Inilah Suara Kami, Perempuan Pakistan

Luviana – www.konde.co

Konde.co, Pakistan – Pakistan adalah sebuah negara dengan sejumlah konflik dan perang. Negara ini disebut-sebut sebagai negara kedua paling berbahaya di dunia. Perang saudara dengan India yang sudah terjadi sebelum maupun sesudah Pakistan memisahkan diri dari India di tahun 1947, membuat konflik ini terus terjadi di daerah perbatasan Kashmir. Di Pakistan Barat juga terjadi perang atau konflik bersenjata antara tentara Pakistan dengan militan Islam, Taliban yang dimulai pada tahun 2004.

Sejumlah perempuan Pakistan kemudian menjadi aktivis dan pejuang disana. Selain berjuang untuk perempuan dan anak-anak yang menjadi korban konflik dan perang, mereka juga menyuarakan pemikiran tentang perang dan ide-ide tentang perdamaian:

1. Riffat Hasan

Semangat itu berawal dari Riffat Hasan. Banyak aktivis perempuan dan aktivis hak asasi manusia yang menyatakan bahwa Riffat Hasan adalah peletak tonggak perjuangan bagi perempuan Pakistan. Ia adalah tonggak bersejarah bagi Pakistan, begitu ungkap sejumlah aktivis perempuan dalam beberapa tulisannya. Sejumlah aktivis anak dan aktivis perempuan kemudian lahir dan menancapkan sejarah baru di Pakistan.

Riffat Hassan adalah perempuan di masa-masa awal yang berjuang bagi perempuan dan kelompok minoritas di Pakistan. Pemikirannya tentang teologi muslim dan perempuan menempatkan Riffat Hasan sebagai pejuang bagi perempuan di Pakistan. Dalam pemikirannya Riffat Hasan menyatakan bahwa Islam menyuarakan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, Islam memperjuangkan semangat keadilan, kesetaraan dan penghormatan yang sama diantara laki-laki dan perempuan.

2. Malala Yousafzai

Aktivis yang lain lalu lahir sesudah itu. Malala Yousafzai adalah aktivis muda yang kemudian berjuang bagi anak-anak Pakistan. Ia menuliskan tentang kondisi anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan. Ia juga terancam sejumlah pembunuhan. Pada tanggal 10 Oktober 2014, Malala Yousafzai diumumkan sebagai penerima Nobel Perdamaian 2014 untuk perjuangannya melawan penindasan terhadap anak-anak dan orang muda Pakistan dalam hak atas pendidikan. Usianya masih muda kala itu, yaitu 17 tahun, dan Malala Yousafzai tercatat sebagai penerima hadiah nobel termuda sepanjang sejarah di dunia.

3. Sharmeen Obaid Chinoy

Perempuan aktivis lain yang menyuarakan kepedihan atas situasi yang terjadi di Pakistan yaitu: Sharmeen Obaid Chinoy. Sharmeen adalah perempuan yang bekerja sebagai jurnalis dan aktivis Pakistan yang memenangkan Oscar untuk film dokumenternya tentang pembunuhan “Killing the honor” yang terjadi di Pakistan.

Pada Bulan Februari 2016 lalu ia juga mendapatkan penghargaan film paling bergengsi, Oscar untuk kategori Dokumenter Terbaik untuk filmnya yang berjudul A Girl in the River – The Price of Forgiveness. Istimewanya, ia mencatatkan diri dalam sejarah perfilman menjadi satu-satunya orang Pakistan yang meraih dua Piala Oscar.

Film “ A girl in The River” ini menceritakan tentang gadis Pakistan berumur 18 tahun yang ditembak oleh keluarganya dan setelah itu dibuang ke sungai karena dianggap tidak mematuhi keluarga. Film-film Sharmeen banyak menceritakan tentang penderitaan yang dialami perempuan dan anak-anak Pakistan yang hidup di daerah konflik.

Di Pakistan, Sharmeen dikritik sebagai orang yang sering menghujat Pakistan. Padahal dengan semangat dan bakat besarnya di perfilman, ia membawa suara-suara perempuan dan anak-anak Pakistan agar terdengar di seluruh dunia.

4. Parwen Rehman

Parwen Rehman adalah aktivis lingkungan di Pakistan. Ia dibunuh oleh para mafia tanah disana karena  memperjuangkan hak untuk hidup bagi orang-orang miskin. Ia ditembak ketika pulang dari tempat kerjanya. Parwen adalah direktur Orangi Pilot Project Research and training institite, organisasi yang berjuang bagi tanah dan lingkungan disana. Ia ditembak pada tahun 2013 di usianya yang ke-56 tahun. Peraih sejumlah penghargaan lingkungan ini diduga dibunuh karena aktivistasnya dalam pembelaannya pada tanah-tanah untuk orang miskin di Pakistan.

5. Samina Baig

Samina Baig, adalah perempuan Pakistan pertama yang mencapai puncak Gunung Everest, Nepal di tahun 2013. Samina adalah perempuan Pakistan yang kemudian berani melepaskan stigma bahwa perempuan Pakistan harus selalu berada di dalam rumah dan menjadi warga negara kelas dua. Anggapan ini ditepiskannya ketika ia menjadi orang pertama di Pakistan yang mencapai puncak Everest. Dalam pendakiannya, Samina selalu menyuaran pesan perdamaian dan  kesetaran bagi perempuan disana. Ia melihat Pakistan sebagai daerah konflik yang mempunyai persoalan yang panjang, dan ia adalah perempuan yang menyuarakan suara perempuan dan kelas minoritas Pakistan.

(Sumber: Dawn.com)

(Foto: Riffathasan.info, commons.wikimedia.org, asiasociety.org, dawn.com, thehindu.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!