Iklan Properti tentang Janda, Sensasional dan Mengolok Tubuh Perempuan

Sebuah iklan properti berjudul “ Beli Rumah Bonus Dapat Janda Muda” salah satu pengembang rumah di Depok yang beredar pada bulan Oktober 2019 menjadi perbincangan di media.

*Meera Malik dan Luviana- www.Konde.co

Iklan ini menjadikan janda muda sebagai bagian dari iklan atau peruntungan. Sadisnya lagi, menjadikan janda sebagai barang jualan.

Di tempat yang lain di Jogjakarta, saya juga pernah membaca iklan properti yang ditempel di sebuah rumah di daerah Sleman berjudul “Dijual Rumah, bisa Hubungi No. Telp Berikut ini, Mendapatkan Bonus Janda”.

Terminologi perempuan berstatus janda, tidak hanya diidentikkan sebagai barang dagangan, tetapi juga identik sebagai perempuan yang tidak laku, maka harus diperjualbelikan. Ini tidak hanya semakin menstigmasisasi perempuan janda sebagai orang yang tidak laku, tetapi juga semakin melanggengkan mitos bahasa soal janda.

Iklan ini juga melakukan sensasionalisme bahasa untuk tujuan personal yang justru memperolok tubuh perempuan. Kepentingan kapital yang mengorbankan tubuh perempuan.

Apa yang salah dengan janda? Mengapa tubuh janda selalu dicemooh sebagai tubuh yang salah? Seolah sebagai tubuh yang tidak utuh dan tidak begitu dibutuhkan, makanya layak diperjualbelikan, dijadikan bonus dalam pembelian properti?

Apa yang terjadi dengan pemilik dan pembuat iklan properti ini, adalah yang terjadi pada kepala orang-orang yang patriarki yang menilai buruk tentang janda.

Dalam sebuah wawancara yang tayang di kompas.com (17/10/2019), salah satu direktur utama pengembang properti yang membuat iklan tersebut mengaku bahwa kata “janda muda” hanyalah marketing gimmick saja, bukan dalam arti sebenarnya.

Kata “janda” dieksploitasi, dijadikan gimmick bonus pembelian properti, ini sungguh sebuah bentuk promosi yang tidak peka isu sosial dan murahan. Iklan apa pun, tidak seharusnya melecehkan siapa pun. Terlebih, melecehkan kelompok minoritas seperti janda.

Dalam konsep feminisme, hanya dikenal istilah single mother. Single mother ini bisa terjadi pada siapa saja, apakah ia sebelumnya mempunyai pasangan atau tidak. Konsep single mother merujuk pada konsep bagaimana perempuan mengepalai sebuah rumah tangga. Konsep feminisme menggarisbawahi problem yang dialami perempuan seperti ia harus mengelola keuangan rumah tangga, mengurus anak hingga menghasilkan pendapatan yang cukup. Dalam feminisme tertulis, yang menjadi single mother umumnya adalah perempuan hebat yang mempunyai kekuatan maternal.

Dalam terminologi feminisme, single mother ini juga bisa terjadi pada siapa saja. Pada perempuan yang sudah bercerai dengan suaminya, atau pada perempuan yang memilih tidak menikah lalu mengadopsi anak, atau perempuan yang harus mengurus anak saudaranya. Di Indonesia, orang lebih memilih menggunakan istilah janda dengan segala atribut stigma di dalamnya.

Aktivis perempuan, Ika Ariyani pernah menuliskan tentang berbagai stigma di balik sebutan janda ini. Di Indonesia, istilah janda rasanya selalu dianggap negatif. Tidak peduli apa penyebabnya seseorang menjadi janda, tetap saja kesannya buruk. Istilah janda populer dengan embel-embel ‘janda gatal’, ‘janda perebut suami orang.’ Seorang janda dianggap kalau ia semestinya menikah dengan duda atau hidup sendiri saja, karena seorang janda yang menikah dengan bujangan adalah hal yang merugikan bagi laki-laki.

Berbeda dengan duda. Duda seperti punya kelas yang lebih baik dibandingkan janda. Duda dianggap laki-laki yang dewasa, ngemong, sudah mapan dan masih tampan. Istilah duda populer dengan sebutan ‘duren’ duda keren.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah janda dan duda memiliki arti yang persis sama, yaitu wanita/pria yang tidak bersuami/beristri lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati oleh suami/istrinya. Menurut saya, netral saja sebetulnya. Namun, perspektif sosial menempatkan nilai status duda lebih tinggi dibandingkan status janda.

Beberapa iklan properti tersebut jelas mengidentifikasi bagaimana persepsi patriarki selama ini pada janda. Hal-hal seperti ini harus dilawan, karena jika dibiarkan, ini tidak hanya melakukan sensasionalisme pada tubuh perempuan, tetapi semakin memperkuat stigma janda secara sosial.

(Foto/ Ilustrasi 1: Pixabay)

(Foto 2: kompas.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!