Mengapa Perempuan Masih Alami Hambatan Terjun di Politik Praktis?

Sudah 22 tahun reformasi, namun masih banyak sekali hambatan perempuan untuk terjun di politik praktis. Selain hambatan keterbatasan dana, dukungan dari kelompok masyarakat sipil dan juga partai politik masih sangat minim untuk perempuan

*Nunu Pradya Lestari- www.Konde.co

Akademisi Universitas Indonesia, Ani Sutjipto, selama ini banyak melakukan penelitian bagaimana hambatan yang harus dilalui perempuan di ranah politik praktis.

Ani Sutjipto mengungkapkan, keinginan perempuan untuk menjadi anggota parlemen bukan sesuatu yang mudah, apalagi perempuan selama ini di ranah politik praktis jauh tertinggal jika dibandingkan laki-laki. Apa penyebabnya?

Ani Sutjipto memaparkan bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia selama dua dekade terakhir sebagai penyebab hal yang telah menghambat perempuan terjun di politik praktis. Sebelum reformasi, gerakan perempuan di Indonesia terus dibayangi represi rezim Orde Baru. Soeharto, penguasa zaman itu, mengembalikan perempuan dalam kegiatan domestik: dapur, kasur, dan sumur. Jadi, ini yang menyebabkan perempuan jauh tertinggal

Setelah Orde Baru tumbang, sebetulnya sistem demokrasi memberikan harapan bagi perjuangan perempuan. Namun tentu saja, masih banyak ganjalan yang ditemui ketika mendorong keterlibatan perempuan di ranah politik praktis.

Meski sistem demokrasi memberikan harapan bagi perjuangan perempuan, tapi keterlibatan perempuan di politik praktis masih menemui banyak ganjalan, salah satu penyebabnya karena kesetaraan perempuan hanya dipandang sebagai jumlah (kuantitas), bukan sebagai kualitas. Untuk mendapatkan kualitas yang baik, tentu saja akses terhadap perempuan dan laki-laki harus setara. Sehingga kebijakan yang diperoleh bisa mewakili kepentingan seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan

Nurul Arifin, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengatakan bahwa di kalangan politisi, isu perempuan masih kerap menjadi perdebatan.

“Kemunculan beberapa regulasi kontroversial yang menuai polemik akhir-akhir ini. Di antaranya RUU Ketahanan Keluarga, hingga munculnya draft usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu dan Anak dalam arena legislasi nasional,” ujar Nurul.

Nurul Arifin dan Ani Sutjipto menyatakan ini dalam diskusi publik bertema “Politik Perempuan di Tengah Persimpangan Jalan Demokrasi” pada Kamis, 12 Maret 2020 yang diadakan Koalisi Perempuan Indonesia di Jakarta. Diskusi ini diadakan dalam rangka International Women’s day.

Beberapa tema internasional Women’s Day di tahun ini, #EachforEqual dan #SheLeads, menjadi tagline utama untuk menginspirasi publik dalam menentang bias gender, mempertanyakan mengenai stereotipe dan merayakan pencapaian setiap perempuan di seluruh dunia. Dari festival IWD di Berlin, hingga aksi longmarch di Indonesia, setiap sudut dunia telah merayakan Hari Perempuan Internasional, termasuk memetakan hambatan yang dialami perempuan di ranah politik praktis

Di kalangan legislatif, Nurul Arifin mengatakan bahwa RUU Ketahanan Keluarga misalnya menjadi pertentangan di internal anggota Baleg. Aturan yang dikritik oleh para pegiat kesetaraan gender ini akan menghambat pergerakan perempuan karena menghilangkan peran perempuan di ranah sosial, termasuk di kancah politik.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, mengungkapkan ada banyak sekali hambatan dan tantangan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan Indonesia selama dua dekade ini. Selain hambatan dari segi keterbatasan dana, dukungan dari kelompok masyarakat sipil dan juga partai politik cukup minim bagi perempuan.

Meskipun demikian, Mike mengungkapkan, harapan terhadap perbaikan partisipasi perempuan terutama dalam aspek politik cukup besar. Salah satunya dengan terus mengawal implementasi kuota 30% bagi Caleg perempuan serta membekali perempuan dengan pendidikan politik.

Saat ini, Indonesia memang memiliki aturan kuota minimum calon legislatif perempuan yakni sebesar 30 persen, tapi belum dilaksanakan dengan baik sehingga perlu perbaikan yang cukup besar.

“Ada banyak sekali hambatan dan tantangan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan Indonesia selama dua dekade ini. Selain hambatan dari segi keterbatasan dana, dukungan dari kelompok masyarakat sipil dan partai politik cukup minim,” kata Mike.

Riset yang dilakukan oleh Ella S. Prihatini dari University of Western Australia menyimpulkan bahwa sistem politik di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki. Misalnya pada pemilihan legislatif 2014, dari 2.467 kandidat perempuan yang masuk ke bursa caleg, hanya 97 orang yang menang. Angka ini tak lebih dari 4 persen. Sedangkan di parlemen nasional saat itu, rasio keterwakilan perempuan masih di bawah 20 persen.

Dari sedikitnya angka perempuan ini, anggota parlemen perempuan yang berkualitas pun susah ditemukan karena kebanyakan perempuan dipilih karena memiliki hubungan dengan petahana atau merupakan keluarga dari petinggi partai politik. Kondisi tersebut masih terjadi hingga sekarang.

Dalam Pemilu 2019 lalu, hanya 6 persen perempuan yang berlatar belakang kalangan profesional, sisanya, 41 persen memiliki kekerabatan dengan elite partai dan 53 persen lainnya berlatar belakang aktivis partai.

Padahal keterlibatan perempuan di parlemen adalah hal penting karena mereka diharapkan bisa memengaruhi kebijakan sosial terkait dengan hak-hak perempuan. Jika legislator perempuan punya kecakapan terhadap isu perempuan, maka penanganan isu gender di negara itu bisa dilaksanakan dengan baik.

Melalui esai di The Conversation, Iim Halimatusa’diyah mengatakan bahwa kebanyakan legislator perempuan tak memiliki posisi yang strategis. Menurut Iim, ketidakterlibatan ini tak melulu terkait dengan kualitas anggota perempuan, tapi karena kuatnya budaya patriarki.

Penempatan perempuan di posisi strategis parlemen jelas penting, misalnya dalam badan anggaran, keterlibatan perempuan bisa mendorong anggaran pro perempuan, serta badan legislasi yang bisa mendukung kebijakan terkait kesejahteraan perempuan dan anak.

Aktivis perempuan, Dhyta Caturani, mengakui bahwa proses itu tidak instan. Namun hal tersebut bisa dilakukan dengan melawan struktur kuasa.

“Penting bagi perempuan untuk mewujudkan leadership dari aspek politik dan pengambilan kebijakan,” ungkap Dhyta dalam diskusi tersebut.

Cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dimulai dari pengambilan keputusan dalam keluarga, kelompok masyarakat, hingga ke tingkat nasional dan internasional.

Kesetaraan tak sekadar kesamaan rasio jumlah (kuantitas) antara perempuan dan laki-laki, tapi lebih pada kualitas yakni pengambilan keputusan. Untuk mendapatkan kualitas yang baik, tentu saja akses terhadap perempuan dan laki-laki harus setara. Sehingga akhirnya, kebijakan yang diperoleh bisa mewakili kepentingan seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

(Foto: Nunu P.L)

*Nunu Pradya Lestari, sehari-hari aktif sebagai kontributor www.Konde.co dan pegiat buruh di Jakarta

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!