Perempuan Pekerja Garmen, Bagaimana Bertahan Hidup Hingga Kematian yang Dirasa

“Cerita tak bahagia dari buruh perempuan sudah sering saya dengar dari pabrik. Namun, cerita yang ini dari Irfa, sahabat saya ketika kami kecil. Irfa, telah bekerja untuk bertahan hidup hingga berakhir dengan kelelahan.”

*Khamid Istakhori- www.Konde.co

Konde.co- Namanya Irfa, ia perempuan berusia 29 tahun. Buruh perempuan pada pabrik garmen di kota kecil, Temanggung; di Jawa Tengah itu bertetangga dengan Ibuku.

Saya mengenal bagaimana Irfa kecil lahir, tumbuh dalam masa kanak-kanak, bersekolah, dan kemudian menikah. Lalu, saya mendapatkan banyak cerita dari adik saya, yang juga bekerja sebagai buruh pada pabrik yang sama.

Cerita di pabrik itu, tentu saja tak bahagia. Berangkat ketika matahari belum nampak dan pulang ketika matahari juga tak nampak. 12 jam, bahkan lebih dalam sehari. Beban kerjanya tak usah ditanya, kurang istirahat, kurang minum, dan segudang duka lainnya. Kontraknya diperbarui setiap dua tahun, kalau kurang beruntung diputus semaunya mandor, atas perintah bos besar.

Alasannya bermacam rupa. Bisa karena dianggap malas, bisa karena dianggap tidak produktif, bisa juga karena alasan lainnya. Alasan lainnya ini juga macam-macam, misalnya buruh mulai banyak bertanya dan banyak mengeluhkan kerja yang sangat berat. Lalu, bisa dibungkus dengan alasan klasik: order berkurang. Lingkaran setannya, ada di situ-situ saja. Lalu diputus kontraklah si buruh. Rasanya ini seperti lingkaran setan dalam relasi buruh dan majikan.

Buruh-buruh perempuan di pabrik garmen itu, tak punya kuasa dan daya. Pernah beberapa kali, saya mendengar  mereka saling berkeluh kesah, lalu sekali  dua kali saya menimpali. Tapi, buru-buru mereka mencegah ketika saya ketika saya mulai berkomentar lebih jauh. Mereka tahu, saya terlibat aktif dalam berbagai advokasi buruh di serikat-serikat pekerja, mereka tak mau diadvokasi. Lebih tepatnya, tak mau kehilangan pekerjaan.

“Biarlah, upah kecil, yang penting ada hasil,” timpal mereka.

Cerita itu, berlalu terus-menerus. Setiap saya pulang ke Temanggung, setiap saya bertelepon ke rumah Ibu, atau berbagi kabar dengan mereka, ceritanya selalu sama. Tapi, tak berdaya. Sama, saya juga tak berdaya.

Lalu, melalui cerita mereka, saya menemukan semacam refleksi kisah. Orang-orang itu, tak mau berjuang bukan karena tak mau berubah nasibnya, tapi karena ketakutan kehilangan pekerjaan. Pekerjaan adalah hal penting bagi buruh, karena dengan bekerja mereka bisa hidup. Jika tak bekerja, darimana mereka bisa bertahan hidup?

Hari ini, 2 Januari 2020, jam 21:06, ketika hujan baru saja menyapu pepohonan di pelataran rumah, sebuah pesan di WhatsApp masuk. Dari adik saya di Temanggung: Irfa meninggal. Saya lemas, meletakkan handphone, dan tak mampu berkata-kata lagi. Hanya bergumam, entah apa. Seperti tertampar, terlempar, terhempas. Tak berdaya. Benar-benar tak berdaya!

Saya mengingat, beberapa hari sebelumnya, pada Sabtu sore, saya mendengar kabar bahwa bayi Irfa telah meninggal, tak lama setelah dilahirkan.

Pada adik saya, saya bertanya, apakah Irfa masih bekerja ketika hamil? tak ada cuti? tak cukup istirahat? pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip ‘interogasi.’

Semua jawaban, membuat saya miris. Saya menduga-duga, salah satu faktornya kelelahan tentu menjadi penyebabnya. Kesehatan reproduksi bagi perempuan di pabrik garmen dan pabrik lainnya menjadi barang langka. Sesudah cuti haid dihalangi, cuti melahirkan juga tak lagi berharga.

Lalu, sesudah ini apa? sungguh, ini adalah pekerjaan rumah kita semua, pekerjaan rumah yang bertambah banyak untuk menyelesaikan persoalan buruh perempuan.

Saya teringat Irfa, teringat Maimunah, teringat Marsinah, banyak perempuan yang telah berkorban, menjadi buruh, sebagai tulang punggung keluarga, sebagai alas kaki dunia.

Selamat jalan Irfa, maafkan kami yang selalu tak berdaya membelamu, memperjuangkan nasibmu.

Jakarta, 3 Januari 2020, 00:31. Duka buat Irfa.

(Foto/ Ilsutrasi: Pixabay)



*Khamid Istakhori, aktivis buruh asal Temanggung, Jawa Tengah. Bekerja untuk advokasi nasional perburuhan sejak bekerja di pabrik hingga kini. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!