut, banyak orang menolak pengesahan RUU P-KS tersebut.

Sepanjang tahun ini, sejalan dengan Kemenkominfo dan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak atau KPPPA, GEMAS terus melakukan klarifikasi untuk meluruskan pandangan negatif yang ekstrim tersebut antara lain bahwa RUU P-KS dibentuk dan dibangun oleh sejumlah kelompok pendamping korban kekerasan seksual yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah

“Tuduhan itu tidak tepat. Tidak mungkin negara melegalkan zina dan LGBT dalam undang-undang yang diusulkan ke DPR”.

Dalam hal klarifikasi yang telah dilakukan tersebut, berbagai organisasi perempuan yang mendampingi korban kekerasan seksual dalam GEMAS telah membuka diri untuk melakukan dialog dan meluruskan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat.

Namun upaya tersebut belum dipedulikan, justru pihak-pihak yang menolak RUU tersebut terkesan masih menolak tawaran dialog yang ditawarkan. Upaya-upaya terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa RUU PKS tidak bertentangan dengan agama, moral dan lain sebagainya. Justru pelaku kekerasan seksual lah yang seharusnya ditakuti dan bila tidak segera disahkan maka predator seksual akan bebas mencari korban-korban berikutnya.

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!