Payudara dan Stigmatisasi Tubuh Perempuan: Perjuangan Pasien Kanker

Payudara merupakan bagian tubuh perempuan yang dalam berbagai tulisan dan perbincangan, sering menjadi bagian yang mendapat puja-puji, tetapi dianggap tabu dan dieksploitasi. 

Konde.co- Meema Spadola (1998) seorang trainer dan pemerhati bidang laktasi dan parenting Amerika Serikat menyebut payudara perempuan sebagai “bagian perempuan yang paling umum dan pribadi”.

Namun faktanya, kesehatan payudara memiliki risiko tinggi. Seperti kanker payudara, kasus kanker yang paling banyak terjadi di Indonesia. Mayoritas pengidapnya adalah perempuan.

Bagi perempuan, ketika mendapat diagnosis kanker payudara tentu akan mengalami fase stres, karena timbul kecemasan yang signifikan terkait menurunnya kualitas hidup hingga ancaman kelangsungan hidup. Hal ini wajar, karena pasca-seseorang didiagnosis kanker payudara, berbagai prosedur perawatan dan pengobatan harus dijalani pengidap kanker payudara.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknik pengobatan kanker payudara, selain metode bedah, telah berkembang berbagai metode pengobatan kanker mulai dari kemoterapi, terapi hormon, terapi target, radioterapi, dan baru-baru ini sedang dikembangkan metode imunoterapi.

Secara signifikan, perkembangan teknik pengobatan tersebut memperbesar harapan hidup para pasiennya.

Banyak penelitian soal kanker menyebutkan, bahwa kasus kanker payudara secara global memang memiliki tingkat insiden atau kejadian yang cukup tinggi, tetapi sekaligus memiliki tingkat survival atau harapan hidup bagi pasien yang juga tinggi. Hal ini didukung oleh keberhasilan deteksi dini kanker payudara di berbagai negara, di mana 2 dari 3 penemuan kasus kanker payudara ada di stadium awal.

Berbanding terbalik dengan kasus kanker payudara di Indonesia. Dalam sebuah wawancara dengan Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk baru-baru ini, menyebutkan bahwa kasus kanker payudara di Indonesia dalam kurun waktu 2-3 dekade belakangan ini, kurang menunjukkan kemajuan yang menggembirakan.

Pasalnya, kurang lebih 2/3 dari kasus kanker payudara justru didominasi pengidap kanker payudara stadium 3 dan 4.

“Di Indonesia sampai sekarang, nggak tahu kenapa 20-30 tahun ini masih stadium 3 dan 4 yang masih tinggi. Sementara orang di luar sana, sebagian besar status kankernya itu stadiumnya awal sehingga angka survival-nya tinggi, deteksi dan penanganannya cepat. Jadi orang di luar sana sudah berpikir bagaimana bisa memperpanjang hidup untuk kasus kanker stadium lanjut,” ujarnya.

Ia menambahkan salah satu faktor penyebab mayoritas kasus kanker payudara di Indonesia ditemukan pada stadium lanjut, karena masih ada pasien kanker payudara yang menolak atau menunda prosedur perawatan dan pengobatan. Inilah kondisi di mana perempuan yang terdiagnosis kanker payudara mengalami fase reaksi emosional mulai dari denial (penolakan), ragu-ragu, depresi, hingga sampai pada tahap mengambil keputusan mengenai tindakan apa yang akan diambil pasca-diagnosis kanker payudara.

Bayang-bayang akan kehilangan payudara tentu menjadi momok yang mengerikan bagi perempuan pengidap kanker payudara. Citra bagian tubuh ini masih melekat begitu kuat dengan identitas gender perempuan, sehingga kemungkinan kehilangan payudara cenderung membentuk citra tubuh yang tidak sempurna. Perasaan minder hingga ketakutan penolakan dari pasangan pun akan muncul.

Minimnya edukasi yang tepat terkait deteksi dini dan rangkaian pengobatan kanker payudara menjadi akar permasalahan dari ketakutan-ketakutan yang muncul di benak pengidap kanker payudara.

Selain itu, stigmatisasi citra tubuh perempuan sering memperparah keyakinan pasien pengidap kanker payudara terhadap harapan hidup ketika memilih untuk menjalani perawatan dan pengobatan.

Diagnosis kanker bukan berarti vonis mati. Asalkan mawas pada diri sendiri dengan deteksi dini akan memperbesar peluang sintas dari kanker payudara.

Sejumlah artis perempuan adalah para penyintas kanker payudara yang berhasil sembuh dan melewati serangkaian proses terapi pengobatan. Selain itu, penelitian dan pengembangan metode pengobatan baru terus dilakukan. Salah satunya adalah metode imunoterapi.

Perawatan Kanker Payudara dengan Imunoterapi: Sebuah Peluang?

Beberapa tahun belakangan ini, istilah imunoterapi cukup ramai menjadi perbincangan, khususnya di kalangan pemerhati kesehatan dan kanker. Imunoterapi merupakan pengobatan yang menggunakan bagian tertentu dari sistem kekebalan tubuh seseorang untuk melawan kanker dengan cara merangsang sistem kekebalan untuk bekerja lebih keras atau lebih pintar untuk menyerang sel kanker, dengan memberikan semacam protein.

Metode imunoterapi untuk pengobatan kanker payudara di Indonesia sendiri sedang dikembangkan. Sama seperti metode pengobatan kanker payudara lainnya, metode pengobatan imunoterapi hanya cocok digunakan pada jenis kanker dengan tipe tertentu.

Dalam kasus kanker payudara, dari tiga subtipe utama hanya tipe kanker payudara triple-negative yang paling cocok dengan metode pengobatan imunoterapi. Sementara untuk tipe ER dan HER-2 kurang cocok.Semakin banyak pengembangan metode pengobatan kanker payudara, peluang sembuh total serta memperpanjang harapan hidup bagi pasien kanker payudara semakin besar.

“Pengobatan kanker itu nomor satu tetap bedah. Kalau dulu orang melihat operasi itu cukup. Kemudian seiring dengan perkembangan penelitian kanker, ternyata operasi saja tidak cukup ketika sel kankernya sudah masuk ke dalam aliran darah. Nah, itu harus dikejar dengan metode pengobatan yang namanya sistemik terapi. Mulailah dari kemoterapi, hormonal therapy, targeted therapy, sekarang immunotherapy,” jelas dr. Walta Gautama.

Ia menambahkan, tantangan dari perkembangan metode pengobatan imunoterapi untuk kanker payudara di Indonesia adalah pemeriksaan marker dari sel kanker untuk menentukan tipe kanker payudara tersebut. Sehingga bisa lebih tepat dalam memilih metode pengobatan kanker  yang efisien mengobati kanker payudara.

Namun secara prinsip, penanganan kanker payudara akan lebih maksimal dengan deteksi dini baik melalui pemeriksaan payudara sendiri maupun pemeriksaan medis.

Pendampingan dan dukungan dari pasangan, keluarga dan rekan sangat penting untuk memberikan keyakinan terhadap pasien agar mau mengikuti prosedur perawatan dan pengobatan hingga tuntas.

Hal itu juga akan lebih mudah dilakukan jika stigma terhadap citra tubuh perempuan bisa diubah dan lebih mengedepankan aspek kesehatan perempuan khususnya pengidap kanker payudara.

Sumber :

Wawancara dr. Walta Gautama, dokter spesialis bedah onkologi Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0131305

https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf

(Ilustrasi/ Foto: Pixabay)

Nunu Pradya Lestari

Penulis dan aktif di jaringan nasional perburuhan. Nunu merupakan lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!