Bagaimana Kesenian di Indonesia Memotret LGBT?

“Banyak orang yang anti pada keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Tak sedikit yang mengatakan bahwa LGBT merupakan produk budaya barat. Ternyata anggapan ini salah besar. Ari Setiawan, seniman asal Jawa Timur memetakan konstruksi budaya LGBT dalam praktik kesenian di Indonesia”

*Muhammad Rizky- www.Konde.co

Konde.co- Sejak masa kolonial, kesenian sudah digunakan sebagai media perjuangan untuk melawan penjajahan.

Di Indonesia penggunaan kesenian ini juga dilakukan sejak zaman Kolonial Belanda ketika menduduki Indonesia. Ada kesenian yang menggambarkan tentang konstruksi yang diperankan LGBT, baik dari cara berdandan maupun berpakaian. Ini artinya bahwa budaya berkesenian yang mengikutsertakan LGBT sudah ada sejak zaman Indonesia belum lahir.

Kesenian tersebut diantaranya Gandrung Lanang di Banyuwangi dan Ronggeng Bugis di Cirebon.

Di era pascakolonial, praktik lintas gender dalam budaya Indonesia mengalami kemunduran, ini diakibatkan oleh represi agama dan moral sehingga kesenian lintas gender ini menjadi tersisih bahkan didiskriminasi.

Di era modern, mulai ada film, tari, kebudayaan tentang lintas gender, walau masih ada stigma dan diskriminasi yang mengalahkan eksistensinya, seperti yang terjadi ketika adanya penarikan film “Kucumbu Tubuh Indahku” dari peredaran. Walau dalam tahap berikutnya atas perjuangan para seniman film, film “Kucumbu Tubuh Indahku” akhirnya menjadi pemenang dalam Festival Film Indonesia 2019.

Sejarah kesenian lintas gender terbukti sudah ada sejak zaman kolonial dan digunakan untuk melawan kolonialisme dan penguasaan. Ini juga menunjukkan bahwa seni lintas gender digunakan sebagai budaya perlawanan atas penindasan.

Hari Kamis, 13 Februari 2020 berlangsung diskusi tematik dengan topik ‘Keberagaman Ekspresi Gender dan Seksualitas Dalam Budaya dan Kesenian di Indonesia’ yang diadakan oleh komunitas anak muda di Surabaya, Voice of Youth.

Menghadirkan Ari Setiawan, seniman ludruk sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, peserta diskusi mayoritas adalah anak muda yang antusias ingin mengetahui tentang jejak kesenian Indonesia.

Dipandu oleh moderator yaitu Luluk Istiarohmi, mahasiswa tingkat akhir di UIN Sunan Ampel, perhelatan ini layaknya diskusi yang dinikmati oleh peserta.

Ari mengawali dengan menjelaskan masih ada tokoh kesenian lintas gender, salah satunya adalah Didik Nini Thowok yang begitu konsisten menjadi penari lintas gender.

Ari melanjutkan dengan mengajak para peserta keliling Indonesia untuk lebih mengenal budaya sendiri.

Di Sumatera Utara, ada Namboru Nantinjo. Ia adalah seorang tokoh leluhur di suku Batak, Toba yang terlahir tidak dapat digolongkan dalam kategori laki – laki maupun perempuan. Dipercaya sampai saat ini, rohnya masih berada di sekitar keturunannya untuk membantu masyarakat sekitar mengatasi kesusahan.

Sumatera Barat juga memiliki Ronggeang Pasaman. Ronggeng Pasaman adalah penari yang merupakan anak ronggeang yang merupakan seorang laki – laki yang bersolek selayaknya perempuan.

Setelah menapaki pulau Sumatera, Ari mengajak peserta menyusuri pulau Jawa. Ronggeng Bugis di Cirebon, tarian yang begitu jenaka karena berdandan layaknya badut yang diperankan oleh laki – laki dengan ekspresi feminine terdapat disana.

Lalu ada tari Topeng di Indramayu yang diperankan oleh perempuan memainkan karakter seorang laki – laki. Tari ini berkembang ke daerah – daerah lain seperti Cirebon, Malang dan Madura.

Banyumas, Jawa Tengah juga melahirkan Lengger Lanang yang ditarikan oleh laki – laki dengan gerakan feminin sebagai hiburan rakyat.

Disana juga ada wayang Orang dan Ketoprak, tokoh Abimanyu kerap dimainkan oleh perempuan.

Pulau Madurapun juga tak kalah dengan pulau lainnya yang juga menyimpan kekayaan budaya. Sandur, penari laki – laki yang mengenakan busana yang biasanya dikenakan oleh perempuan. Ada juga, Loddrok, hampir sama dengan Ludruk dan semua pemainnya adalah laki – laki.

Sedangkan di pulau Bali ada Arja Muani yaitu opera khas Bali yang semua pemainnya adalah laki – laki. Opera khas Bali ini bersifat komedi dan diciptakan oleh Raja klungkung di akhir abad XX.

Tari Margapati atau tari Bebancihan yang dibawakan oleh perempuan dengan gerakan yang begitu maskulin dan gagah, sampai sekarang masih ada di Bali.

Di daerah lain, suku Bugis telah mengakui adanya lima jenis gender sejak sebelum agama Islam masuk. Diantaranya adalah laki – laki (oroane), perempuan (makkunrai), translaki (calabai), transpuan (calalai) dan satu gender yang dipercayai dapat menghubungkan manusia dengan penduduk langit, yaitu bissu.

Bagaimana perkembangan budaya lintas gender ini? Di era klasik terekam adanya arca dan karya sastra yang menunjukkan bahwa konsep keragaman seksualitas yang begitu gamblang. Arca Ardhanari atau Ardhanariswari merupakan lambang persatuan Dewa Syiwa dan istrinya jadi figur separuh laki – laki (nara) dan separuh perempuan (iswari).

Selanjutnya, ada Relief Candi Sukuh yang terkait dengan praktik ritus kesuburan yang menggambarkan bentuk kelamin manusia secara fulgar. Ada Serat Centhini, ensiklopedia kebudayaan Jawa yang di dalamnya ada kisah aktivitas homoseksual oleh dua tokoh yang bernama mas Cebolang dan Nurwitri.

Itulah jejak – jejak lintas gender yang telah dipaparkan oleh Ari Setiawan. Jadi, mereka yang bilang bahwa keragaman gender dan seksualitas berangkat dari budaya barat adalah tidak tepat. Mereka yang mengatakan ini, berarti tidak memahami budaya Indonesia dan identitas budaya negeri mereka sendiri.

Seharusnya mereka malu telah mengungkapkan pernyataan tersebut karena mereka menunjukkan betapa tak mengertinya mereka akan sejarah dan budaya Indonesia.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Muhammad Rizky, penulis dan aktivis gender

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!