Diberhentikan Dari Admin Grup WhatsApp Karena Protes Humor Seksis

Banyak sekali stiker vulgar yang beredar di WhatsApp grup. Stiker yang diedarkan ini lagi-lagi melecehkan perempuan. Memprotes ini tidak mudah, karena malah dikucilkan dan tak lagi dijadikan admin WhatsApp grup

*Venella Yayank Hera Anggia- www.Konde.co

Pasang stiker di WhatsApp group mulai banyak dilakukan setahunan ini. Tak terkecuali stiker-stiker vulgar yang sering mampir di handphone saya, dikirim oleh teman-teman lelaki saya di grup WhatsApp.

Saya terkadang heran bagaimana bisa mereka menjadikan tubuh perempuan sebagai guyonan yang menurut mereka lucu.

Padahal stiker-stiker semacam itu sangat menganggu saya dan teman-teman perempuan saya. Mereka merasa dilecehkan, malu, bahkan beberapa sampai keluar dari grup karena risih.

Humor seksis di dunia patriarkal ini sepertinya sudah dianggap suatu hal yang wajar. Humor seksis seringnya mengarah pada pengobyektivikasian perempuan. Caranya beragam, salah satunya menggunakan tubuh perempuan sebagai bahan candaan melalui stiker vulgar.

Fenomena humor seksis sebenarnya sering saya temui di salah satu grup WhatsApp. Kejadian ini berawal dari adanya stiker vulgar yang memperlihatkan tubuh perempuan, mulai dari payudara hingga vagina. Tidak hanya itu, stiker-stiker tersebut juga memperlihatkan bagaimana seorang perempuan yang sedang melakukan aktivitas seksual.

Saking seringnya itu terjadi, pernah suatu hari saya memberhentikan teman-teman lelaki sebagai admin grup. Saya ubah pengaturan grup menjadi “hanya admin yang dapat mengirim pesan ke grup”.

Namun, ternyata mereka marah dan semakin menjadi-jadi.

Grup whatsApp yang lain akhirnya dijadikan sasaran. Lagi-lagi saya harus mengubah pengaturan admin grup lainnya ini. Ketika mereka tidak bisa mengirim pesan, saya lalu menjadikan satu teman laki-laki saya sebagai admin grup sebagai perwakilan laki-laki.

Namun apa yang terjadi? Bukannya dia membantu saya untuk meminimalisir penyebaran stiker vulgar tersebut, saya malah diberhentikan dari admin grup. Sehingga tak terkendalilah penyebaran stiker tersebut.

Saya ingin marah, meneriaki mereka, memberi mereka pelajaran, tapi tidak bisa. Yang bisa saya lakukan hanya keluar dari grup.

Namun, mereka malah mengomentari saya dengan kata-kata yang seksis. Seperti “Gitu aja marah, paling punya dia kecil, gak bisa bersaing, makanya keluar grup?.”

Meski mereka menganggapnya hanya bercanda, saya kira mereka tidak menyadari bahwa perkataaan tersebut mengarah kepada seksisme.

LaFrance & Woodzicka (1998) menyatakan bahwa humor yang sifatnya merendahkan, menghina, hingga mengobyektivikasi seseorang telah masuk ke dalam humor seksis. Humor semacam ini hanya akan melanggengkan pengobyektifikasian perempuan atas nilai-nilai patriarkis. Hal tersebut juga akan memperparah stigma bahwa tubuh perempuan dapat dieksploitasi sedemikian rupa.

Seperti kasus yang pernah saya alami tadi. Saya kira para pelaku berusaha menunjukkan superioritas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui candaan seksis. Menggunakan tubuh perempuan untuk stiker vulgar adalah salah satu cara eksploitasi atas tubuh perempuan. Stiker vulgar menggambarkan perempuan sebagai mahkluk pasif dan pasrah. Terlebih dalam hal aktivitas seksual. Di sisi lain, laki-laki digambarkan sebagai mahkluk yang aktif dan gagah.

Stiker semacam itu justru semakin mengamini mitos tentang perempuan. Perempuan hanya diasumsikan sebatas pelayan hingga pemuas hasrat laki-laki.

Representasi perempuan yang hanya sekedar dijadikan objek seperti itu tidak lepas dari pemikiran patriarki. Mereka hanya dinilai dari mitos-mitos yang sudah mengakar. Seringnya, kompetensi yang dimiliki perempuan diabaikan hingga tidak dilihat. Lagi-lagi hal ini karena mereka dianggap tidak memiliki kemampuan yang mumpuni.

Pemikiran semacam itu, biasanya dikaitkan dengan krisisnya pemahaman atas konstruksi gender. Sehingga menghasilkan ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan. Saya rasa, apabila pemahaman mengenai kesetaraan gender dapat merata di kalangan kawan-kawan saya yang laki-laki dan masyarakat secara umumnya, ketimpangan tersebut dapat teratasi.

Seperti penjelasan Mansur Faqih (1996), baginya selama tidak ada persoalan ketidakadilan atas nama gender, membahas konstruksi gender tidak akan menjadi masalah.

Namun, saat ini persoalan gender tetap saja menghasilkan ketidakadilan. Meski korban dari ketidakadilan gender memang tidak memandang laki-laki atau perempuan. Tetapi, hingga sekarang perempuanlah yang paling menjadi korban. Maka dari itu, pemahaman tentang keadilan gender sangat diperlukan.

Sebetulnya para pelaku humor seksis dalam pengalaman saya tadi tidak buta gender. Bahkan mereka telah belajar mengenai konstruksi gender dan seluk beluknya. Namun, saya rasa humor seksis yang mereka lontarkan terjadi karena kegagalan mereka dalam memahami konstruksi gender secara total. Bagaimanapun, jika seksisme sudah tertanam sejak dalam pikiran dan tidak berusaha untuk menghapusnya, maka akan berpengaruh pula dalam perbuatan.

Apabila sudah seperti itu, tidak dapat dipungkiri humor seksis semakin dianggap wajar. Anggapan wajar mengenai humor seksis sama saja dengan menerima perempuan sebagai obyek pelecehan. Selain itu, pelaku seksis akan semakin merasa bahwa tidak ada yang salah dalam humor yang dilontarkannya. Tentu, ini semakin melazimkan guyonan yang sebenarnya tidak lucu dan malah menyakitkan.

Akibat dari pelaziman humor seksis, korban akan sangat dirugikan. Seperti korban yang tidak dipedulikan ketika mulai merasa tidak nyaman. Malah semakin direndahkan dengan hal-hal seksis yang lagi-lagi dianggap sekedar candaan semata. Dalam banyak kasus yang sering tidak disadari, korban menjadi semakin inferior dan kehilangan kepercayaan dirinya.

Saya kira memang sudah saatnya untuk tidak mentolerir candaan yang menyakitkan dan melecehkan.

Melawan seksisme seperti di sosial media, di grup WhatsApp ini sama dengan menyelamatkan hak dan harga diri perempuan. Bagaimanapun, perempuan juga manusia yang memiliki hak dan tanpa pelecehan.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Venella Yayank Hera Anggia, penyuka buku dan novel tentang gender dan kesetaraan perempuan

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!