Razia LGBT Walikota Depok Merupakan Tindakan Pelecehan dan Diskriminatif terhadap LGBT

“Imbauan Walikota Depok yang akan melakukan razia terhadap kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) merupakan tindakan diskriminatif. Komnas HAM melayangkan surat kepada Walikota Depok, Idris Abdusshomad untuk meminta pembatalan kebijakan serta meminta agar LGBT selalu mendapatkan perlindungan hidup. Amnesty Internasional Indonesia menyatakan bahwa menyukai hubungan sesama jenis bukanlah kejahatan, jadi razia dengan kebencian terhadap LGBT tidak pernah bisa dibenarkan.”

Poedjiati Tan- www.Konde.co

Depok, Konde.co- Komnas HAM merespon cepat imbauan Wali Kota Depok,  Idris Abdusshomad yang akan melakukan razia terhadap aktivitas kelompok LGBT.

Juga soal Walikota Depok yang akan membentuk crisis center khusus korban yang terdampak LGBT. Upaya tersebut dinilai sebagai tindakan diskriminatif.

Pada tanggal 10 Januari 2020, Walikota Depok, Mohammad Idris, meminta jajaran di bawahnya, termasuk Satpol PP, untuk merazia penghuni tempat tinggal sewaan, baik kontrakan, apartemen maupun kos-kosan sebagai upaya untuk menghentikan  apa yang disebutnya sebagai tindakan asusila.

Ia menyebut rencananya itu sebagai upaya pencegahan terhadap penyebaran LGBT di kota Depok. Idris mengatakan ia melakukan langkah tersebut menyusul terungkapnya kasus WNI pemerkosa yang dipenjarakan di Inggris, Reynhard Sinaga, awal bulan Januari 2020.

Komnas HAM melayangkan surat kepada Wali Kota Depok untuk meminta pembatalan kebijakan serta permintaan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender tersebut.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara pada 13 Januari 2020 dinyatakan, imbauan tersebut bertentangan dengan dasar negara Indonesia, UUD 1945.

“Benar Komnas HAM telah melayangkan surat meminta pembatalan kebijakan kepada Walikota Depok,” kata Beka Ulung Hapsara yang dihubungi Konde.co pada 14 Januari 2020.

Pasal yang dimaksud, yaitu pasal UUD 1945 Pasal 28G ayai 1 dimana setiap orang harus mendapatkan perlindungan pribadi, berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman ketakutan.

Terlebih Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit  bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Instrumen HAM lainnya yang menjamin pemenuhan hak atas kebebasan ialah Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Imbauan tersebut menurut pernyataan Komnas HAM juga mencederai Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 17 yang menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.

Hal lain yang dicermati oleh Komnas HAM, terkait kewajiban lembaga negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia semua warga negara termasuk kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender.

Penguatan bagi pemerintah daerah tentang perlindungan terhadap hak-hak hidup warganya dipertegas dalam lingkup kebijakan nasional.

Terlebih pada 17 Oktober 2019, Indonesia terpilih menjadi Anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022 sehingga mekanisme kerja yang dibangun oleh setiap lembaga negara termasuk Pemerintah Kota Depok wajib berbasis pada prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.

Sebelumnya, dari sisi dunia kesehatan, Badan Kesehatan Dunia ,WHO atau World Health Organization pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiawaan. Ketentuan dari WHO ini diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ atau Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III tahun 1993 yang menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.

“Berdasarkan pertimbangan ini, Komnas HAM meminta Pemerintah Kota Depok untuk membatalkan imbauan tersebut dan memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender (LBGT) dari tindakan diskriminasi dan kekerasan,” ujar Beka Ulung Hapsara.

Komnas HAM juga meminta kepada Presiden Jokowi melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan daerah sehingga kebijakan yang diskriminatif, merendahkan harkat dan martabat manusia serta membuka potensi terjadinya persekusi dan tindakan melawan hukum lainnya tidak lahir.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengatakan bahwa himbauan berbau prasangka dan kebencian terhadap warga masyarakat LGBT ini harus dihentikan.

“Menyukai hubungan sesama jenis itu bukanlah kejahatan dan razia penuh kebencian terhadap mereka tidak bisa dibenarkan. Di bawah hukum nasional maupun internasional, razia semacam itu justru mencerminkan perlakuan kejam, tak manusiawi dan merendahkan martabat mereka sebagai manusia.”

Amnesty melihat bahwa ini menunjukkan pemerintah yang mempermalukan warganya sendiri hanya karena mereka dianggap pelaku hubungan sesama jenis, dan menyalahgunakan aturan yang terkait dengan ketertiban umum untuk melecehkan kelompok LGBT.

“Pemerintah Indonesia juga harus mencabut semua aturan yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi kelompok minoritas gender dan orientasi seksual tertentu. RKUHP juga harus mencegah diterbitkannya aturan-aturan semacam itu.”

Aktivis Arus Pelangi, Riska Carolina mendata bahwa sampai tahun 2019, terdapat 45 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap LGBT. Selain itu ada 17 kali perlakuan persekusi yang selama tahun 2019 menimpa mereka. 



“Pokoknya kami dianggap bukan manusia, di sosial media kami menjadi bulan-bulanan. Padahal jika tidak setuju dengan LGBT, tidak apa-apa, tapi tolong hormati kami sebagai manusia. Jangan menyebabkan kami semakin menderita,” kata Riska Carolina dalam acara seminar HAM dan media, 10 Desember 2019.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!