Film-Film Perempuan Masuk Nominasi Festival Film Dokumenter 2019

Festival Film Dokumenter selalu mencoba mengangkat isu-isu sosial yang faktual sebagai fokus utama festival, sebagai jembatan antara pembuat film dokumenter, pembuat film profesional, dan khalayak yang lebih luas, dengan tujuan peningkatan kualitas dan kuantitas film dokumenter di Indonesia.

Jakarta, Konde.co- Festival Film Dokumenter (FFD), sebuah festival film dokumenter pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang berfokus pada pengembangan dokumenter sebagai medium ekspresi dan ekosistem pengetahuan, kembali digelar pada 1-7 Desember 2019.

Sejumlah film yang menceritakan tentang kehidupan para perempuan masuk dalam nominasi berbagai kategori festival. Film-film tersebut antaralain Film “Perempuan Tana Humba” karya Lasja Susatyo, “Tonotwiyat atau Hutan Perempuan” karya Yulika Anastasia Indrawati, “Silvia” karya Maria Silvia Esteve.

Film “More than Work” yang bercerita tentang potret buram tubuh perempuan di media karya Luviana dan diproduksi Konde Production didukung www.konde.co yang mendapatkan dana hibah Cipta Media Ekspresi dari Ford Foundation dan Wikimedia juga masuk dalam nominasi kategori film dokumenter pendek festival.

Hutan Perempuan berkisah tentang perempuan-perempuan Enggros yang mempertahakan tradisi mencari nafkah dalam mengandalkan kekayaan alam dari hutan perempuan, dimana kawasan ini terlarang untuk laki-laki. Sedangkan Perempuan Tana Humba bercerita tentang nilai tukar perempuan yang dikenal dengan belis. Film bercerita tentang pusaran modernitas dan adat bagi perempuan.

Di tahun 2019, FFD menerima 286 film yang kemudian diseleksi hingga terpilih 26 film yang masuk dalam nominasi film dokumenter. Film dokumenter tersebut dibagi dalam 4 kategori yaitu kategori film dokumenter panjang Indonesia, film dokumenter panjang internasional, film dokumenter pendek dan kategori film dokumenter pelajar.

Beberapa film yang masuk nominasi penghargaan antaralain:

A. Kategori Film Pelajar

1. Tambang Pasir (Sekar Ayu Kinanti)

2. Pasur atau Pasar Sepur (Sarah Salsabila)

3. Orang-Orang Tionghoa (Icha Feby)

4. Seandainya (Diva Suki Larasati)

5. Bangkit (Farchany Nashrulloh)

6. Ngalih Pejalai Antu- Ritual Dayak Iban (Kynan Tegar)

B. Kategori Film Pendek

1. More than Work (Luviana)

2. Luar Biasa (Erika Dyah)

3. Irama Betawi (Ibrahim Hanif)

4. Perempuan Tana Humba (Lasja F. Susatyo)

5. Sujud (Pahlawan Bimantara)

6. Diary of Cattle (Lidia Afrilita, David Darmadi)

7. A Dauhther’s Memory (Kartika Pratiwi)

8. Cipto Rupo (Catur Panggih Raharjo)

C. Kategori Film Kompetisi Panjang Indonesia

1. Tonotwiyat/ Hutan Perempuan (Yulika Anastasia Indrawati)

2. Om Pius,”Ini Rumah Saya, Come the Sleeping.” (Halaman Papua)

3. Kodok Rabi Peri (Bani Nasution)

4. 240BPM++ (Bagas Oktariyan Ananta)

D. Kategori Film Panjang Internasional

1. My Lone Father (Clement Schneider)

2. A Donkey Called Geronimo (Bigna Tomscin, Arjun Talwar)

3. Silvia (Maria Silvia Esteve)

4. Sankara is Not Dead (Lucie Viver)

5. Taking Place (Jeremy Gravayat)

6. Lemebel (Joanna Reposi)

7. Last Night I Saw you Smiling (Kavich Neang)

8. The Future Cries Beneath Our Soil (Hang Pham Thu)

Sejumlah film dokumenter lain bercerita tentang perjalanan masyarakat dan gerakan sosial, seperti film “Lemebel” bercerita tentang penulis, perupa dan pelopor gerakan Queer Amerika Latin khususnya di Chili di tahun 1980 yang mengguncang masyarakat konservatif di rezim Pinochet yang terkenal sebagai diktator.

Sedangkan film “Last Night I Saw You Smiling” bercerita tentang kejadian traumatis di White Building di Phnom Penh di bawah rezim radikal, masa kebangkitan dan perkembangan kapitalisme yang mengarah pada kehancuran.

Film lain seperti film “Diary of Cattle” bercerita tentang kehidupan sapi yang tak mudah tinggal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Dalam website ffd.or.id dijelaskan bahwa FFD sejak tahun 2002 telah menyajikan program kompetisi film yang merepresentasikan film-film yang mampu menangkap isu-isu aktual di sekitar kita dan mampu memberikan perspektif kritis terhadap isu tersebut.

Terdapat ciri khas film dokumenter di FFD yang membedakannya dari produk audiovisual lainnya, yaitu sebuah kekuatan signifikan sebagai media yang mencerdaskan, reflektif, dan dapat melewati batas-batas ruang dan waktu. Di tengah arus media masa yang demikian deras, film dokumenter memiliki peran penting sebagai media aspirasi yang mandiri.

Pada perhelatan rutinnya tiap tahun di bulan Desember, Festival Film Dokumenter selalu mencoba mengangkat isu-isu sosial yang faktual sebagai fokus utama festival, sebagai jembatan antara pembuat film dokumenter, pembuat film profesional, dan khalayak yang lebih luas, dengan tujuan peningkatan kualitas dan kuantitas film dokumenter di Indonesia.

Festival yang akan digelar di Lembaga Indonesia Perancis, Taman Budaya dan Kedai Kebun di Jogjakarta ini akan diwarnai dengan pemutaran film serta pemberian penghargaaan pada 1 Desember dan ditutup pada 7 Desember 2019.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!