Mengapa Saya Harus Menyuarakan Isu Gender?

Dalam sebuah kesempatan saya bertemu dengan teman kuliah saya yang laki-laki. Ia sempat mengajukan pertanyaan getir kepada saya .“Kenapa sih kamu masih saja getol menyuarakan kesetaraan gender? tidak capek? pembahasannya sudah basi dan melelahkan, hanya berkutat antara orang yang sudah paham dan tidak mau paham.”

*Luluk Istiarohmi- www.Konde.co

Setidaknya begitu yang saya tangkap dari perkataannya. Sempat beberapa detik saya memikirkan perkataan ini. Ya, sekedar merenung saja, tidak lantas membuat pikiran saya berubah.

Lalu, selang beberapa bulan kemudian, seorang teman lain, Puput namanya mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya. Dengan teks kurang lebih seperti ini

“Aku mau tanya dong, gimana menurut kamu tentang pola pikir yang menganggap bahwa perempuan harus bisa melakukan segala pekerjaan domestik? apakah memang pekerjaan domestik hanya dibebankan pada perempuan saja?”

Sontak pertanyaan tersebut seolah menjadi antitesis dari penuturan teman saya yang diawal tadi saya sebutkan.

Pertanyaan yang diajukan oleh Puput tersebut, merupakan contoh kecil bahwa nyatanya di masyarakat kita masih belum benar-benar memahami tentang esensi gender. Untuk menjawab apa yang ditanyakan oleh Puput tadi, setidaknya terdapat 3 poin stereotype yang harus benar-benar dipahami.

Stereotype Gender yang Sering Saya Lihat

Stereotype gender menyebutkan mengenai pekerjaan publik dan domestik masih sangat kental di dalam masyarakat kita. Sudah banyak sekali literatur yang membahas bahwa salah satu faktor yang menimbulkan adanya stereotype peran gender ialah dari pola asuh sejak kacil.

Dari seseorang lahir dan dibesarkan ia selalu menerima sekat-sekat gender, termasuk mengenai pengetian pekerjaan domestik dan publik. Pekerjaan domestik diidentikkan dengan sosok perempuan seputar memasak, mencuci, mengepel dan lainnya. Sedangkan pekerjaan publik diidentikkan dengan laki-laki seputar menjadi arsitek, pekerja kantoran dan lainnya.

Dari poin ini, tidak jarang menimbulkan ketimpangan perspektif. Masih banyak yang menganggap bahwa pekerjaan domestik nilainya lebih rendah daripada pekerjaan publik. Sehingga, hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa stereotype atas pembagian pekerjaan masih sangat subur di dalam masyarakat kita.

Salah satu cara untuk mengikis stereotype tersebut yakni mulai menerapkan pola pikir bahwa derajat pekerjaan itu sama. Baik pekerjaan domestik maupun publik sama-sama dapat dikerjakan oleh perempuan maupun laki-laki.

Dengan memahami hal ini maka seharusnya jika seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik, sisi maskulinitasnya tidak akan merasa terusik. Karena poin utamanya adalah kesetaraan maka seharunya dapat memandang setara kedua pekerjaan tersebut.

Contoh kasus yang ditanyakan oleh Puput tadi merupakan salah satu isu yang menurut saya cukup krusial di dalam masyarkat kita ini. Apabila isu seperti ini masih banyak miss konsepsi, maka apa kabar dengan isu-isu lain yang tidak kalah penting seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual yang memandang rendah gender lain. Mungkin dapat dikatakan akan lebih alot lagi.

Sayangnya, untuk mengubah pola pikir seseorang dan mengikis stereotype memang terkadang sulit untuk dilakukan karena akarnya berasal dari pola asuh dan didikan sejak kecil.

Sehingga, memang pekerjaan rumah feminisme dan jalan menuju kesetaraan gender nyatanya masih jauh.

Tugas bagi generasi saat ini yakni dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang cukup mengenai gender bagi anak-anak di sekitarnya kelak. sehingga diharapkan bagi generasi selanjutnya dapat lebih baik lagi memahami isu gender dan setidaknya kita menjadi lebih dekat menuju kesetaraan.

Dari adanya dialektika ini, saya jadi dapat menjawab pertanyaan getir teman laki-laki saya tadi: kenapa saya masih harus getol menyuarakan isu gender? karena nyatanya isu yang cukup krusial saja masih banyak mendapat miss konsepsi dari masyarakat.

Jalan menuju kesetaraan gender masih jauh. Sehingga seharusnya dengan hal ini kita dapat lebih melipat gandakan semangat kita untuk menyuarakan isu-isu gender lainnya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Luluk Istiarohmi, seorang penyuka kucing yang selalu ingin mempelajari hal-hal baru, tertarik dengan ide-ide feminisme, dan bercita-cita untuk menjadi perempuan independen

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!