UII Bergerak Minta Kampus UII Mencopot Gelar Sarjana Ibrahim Malik

Universitas Islam Indonesia (UII) mencabut predikat mahasiswa berprestasi atas kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh mantan mahasiswa UII, Ibrahim Malik (IM). Namun UII Bergerak, kumpulan organisasi yang mendampingi korban, memberikan sejumlah catatan atas pernyataan dari UII, salah satunya mempertanyakan mengapa kampus UII tak mencabut gelar sarjana Ibrahim Malik dan meminta Kampus UII untuk berpihak pada korban

*Tika Adriana- www.Konde.co

UII Bergerak juga meminta Kampus UII agar berpihak pada korban. Sikap independen yang diutarakan oleh pihak kampus tentu tak boleh seimbang antara pelaku dan penyintas, sebab dalam kasus kekerasan seksual telah terjadi ketimpangan relasi kuasa.

Ibrahim Malik adalah mantan mahasiswa UII yang diduga melakukan kekerasan seksual pada para perempuan adik kelasnya. Dengan berdalih menghubungi para korban untuk menanyakan kabar dan menjual buku, IM kemudian melakukan kekerasan seksual baik secara visual maupun langsung. Korbannya mencapai 30 orang. Kasus ini ditangani oleh LBH Yogyakarta dan UII Bergerak

Saat ini Ibrahim Malik dengan mendapatkan beasiswa sedang menyelesaikan studi di Australia. Dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukannya sudah terjadi sejak tahun 2016

Sebelumnya, dalam rilis yang termuat di laman resmi UII, kampus UII menulis 8 poin penjelasan atas kasus tersebut, salah satunya, mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang diberikan kepada IM pada 2015. Selain itu, UII juga berjanji menyelidiki kasus itu.

Sabiq Muhammad dari Aliansi UII Bergerak mendukung sikap dari rektor UII, Fathul Wahid, tapi menurutnya, tanggapan kampus yang mengatakan bahwa status IM sejak 2016 sudah menjadi alumnus, justru mengaburkan kejadian yang dilakukan pelaku. Sebab, Ibrahim Malik telah melakukan tindakan biadabnya sejak ia masih tercatat sebagai mahasiswa.

“Yang kami sayangkan, UII tidak memiliki realisasi yang tegas terhadap ketentuan disiplin yang ada di UII. Ketika kita melihat UII mencabut gelar mahasiswa berprestasi, itu menjadi sorotan media, seolah-olah UII memiliki tanggapan yang bagus terhadap kasus kekerasan seksual. Padahal itu terjadi waktu pelaku menjadi mahasiwa,” ujar Sabiq kepada Konde.co, Senin (11/5/2020).

Jika UII betul-betul berkomitmen untuk menciptakan ruang aman bagi seluruh mahasiswa dan menganggap tindakan pelaku merupakan pelanggaran berat, seharusnya kampus tak hanya mencabut gelar mahasiswa berprestasi dari IM, tapi juga menarik gelar sarjananya.

Sabiq dan aliansi UII bergerak juga mempertanyakan frasa “tuduhan” yang disampaikan di pembuka rilis dan poin kedelapan dalam rilis tersebut yang berbunyi:

“Bahwa UII mendukung penuh segala proses hukum demi menegakkan keadilan. Untuk itu kepada semua pihak dituntut untuk bersikap jujur dan menjauhkan diri dari perbuatan fitnah yang justru dapat menjauhkan dari kebenaran. Semoga Allah Swt. membimbing kita semua untuk selalu berada di jalan yang benar dan diridai.”

Kalimat-kalimat itu bukanlah kata yang tepat dan berpihak pada korban. Dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, semestinya UII tak mengabaikan keberanian penyintas untuk bersuara, bukan menganggap sebagai tuduhan belaka. Apalagi kasus IM sangat terang dan lebih dari 30 korban telah mengadu.

“UII bergerak menegaskan, akan tetap menyuarakan hak penyintas dan berpegang teguh pada tuntutan kami. Melihat bahwa kekerasan seksual bukan hanya terjadi di UII. Namun terjadi pula di institusi-institusi pendidikan lain, perkantoran, pabrik, dan ruang publik lainnya,” kata Sabiq.

Catatan dari UII bergerak bukan itu saja. Bidang etika dan Hukum (BEI) UII yang seharusnya terlibat aktif dalam menuntaskan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, justru tak punya inisiatif untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

“Sebagai contoh, ada informasi dari teman-teman korban atau penyintas yang bercerita, tahun 2018 sudah dilaporkan ke pihak kampus dan kampus menangkal ada laporan yang masuk. Namun, melalui kronologi yang telah kami paparkan, penyintas justru diminta berkali-kali mengulang kronologi. Ini tentu berat bagi penyintas,” ungkap Sabiq.

Kegagalan institusi pendidikan lain dalam menangani perkara kekerasan seksual tak boleh diikuti UII dalam menuntaskan masalah tersebut. Apalagi kampus ini mengaku punya standar moral yang tinggi.

Pihak kampus UII harus sadar, para korban kekerasan seksual memiliki trauma yang dalam. Mereka tak bisa serta-merta melapor ke polisi setelah kejadian. Penyintas butuh waktu yang tentu saja tak sama antara satu dan lainnya.

“Kami akan terus berjuang memperjuangkan keadilan bagi korban sampai malaikat Izrail menjemput!” tutup Sabiq.

Upaya lain juga dilakukan para mantan mahasiswa Indonesia di Australia. Dengan menggunakan laman change.org, mereka meminta agar Ibrahim Malik dicabut beasiswanya karena yang dilakukan Ibrahim Malik pada banyak perempuan selama ini tak layak untuk mendapatkan penghargaan atau beasiswa

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

(Foto: Instagram)

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!