Apa yang Salah Jika Saya Menjadi Feminis di Usia 17?

*Lala Firda- www.Konde.co

Konde.co- Menjadi feminis di usia 17 adalah sesuatu yang langka yang saya jumpai di masa lalu. Tapi saya sudah melihat gelagat itu pada Vina, sebut saja namanya demikian.

Vina terlihat berbeda dari anak-anak seusia kami. Ia senang membaca, bukunya juga buku-buku keren.

Ketika saya nonton Film “Little Women” beberapa hari lalu, saya langsung teringat Vina. Vina sudah baca buku “Little Women”nya Louisa May Alcott pada umur kami yang ke-17 tahun. Ia mengingatkan saya pada sosok Jo, anak kedua dalam keluarga March yang ingin punya dunia sendiri, tak mau menikah karena akan kehilangan kebebasannya.

Ia juga membaca “Dunia Sophie”, buku novel filsafat karya Jostein Gaarder yang benar-benar keren dan mengingatkan saya bahwa semua perempuan di dunia punya ruang-ruang dan pilihan hidup yang beda, seluas dunianya sophie.

Buku-buku ini ditentengnya setelah ia mengembalikan buku Habis Gelap Terbitlah Terang tulisan Kartini.

“Nih, baca. Buku bagus, kamu mesti baca. Dunia tak selebar daun kelor,” bisiknya ketika kami ketemu di perpustakaan sekolah.

Kami cocok satu sama lain, apalagi rumah saya sejalan, jadi pulang sekolah selalu bareng. Sejak itulah setap malam minggu selalu kami habiskan di toko buku. Sepulang sekolah, kami baca banyak buku di toko buku, dan pulangnya cuma membeli satu. Maklum, masih pelajar, uang juga pas-pasan.

Vina sangat mengidolakan sosok Jo di buku Little Women. Jo memang sosok yang menggairahkan. Ia tak pernah putus asa dan sedih. Dunia yang ia pengin, juga ia bentuk sendiri.

“Lagipula Jo ini gak mau menikah, beda khan sama teman-teman kita yang sibuk mencari pacar,” ujar Vina tenang.

Sibuk mencari pacar adalah kalimat yang sering kami dengar dari teman-teman. Sayapun bosan karena obrolan teman-teman tak pernah beranjak dari pacar-pacar. Seolah-olah status punya pacar ini seperti maha penting, sama pentingnya dengan jika kami bisa menguasai pelajaran matematika yang rumit atau bisa menceritakan sejarah Indonesia di masa kolonial.

“Siapa pacar kamu?”

“Duh, belum punya pacar ya?”

“Malam minggu besok kamu kemana?”

“Kog di rumah saja malam minggunya? Aneh deh kamu.”

Kalimat seperti ini yang banyak membuat saya dan Vina kemudian menjadi tak nyaman. Apa salahnya jika kami menghabiskan membaca buku ketika malam minggu?

Usia 17 menjadi sesuatu yang tak mudah di masa saya dulu. Orang harus berstatus punya pacar, tak ada obrolan lain selain pacar-pacar ini. Ini pacaran sama kakak kelas, ini naksir adik kelas, mereka pergi nonton sama-sama, liburan sama-sama.

Vina kemudian lebih memilih membentuk kelompok diskusi ketika ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia mengajak saya membentuk kelompok belajar perempuan, ini cuma kelompok kecil, tapi kami senang karena ketika diskusi selalu ada yang datang.

Saya sendiri tidak begitu paham ketika Vina memilih nama kelompok kami: kelompok belajar perempuan. Malah saya mengira, kami akan belajar bahasa Inggris atau belajar kimia secara bersama-sama dalam kelompok belajar perempuan ini. Namun Vina terlihat sabar memberitahu saya akan hal-hal yang penting. Intinya kelompok ini anggotanya perempuan dan kami bisa bicara apa saja yang membuat kami tak nyaman.

Kelompok diskusi ini dibuat secara sederhana. Kami mendiskusikan buku-buku yang kami baca, mendiskusikan hal-hal yang membuat kami tak nyaman. Di kelompok inilah saya kemudian belajar banyak hal, saya belajar mengungkapkan tentang: menstuasi yang tak nyaman, pengin gak sekolah ketika menstruasi, tapi apakah boleh melakukan ini?

Saya memang banyak belajar dari Vina. Sikapnya yang percaya diri membuatnya berbeda dan punya banyak teman. Ia bisa memberikan masukan di tengah rapat, ia bisa memimpin rapat besar dan kecil. Ia selalu menjawab dan tidak ada orang lain yang tersinggung.

“Memang semua orang harus punya pacar? Enggak dong, gak bisa dipaksakan. Biarkan orang memilih, kita tidak usah usil dengan pilihan teman kita,” begitu Vina selalu menjawab.

Vina memang istimewa. Di usia 17 tahun ia sudah bisa bilang agar saya hati-hati dengan cowok, karena tak semua cowok baik, bisa saja ia meninggalkan kita dan menyeleweng misalnya, ini hal-hal yang menyakitkan dan menghabiskan energi pastinya.

Ketika saya menonton film Little Women dengan anak saya yang SMP, saya tiba-tiba teringat Vina. Kami selalu saling menelepon jika punya masalah, selalu bercerita apa saja dan sudah seperti saudara. Saat ini Vina di Belanda dan sedang menuntaskan sekolah doktornya. Ia menikah dengan orang Belanda, anaknya masih SD. Obrolannya masih seru seperti dulu.

Saya pengin menularkan semangat ke-feminis-an Vina pada anak saya. Di usia anak saya sekarang, menularkan agar perempuan tak mengikuti arus, punya pilihan sendiri, punya dunia yang tak bersekat-sekat adalah hal penting yang harus diceritakan. Biar ia tahu bahwa memilih sesuatu yang berbeda bukan merupakan kesalahan, justru ini merupakan bagian dari keberagaman .

Tulisan ini merupakan satu terimakasih saya pada Vina, yang sudah mengajak saya menjadi feminis di usia saya yang ke-17 tahun. Di masa itu.

*Lala Firda, belajar feminisme dari dulu hingga kini

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!